||•||
Pagi ini aku tidak bisa untuk merasa tidak kesal sama sekali─berengsek sekali orang-orang kantor itu.
Aku tidak mengerti bagaimana cara pikir mereka semua; karena aku sadar kalau sejak pagi tadi─begitu aku dan Mingyu datang, semua orang kantor sibuk membicarakan kami. Entah dari mana berita itu berembus dengan cepat, kuyakin mereka tahu kalau semalam aku menginap di apartemen Mingyu.
"Huh!"
Aku menghempaskan diri di kursi, diikuti Mingyu yang menaruh tasku di atas meja, "Hati-hati, Mbak. Kaki lo masih sakit."
Aku mengibas-ngibaskan tangan, merasa gerah dengan mulut orang-orang yang membicarakan kami, "Gue tuh kesel, Gyu. Itu mulut kenapa pada gitu, sih?"
"Namanya juga manusia, kan gitu semua."
"Tapi rasanya tuh pengen gue sumpel aja itu mulut. Pedes banget, sampah semua." Aku masih marah-marah tidak jelas, sementara Mingyu sejak tadi hanya menunduk di sampingku.
"Mbak, maaf. Gara-gara gue jadi gini."
Aku mengernyit bingung, "Gara-gara lo gimana, sih? Nggak usah drama, ah! Gue kali yang harusnya minta maaf. Udah lo niatnya nolongin, malah kena cibir."
"Ih, nggak Mbak!" Mingyu buru-buru meralat, "Mbak nggak usah minta maaf. Lo udah kayak kakak gue sendiri kali. Wonwoo aja seneng sama lo."
Aku tersenyum, "Awas tuh, seneng-seneng demen lagi sama gue!"
"Ye ... nggaklah!" tukas Mingyu yang disahuti oleh kekehan kecil dariku. "Lo mah doainnya."
"Yaudah sini Gyu, peluk Mbak dulu. Mbak butuh semangat."
Aku merentangkan tanganku lebar-lebar yang langsung disambut pelukan dari Mingyu. Aku tersenyum sekilas begitu memeluk Mingyu; Mingyu itu orang baik, yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Bahkan Mingyu tidak pernah mengeluh kalau aku repotkan. Pokoknya Mingyu itu adalah teman, sahabat, sekaligus adik yang terbaik.
Aku mengusap-usap punggung Mingyu, merasa beruntung bertemu dengannya di Indonesia. Aku tidak terlalu banyak mengenal orang dan Mingyu adalah sosok yang ramah, yang mudah berbaur dan memiliki pemikiran liberal yang aku acungi jempol─ia tidak suka mengusik dan mengomentari hidup orang.
Mingyu balas memelukku, "Mbak, makasih udah mau temenan sama gue dengan gue yang apa adanya."
Aku senyum─merasa kalau Mingyu memang tidak salah, meskipun ia seorang gay. Aku hanya menepuk-nepuk punggungnya dan mengangguk sampai──
Brak!
──pintu ruang kerjaku terbuka.
Saat itu aku mendapati wajah tegas Mas Seok Jin. Sepersekian detik selanjutnya Mingyu menjauhkan tubuhnya dariku. Laki-laki itu berdiri rikuh, juga dengan Mas Seok Jin yang berubah acuh dan memilih duduk di kursinya.
Mingyu melirikku takut-takut. Aku paham maksudnya; karena ia pasti merasa tidak enak padaku, apalagi ia tahu kalau dirinyalah penyebab aku putus dengan Mas Seok Jin. Jadi, aku cuma tersenyum dan memberi kode padanya untuk keluar.
Mingyu menurut. Laki-laki itu keluar tanpa suara seperti yang kuminta. Bagaimanapun ini adalah urusanku; aku yakin Mas Seok Jin bukan seperti orang-orang kantor lainnya.
"Mas──"
"Lo semalem nginep di mana?"
Hening.
Aku terdiam, menatap ke arahnya yang tengah menyalakan komputer─mempersiapkan apa-apa yang akan menjadi pekerjaannya hari ini. Dengan ragu aku menjawab, "Di apartemen Mingyu."
Mas Seok Jin sama sekali tidak menatap ke arahku. Ia diam, memancingku untuk mendekat sebelum suaranya menginterupsi, "Ternyata omongan mereka bener."
Deg
Lagi, lagi dan lagi. Mas Seok Jin selalu menjadi pihak yang terinterferensi oleh omongan orang lain. Aku kecewa saat ini, dengan tubuh yang stagnan rikuh menatap ke arahnya. Aku tidak tahu bagaimana jalan pikirnya sampai menyimpulkan apa yang terjadi dengan kalimat seperti itu.
Itu benar-benar menyinggung.
"Kenapa lo selalu menyimpulkan sesuatu dengan apa yang lo lihat?"
"Karena orang hanya tahu apa yang mereka lihat! Orang hanya peduli apa yang dilihat mereka!"
Aku mengepalkan kedua tanganku dengan kesal; aku benar-benar marah. Aku merasa bahwa Mas Seok Jin benar-benar sangat egois dengan cara pikirnya yang pendek dan dangkal. Aku mengerti sekarang─kalau ternyata Mas Seok Jin adalah bagian dari mereka. Aku benar-benar mengerti.
"Gue kecewa sama lo, Mas."
"GUE LEBIH KECEWA SAMA LO CHRISTA!"
Aku terkesiap. Ini kali pertama aku dapati ia membentakku, berbicara dengan nada sekasar itu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya dengan cara pikirnya yang seperti itu. Kupikir ia adalah sosok yang dewasa dan pantas untuk kukagumi, ternyata aku salah──salah besar.
"Dan gue yang paling kecewa di sini," ujarku pelan. "Orang yang paling gue percaya bahkan nggak melakukan hal yang serupa. Gue kecewa."
Di detik itu air mataku menetes. Aku benar-benar tidak kuat untuk menahan rasa kecewa ini; rasanya begitu sesak. Aku pikir setelah hari ini aku akan selesai dengannya. Tidak peduli ia adalah mantanku, aku akan meninggalkannya bersama air mataku yang akan kering.
"Ada saat di mana orang harus peduli dengan apa yang tidak mereka lihat. Kadang-kadang mata tidak selamanya terbuka. Ada masa di mana mata lain yang terbuka. Misalnya, mata hati."
Mas Seok Jin diam. Aku langsung membuang pandang darinya. Mengepalkan kedua tanganku erat-erat, aku lantas berjalan dengan tertatih meninggalkan ruangan. Aku merasa bahwa aku lebih baik berjalan dengan kakiku yang sakit ini, jadi aku hanya akan berpikir tentang kakiku, bukan dia.
Kupikir, aku tahu saat di mana hatiku akan tertutup untuknya. Dan kupikir saat itu adalah sekarang.
Hari ini ....
Terima kasih untuk segalanya, Mas ....
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Seduce Mr. Park ✔
Fanfiction📌 FILE 1 : FINISHED 📌 FILE 2 : FINISHED Christa adalah seseorang yang perfeksionis terhadap perkerjaannya. Ia selalu bisa menyelesaikan pekerjaan apa pun; wanita berusia 25 itu cerdas, gesit, dan tentu memiliki paras yang cantik. Na...
