Verfϋhren 6

6K 763 64
                                        

||•||


Menyandarkan kepala pada kursi mobil, sudah puluhan kali aku mengelap wajahku dengan tissue. Aku menangis, entah sudah berapa lama sampai-sampai aku berani membolos di jam kerja. Aku hanya perlu merasa untuk tidak peduli; sebab, kalau aku kembali, aku akan berhadapan lagi dengan wajah Seok Jin─dan hal tersebut akan membuatku semakin gemetar juga tidak mampu melupakan dirinya.

Melirik sedikit wajahku yang berantakan dari kaca spion, aku lantas mengambil sesuatu di dalam paper bag yang kerap sengaja kutinggalkan di dalam mobil; yang berisikan hal-hal yang mungkin saja kuperlukan di saat-saat darurat. Benar saja, mengeluarkan benda berbentuk persegi itu, aku tersenyum kecut. Sebuah vape dengan liduiq mangga yang kubeli dua minggu lalu bersama Naura. Sebenarnya aku tidak pernah merokok─sama sekali. Tapi, melihat Naura yang waktu itu terlihat asyik menghisap batang rokoknya, akhirnya membuatku goyah. Naura berkata padaku kalau perokok pemula lebih baik mencoba vape daripada rokok batangan langsung. Alhasil, hari ini aku akan mencobanya. Untuk yang pertama kalinya sebagai manifestasi atas rasa sedihku, juga kegagalanku move on dari mantan seperti Seok Jin.

Baru ingin menghisap vape-ku, sekonyong-konyong ketukan terdengar dari kaca luar. Berjengitlah aku, menjatuhkan vape-ku dengan refleks lantas menuruni kaca mobil. Saat itu juga kepala Pak Jimin menyembul ke dalam, memerhatikanku dengan intens.

"Sedang apa kamu? Bukankah ini sudah masuk waktu kerja?"

Gulp

Mampus saja aku, bisikku dalam hati. Menunduk tatap, aku terdiam. Bibirku terasa kelu sebelum kudengar lagi suara Pak Jimin yang menyebalkan itu, "Hancur sekali ya kamu. Saya kasihan."

Berengsek! Bukannya menghibur orang yang tengah berlara hati akibat patah hati, Pak Jimin justru semakin menambah cuka di atas luka. Sialan orang itu. Kalau bukan atasan, sudah pasti kuacak-acak wajahnya.

"Tahu mobil saya, kan?" tanyanya yang terdengar seperti berujar. "Susul saya ke sana."

"Tapi Pak──"

"Saya tidak suka dibantah, Christa."

Otoriter, pemaksa, menyebalkan, dominan; benar-benar mengesalkan. Mau tidak mau aku mengikuti langkah kakinya. Masa bodo dengan penampilanku yang awut-awutan begini; toh, salahkan dia yang tak mau mendengar penjelasanku─padahal aku hanya ingin sekadar merapikan penampilan diri.

Duduk bersebelahan dengannya, Pak Jimin mulai mengendarai mobilnya keluar dari parkiran basement kantorku. Mengambil belok kiri, Pak Jimin mengarahkan mobil ke arah Hayamwuruk. Aku hanya diam, membiarkan ia memimpin tanpa sedikit pun bercakap.

"Wanita kalau patah hati jelek sekali, ya?"

Melongolah aku mendengar ucapannya barusan; apa-apaan dia? Tengah menyindirku, kah? Mentang-mentang dia gayo, biar sekalian saja kusumpahi ia cerai dengan istrinya yang laki-laki itu, lalu tidak mendapat laki-laki lain dan menjadi gay lapuk sampai mati.

Setan-setan di sebelah kiriku bersorak girang mendengar isi kepalaku, sementara malaikat yang berada di sebelah kanan malah menatapku bengis sambil menggetok kepalaku dengan tongkatnya itu.

"Hoseok bilang kamu tadi bicara dengan Seok Jin berdua, setelah itu kamu tidak kembali lagi," katanya menjelaskan. "Ternyata saya baru tahu kalau kamu mantanan dengan Seok Jin."

Nah, kan ... lagi-lagi aku harus mendengar namanya disebut. Kenapa sih, di duniaku ini tidak pernah lepas dari kata Seok Jin? Kenapa hanya aku dan Seok Jin, Seok Jin dan Seok Jin saja? Menyebalkan!

"Kenapa kamu tidak jelaskan saja?"

Eh? Aku menoleh ke arah Pak Jimin dengan kondisi hidungku yang memerah.

"Saya sudah jelaskan padanya kalau semalam kamu saya ajak nginap di apartemen saya. Saya juga sudah meluruskan semuanya. Jadi, keadaan akan baik-baik saja. Lagipula memang tidak ada yang terjadi di antara kita, kan?"

Tidak pernah mbahmu! Ingin aku berteriak begitu, tapi yasudahlah.

"Terima kasih." Cuma itu yang kuucapkan; sedikit menghargai usahanya yang repot-repot menjelaskan pada orang yang seharusnya tak punya hubungan apa pun dengan masalah ini.

"Kenapa tidak balik saja padanya kalau masih suka?"

Deg

Bagai tersedot baritonnya di dalam runguku, jantungku sekejap berlomba. Mendadak posisiku jadi rikuh, juga tanganku gemetar. Aku tidak tahu kenapa aku jadi berlebihan seperti ini. Jujur saja, ingin aku kembali pada Seok Jin. Namun, untuk apa kalau kembali ia tetap tidak akan percaya?

"Ayo turun, saya lapar."

Saat itu juga aku tersentar. Pak Jimin sudah lebih dulu turun─tanpa membukakan pintu mobil padaku. Aku lalu menyusul langkahnya sebelum membaca restoran macam apa yang ia ajak aku untuk makan bersamanya.

"Sederhana juga seleranya," kataku bergumam.

Iya, Pak Jimin hanya mengajakku ke restoran sederhana Soto dan Garang Asam. Aku sih, suka saja diajak ke tempat seperti ini; karena aku sendiri menyukai garang asam. So, jangan berpikir bahwa ia mengajakku ke restoran mahal Italia atau China. Lagipula kami kan memang tidak ada hubungan apa-apa.

Tidak ada hubungan apa pun untuk saat ini.













bersambung ....



How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang