||•||
Berulang kali aku melirik eksistensi Pak Jimin yang berada di hadapanku. Entah awal juntrungannya bagaimana; yang pasti kini kami berada di tukang bubur ayam yang berada di belakang kantor. Sebenarnya sih, saat asyik-asyik di peluk Pak Jimin, dengan semena-mena perutku berkokok. Jadilah kami berada di sini.
"Mbak, buburnya pakai apa aja?"
"Yang satu jangan pakai kecap sama kacang ya, Bang. Terus yang satunya──"
"Banyakin kecapnya. Jangan pakai daun bawang."
Aku mendongak terkejut─tentu saja. Namun, selebihnya aku diam. Kalau dipikir-pikir sih, selera kami ini cukup berbeda.
Aku tidak suka kecap, Pak Jimin suka.
Aku suka daun bawang, Pak Jimin tidak suka.
Kami itu bagaikan hitam dan putih. Alim dan maksiat─eh, padahal mah keenakan juga kalau dimaksiatin.
"Pak, beneran nggak apa-apa makan di sini?"
Mengangguk Pak Jimin membalas, "Memangnya kenapa? Saya tidak boleh makan di sini?"
"Bukan gitu, Pak. Ini tuh tempatnya kaki lima gitu. Nanti kalau Pak Jimin sakit perut terus──"
"Lebay kamu, ah," vonisnya sepihak.
Ya, bagaimana, bukan urusan lebay tidak lebay, ini masalahnya yang makan orang seperti Pak Jimin. Biasanya atasan kan, ogah makan di pinggiran kayak begini.
Asal nanti jangan salahin aku saja kalau dia sakit perut atau terkena diare.
Datang dua mangkuk bubur, kami segera mengambil milik kami masing-masing. Kulihat Pak Jimin langsung menyantap bubur, sementara aku terdiam sejenak─ingat nasihat Mas Seok Jin untuk selalu berdoa sebelum makan. Subhanallah memang.
"Lho? Mbak Tata?"
Aku mendongak, menatap presensi tinggi seseorang yang tengah memesan bubur di samping gerobak. Mengenali wajahnya, aku tersenyum, "Gyu, sarapan?"
"Eh?" Mingyu terlihat gelagapan, namun langsung tersenyum menyahuti, "Iya Mbak. Tumben Mbak sarapan, kenapa nggak mesen sama Mingyu aja?"
"Ngerepotin ah," balasku ramah. "Tiap hari sering gue palakin makanan lo. Masa nambah jadi ngerepotin."
"Yaelah Mbak, kayak sama siapa aja──"
"Mas ini buburnya."
"Eh, iya Bang."
Mingyu pun menyerahkan uang sepuluh ribuan kepada abang penjual bubur sebelum berbicara kembali padaku, "Duluan ya, Mbak? Apa mau ditemenin biar bareng?"
"Nggak usah Gyu, ini gue sama temen." Aku melirik sekilas ke arah Pak Jimin yang terlihat tak acuh. "Gyu, kulkas di pantry nanti isiin kopi-kopi kayak yang kemaren, ya."
"Yang─o, jadi Mbak Tata yang ngambil," ujarnya bergumam. "Siap Mbak. Dulua ya, Mbak, Mas." Setelah tersenyum ramah, Mingyu pun pergi menuju kantor.
"Siapa?"
"Hah?" Aku yang tidak mengerti menoleh, mendapati wajah serius Pak Jimin. "Junior saya, Pak. Anak IT Analyst."
"Saya tidak nanya itu. Saya nanya dia siapa, Christa."
"Dia Mingyu, Pak. Kim Migyu, ujang Bandung. Sunda punya, Pak."
"Hah?"
Aku terkikik melihat ekspresi herannya. Lagian, nanyanya tidak jelas. Dikerjain sedikit, tidak apa-apa kali, ya.
"Yeuh, si Bapak mani hese jasa mereun. Jore sia!"
"Hah? Jore itu apa?"
"Jore itu ganteng, Pak," balasku dengan cengiran tanpa dosa.
Mendengar jawabanku, Pak Jimin hanya angguk kepala. Dalam hati aku tertawa jahat; puas mengerjai Pak Jimin. Kemudian kami hanya melanjutkan makan sampai selesai.
"Kamu masuk jam berapa?"
"Setengah delapan, Pak," balasku sekenanya─menunggu transaksi yang dilakukan Pak Jimin dengan abang penjual bubur. Setelah itu kami melangkah menuju kantor yang jaraknya hanya beberapa meter.
"Saya minta maaf soal kejadian di bioskop waktu itu. Saya benar-benar minta maaf, Ta."
Lho? Ini Pak Jimin beneran minta maaf.
Mangut-mangut, aku mengiyakan ucapan Pak Jimin, "Iya, Pak. Tidak usah dibahas lagi."
"Tapi saya tidak enak──"
"Justru saya yang nggak enak," potongku sepihak. "Pak Jimin jadi dipukul sama Mas Seok Jin──"
"Saya maklum," katanya yang otomatis membuat kernyitan jelas di dahiku. "Saya kenal Seok Jin. Saya paham maksudnya. Lagipula kelakuan saya juga kelewatan."
Tunggu ... tunggu ... jadi mereka temenan?
"Kamu itu punya badan yang bagus, Ta. Sayang kan, kalau ditutupi begini." Mendadak, kurasakan tangan Pak Jimin merangkul pinggangku.
Mendekatkan bibirnya pada telinga kananku, ia berbisik, "Besok pakai dress lagi, ya? Saya janji nggak akan nakal seperti kemarin."
Selanjutnya yang terjadi adalah sebuah kecupan singkat di daratkan pada bibirku. Secepat kilat juga ia meninggalkanku dan berjalan lebih dulu─dengan lebih cepat.
"Jadi dia minta maaf cuma biar gue make dress lagi?"
Holy fucking shit! Sepertinya Pak Jimin memang benar-benar butuh holy water.
Seseorang, tolong sedekahkan ia ke pesantren!!!
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Seduce Mr. Park ✔
Fanfiction📌 FILE 1 : FINISHED 📌 FILE 2 : FINISHED Christa adalah seseorang yang perfeksionis terhadap perkerjaannya. Ia selalu bisa menyelesaikan pekerjaan apa pun; wanita berusia 25 itu cerdas, gesit, dan tentu memiliki paras yang cantik. Na...
