Verfϋhren 21

3.4K 692 238
                                        

||•||


Aku terduduk rikuh di sofa ruang tamu, tepat di hadapan Pak Jimin. Rasanya itu aku seperti lagi sidang di mahkamah agung; seolah-olah aku ini terdakwa dan Pak Jimin adalah hakim yang ingin segera menjatuhkan hukuman padaku.

"Kamu habis pergi ke mana, Christa?"

Aku terdiam, menunduk sembari merapatkan kedua pahaku. Nggak tahu kenapa agaknya Pak Jimin sedang marah besar padaku.

"Christa, jawab saya. Kamu pikir saya koran yang bisa kamu anggurin."

Buset dah, kalau udah kayak gini aku bisa apa. Jadi aku menjawab pelan, "Habis makan, Pak."

"Makan di mana? Sampai malam gini? Kamu ninggalin saya pagi-pagi dan jawaban kamu cuma habis makan?"

"Pak──"

"Saya minta jawaban kamu bukan sebagai atasan, Ta."

"Oke," jawabku akhirnya. "Lo nggak usah sok pingin taulah, Jim. Rese tau nggak!"

Aku tahu kalau yang aku ucapkan barusan sungguh kelewatan sebagai bawahan, sebagai jongosnya. Tapi biarlah, dia sendiri kan, yang tadi minta? Jadi, ayo mari kita mainkan peran ini dengan benar. Kamu pasti bisa melawan dia, Ta.

"Saya kayak gini karena saya khawatir, Ta."

"Nggak usah sok khawatir, gue juga nggak mau dikhawatirin sama lo!"

"Tapi──"

"Saya mau resign. Jadi mulai besok anggap aja kita nggak ada hubungan apa-apa. Maaf saya nggak bisa jadi sekretaris yang baik buat kamu."

"Kamu marah sama saya, Ta? Sampai-sampai kamu mau resign?"

Aku menurunkan kedua pundakku─merasa jengah sekaligus lelah. "Pak Jimin mending pulang aja," kataku akhirnya. Setelah itu aku bangkit, hendak menuju kamarku namun tangannya menahanku.

Pak Jimin dengan sigap langsung membalik tubuhku. Di saat yang bersamaan aku bisa merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Sejemang aku terdiam, terkejut. Aku berusaha memberontak tapi Pak Jimin justru menahan tubuhku dan membawaku lebih dekat ke arahnya.

Pak Jimin terus mencumbuiku, menciumi bibirku dengan lembut dan melumatnya hati-hati. Aku sama sekali tidak membalas ciumannya, karena aku memang sedang buntu saat itu. Seperti setengah nyawaku melayang entah ke mana.

Selang beberapa menit, Pak Jimin melepaskan ciumannya. Ia membelai kedua pipiku dengan kedua tangannya, lalu ditatapnya aku dengan lekat. Semakin lama ia semakin mendekatkan wajahnya sampai dahinya ia daratkan di depan dahiku.

Aku bisa lihat wajahnya yang marah berapi-api─entah karena alasan apa, juga napasnya yang tersengal-sengal dan bibirnya yang kemerahan. Aku tahu harusnya aku sadar kalau Pak Jimin memiliki bibir yang seksi, hanya saja, tatapannya yang dalam itu membuat jantungku berdegup tidak karuan.

"Saya suka sama kamu, Christa."


© ikvjou ©


Aku mematut penampilanku di depan cermin─rapih dan bersih, as usual. Ada secuil senyum yang terpancar, sebab hari ini aku akan kembali bekerja setelah seminggu lamanya aku tidak melakukan aktivitas apa pun.

Rasanya cukup sudah ritual patah hatiku untuk benar-benar melupakan Mas Seok Jin, sebab hari ini aku yakin kalau aku tidak akan pernah dan tidak akan mau lagi memiliki segala jenis perasaan padanya.

Lantas, aku melangkahkan kedua kakiku keluar. Kemarin aku sudah mengajukan surat pengunduran diriku pada Pak Nam Joon yang berujung dengan penolakan.

Aku tidak peduli dengan Pak Nam Joon yang menolak dan terus datang memohon padaku sebagai teman. Sampai pada akhirnya Pak Nam Joon menyerah dan mengerti dengan keputusanku yang ingin hijrah juga diprakarsai oleh urusan hati.

How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang