Verfϋhren 34

3K 657 344
                                        

||•||



Napas saya tersengal, turut pula mengerut kedua jari-jari kaki saya. Saya menengadah, berceracau dengan mulut yang haus─memekik, merintih, mendesah, mendesau. Dwiatensi saya merem melek, diikutik oleh tubuh saya yang kelojotan menahan gelombang nikmat. Luar biasa, ujar saya dalam hati. Saya tak pernah memimpikan percintaan akan jadi sehebat ini; seliar ini, sepanas dan semenggairahkan ini.

Ubun-ubun saya terbakar bersama banjir yang meluap di bagian bawah─milik saya dan Christa. Di dalam benak saya (di dalam mimpi-mimpi dan angan saya) tak pernah saya bayangkan Christa jadi seliar dan senakal ini. Jadi biadab dan sesundal ini memainkan libido saya. Saya tak pernah menyangka kalau saya bisa dikalahkan oleh wanita itu─wanita yang tengah mengandung anak saya, darah daging saya.

"Gila!" pekik saya, menyongsong tubuh saya untuk meraih tubuh Christa yang ambruk di atas dada saya. Women on top; entah siapa yang mengajarinya tapi Christa luar biasa nakal, luar biasa menguasai senggama ini.

Kali ini bukan saya yang melayani nafsunya, tetapi dia yang melayani saya; begitu baik, begitu pintar─saya luar biasa puas. Enam kali kami bersenggama dan Christa terus melayani saya, tidak peduli apakah permainan saya kali ini memuaskan dirinya atau tidak.

"Lelah?" tanya saya, menggulingkan tubuhnya ke samping, lantas menyelimuti tubuh kami berdua. Percintaan yang hebat di pertengah sampai penghujung pagi. Saya merapihkan poninya yang basah, "Kamu kerasukan iblis dari mana, Ta?"

Wajahnya merona, seperti buah persik di musim dingin. Merona malu-malu (tak terlalu merah tetapi menggemaskan). Saya merengkuhnya, memeluk tubuhnya sembari memainkan anak rambutnya yang lepek. "Kamu bener-bener rindu sama saya?"

Dengan wajah malu-malu kucing, ia mengangguk. "Kamu pergi lama habisnya."

Seperti sebuah sengatan, saya mengecupi keningnya berulang kali. Saya senang, saya bahagia. Setiap kali saya bercinta dengannya, saya selalu bahagia. Bukan bahagia karena nafus dan berahi saya tersalurkan; tapi lebih kepada perasaan saya dan batin saya menyatu. Setiap kali kami menyatu, saya merasa raga kami pun turut menjadi satu─menjadi kita yang utuh.

"Saya mau main sama kamu lagi, tapi saya udah lelah. Kamu juga, kan?"

Christa mengangguk. Ia mainkan jemarinya di dada saya, "Aa ... kamu ngerasa ada yang aneh nggak, sih?"

Saya menunduk, menatap wajahnya, "Aneh gimana?"

"Kayaknya anak ini laki-laki, deh."

"Kok, kamu bisa mikir gitu?"

"Soalnya dia mesum kayak kamu. Harusnya kalau dia cewek, dia malu-malu kayak aku yang disentuh langsung menghindar. Bukan bikin aku agresif begini."

Saya terkekeh, "Memang kamu malu-malu? Perasaan waktu saya ketemu kamu, kamu saya elus pahanya cuma diam, deh. Bukannya kamu juga mesum."

"Ih!" Ia memekik, memukul dada saya lalu berbalik memunggungi. "Ngeselin!"

Saya beringsut, mendekati dirinya dan memeluk lehernya dari belakang. Saya ciumi pundaknya berkali-kali sebelum berkata, "Saya sayaaaaang banget sama kamu. Kamu sayang nggak sama saya?"

Dia diam.

"Saya cintaaaa banget sama kamu. Kamu cinta nggak sama saya?"

Dia masih bungkam.

"Semesum apa pun kamu, seagresif apa pun kamu, saya nggak peduli. Yang penting malam ini saya dan kamu menjadi kita."

Menciumi punggungnya yang telanjang, saya sudah tidak peduli kalau pada kenyataannya ada orang lain yang sedang menunggu Christa atau yang sedang Christa cintai. Malam ini saya adalah miliknya dan dia adalah milik saya. Saya bahagia. Itu adalah hal pentingnya (dan hal penting yang kedua; anak saya─yang masih berada di dalam rahimnya─tahu kalau orang tua mereka bercinta dan saling mencintai).

How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang