||•||
"Semalem nginep di rumah siapa?"
Sudah setengah jam keadaan tegang menyelimuti ruang kerja kami─aku dan timku. Aku yang duduk tegap di kursiku disidang oleh teman-teman setimku; yang kebetulan bertetangga, terutama Mas Yoongi yang menatapku tidak bersahabat.
"Masih nggak mau ngomong?"
Kali ini Jung Kook yang sedari tadi diam ikut angkat bicara. Kedua alisnya menukik, turut memerhatikanku dengan wajah mengintimidasi, diikuti oleh Taehyung dan Hoseok yang berada di samping Jung Kook secara bergantian.
"Apa susahnya bilang?" timpal Mas Hoseok tidak sabaran. "Kita semua itu khawatir di sini. Paham nggak lo."
Aku senantiasa menunduk, memainkan rok seatas lututku pelan-pelan. Sungguh, bukan aku tidak ingin jujur; hanya saja aku terlalu takut akan persepsi mereka nantinya. Aku tidak ingin kalau setelah aku bicara nanti, mereka akan menganggapku wanita yang tidak-tidak.
"Ada apaan, nih?"
Itu suara Mas Seok Jin; kulirik ia yang baru datang dengan kemeja yang lengannya sudah digulung setengah, juga menggunakan sandal jepit. Masya Allah ... calon imam yang baik baru pulang sholat dzuhur.
"Lho? Tata kok disidang gini?"
Menelan saliva kasar, makin kutundukan kepalaku. Sungguh, bukan main malunya aku ditanya begitu oleh Seok Jin─yang notabene adalah mantanku. Rasanya ingin sekali aku dikafani, daripada ditelanjangi tatap begini.
"Ini lho Bang, semalem si Tata kagak balik ke rumah."
Berengsek emang mulut ember Taehyung, terkutuklah wahai engkau!
Mati-matian aku menahan napas begitu tatapan Seok Jin menjadi tak bersahabat begini. Aku tahu kalau ia mulai marah setelah mendengar ucapan Taehyung barusan; kedua sorot matanya tajam, diikuti rahangnya yang mengeras.
"Udah sholat, Ta?"
"Eh?"
Aku mengerjapkan kedua bola mataku pelan begitu ditanyai perihal barusan. Menunduk, aku menggeleng. Kurasakan helaan napas kasar dari dua katup bibirnya, sedang salah satu tangannya mulai berkacak pinggang.
"Yang lain pada sholat, gih. Keburu jam istirahat habis."
Kemudian yang lain patuh, kecuali Hoseok yang berbeda agama dengan kami. Hanya saja─seolah mengerti─Hoseok membiarkan aku dan Seok Jin berdua saja di dalam ruangan; entah ia yang akan pergi ke mana atau sekadar sebat di atap kantor.
Menarik kursi kerja Yoongi yang berada di sebelahku, Seok Jin mendudukan dirinya, lantas mendekat ke arahku. Pembawaannya yang tenang benar-benar membuatku takut setengah mati.
"Semalem nginep di mana?"
Nah, ini yang aku takuti. Meski aku sudah putus dengan Seok Jin, tapi aku tetap menghargainya sebagai yang paling tua jua berwibawa─aku tahu sebab ia merasa bahwasannya semua teman di tim kami itu adalah keluarga yang musti ia jaga─adik-adiknya.
"Nginep."
"Di rumah siapa?"
Matilah aku. Kuputar otak untuk mengakali jawaban apa yang kiranya pantas kuberikan; hanya saja aku tak punya banyak teman wanita di Indonesia selain Naura yang berkerja di bagian economy analyst. Jadi, percuma saja kalau aku berbohong.
"Gue ngomong tapi ... janji jangan marah, ya?"
Kulihat Seok Jin menautkan kedua alisnya, "Tergantung."
"Tergantung?"
"Iya," balasnya mengangguk. "Tergantung jawaban lo memang pantas buat dimarahi atau tidak."
Yah ... ini sih, mati saja aku.
Merasa tak punya banyak pilihan, aku memutuskan untuk buka suara.
"Semalem gue nginep di apartemennya Pak Jimin."
"Laki-laki?"
Aku mengangguk, "Pak Nam Joon kan nugasin gue buat jadi sekretaris sementaranya Pak Jimin. Kebetulan kemaren itu jadwal padet banget, jadi pulang rada malem ditambah macetnya Jakarta. Karena kantornya itu kalau mau ke rumah muter, jadi dia nyuruh gue nginep di apartemennya dia."
"Tapi lo kan bisa nolak."
"Gimana bisa nolak? Kalau dia komplein atau──"
"Bisa hubungin gue, kan? Bisa minta gue jemput di kantor lo? Kenapa harus maksain, Ta──"
"Lo bukan siapa-siapa gue!" Aku yang tidak tahan membentak secara spontan. Entah mengapa melihat matanya yang terluka juga sikap khawatirnya yang terlampau itu membuatku merasa jengah. "Jangan seolah-olah bersikap khawatir sama gue."
"Gue emang khawatir sama lo," balasnya tenang. "Lagian lo masih tanggung jawab gue."
"Kita udah nggak sama-sama lagi──"
"I know that, Christa, I'm fuckin know!" katanya mulai terlihat resah. "Tapi ... setidaknya lo masih jadi adek buat gue."
Tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya, aku membuang pandang. Sekonyong-konyong air mata meluncur dari dua sudut mataku; entah mengapa terasa sangat sakit kala dia mengucapkan kalimat barusan dengan begitu baik.
Meski aku senang; sebab dia masih mengkhawatirkan aku dengan sama, rasanya tetap saja berbeda. Ada secuil sakit juga luka ketika kamu masih mengharapkan ia pada posisi yang sama─tanpa ada harapan untuk bergeser sesenti pun.
Alhasil, mengusap kedua sudut pipiku yang basah, aku bangkit. Melajukan kedua tungkai keluar, tanganku sudah lebih dulu dicekal olehnya. Sayangnya, aku melepaskannya dan ia tak lagi menahanku.
Cuma sampai segitu pertahanannya.
Ya, hanya sampai segitu. Dari semua hal baik yang ada pada diri seorang Kim Seok Jin; aku paling benci sikapnya yang mudah berkorban dan melepaskan.
Aku benci ketika ia melepaskanku begitu saja, hanya karena aku tak mematuhinya untuk tidak pergi clubbing dan pulang bersama Mingyu.
Memasuki lift menuju lantai dasar, rasanya aku ingin melarikan diri saja. Aku malas untuk kembali atau bertemu dengan siapa pun. Suasana hatiku benar-benar kacau──
"Kamu nangis?"
──ditambah lagi bertemu dengan Pak Jimin di dalam lift. Saat aku sadar akan baritonnya, pintu lift tertutup; padahal aku hendak bergegas keluar. Kala itu pula, Pak Jimin dengan spontan menarikku, menyudutkanku ke tembok, lalu mengunci kedua tubuhku dengan kedua tangannya.
"Pak ... Jimin." Aku berkata pelan, merasa risih dengan posisi kami yang begitu dekat. Sayangnya, Pak Jimin tidak peduli. Ia makin mendekatkan wajahnya sampai──
CHU~
──lembab bibirnya yang hangat menjamu kedua kelopak mataku; membuatku refleks menutup kedua atensi pun bergetar hebat merasakan sensasinya yang lembut.
Tersenyum lembut, ia mengusap kedua pipiku dengan ibu jarinya, "Jangan nangis lagi, okay."
Setelah itu kurasakan pintu lift terbuka, diikuti Pak Jimin yang melajukan kedua tungkainya; meninggalkanku seorang diri dalam posisi stagnan.
Entah apa yang kurasakan, aku hanya diam, mematut diri menyaksikan punggungnya yang mengabur dari pandangan juga terhalang oleh pintu lift yang tertutup.
"Makasih Pak ...."
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Seduce Mr. Park ✔
Fiksi Penggemar📌 FILE 1 : FINISHED 📌 FILE 2 : FINISHED Christa adalah seseorang yang perfeksionis terhadap perkerjaannya. Ia selalu bisa menyelesaikan pekerjaan apa pun; wanita berusia 25 itu cerdas, gesit, dan tentu memiliki paras yang cantik. Na...
