||•||
Kerja bersama Pak Jimin itu bukan sesuatu yang baik. Segala hal dituntut perfect dan on time─karena Pak Jimin benar-benar tidak suka kalau dua hal tersebut dilanggar. Intinya, bekerja dengan Pak Jimin sama halnya dengan bekerja di bawah tekanan Hitler.
"Kamu nginap di apartemen saya saja." Spontan aku menoleh kala mendengar bariton beratnya, "Rumah kamu kan, jauh. Saya tahu kamu capek."
"Eum ... nggak usah, Pak──"
"Nggak usah nolak," potongnya sepihak. "Nanti kita mampir dulu ke Channel deket sini. Beli baju ganti kamu."
Asal bapak bayarin saya mah rela; dan itu hanya terucap dalam hati. Beda level untuk bawahan seperti aku, yang kalau kepepet gini memilih meminjam atau beli saja yang murah-murah di distro. Susah sih, kalau uang sudah bertindak
© ikvjou ©
Sumpah, bukan main kakunya sikapku saat ini. Tinggal serumah itu bukan sesuatu hal yang baik─tentu saja. Bukannya membelikanku pakaian yang layak, ia justru membelikanku lingerie putih transparan. Gila, kan?
"Tolong data yang di situ diambil. Di dekat rak, map warna merah."
Aku buru-buru mengambil map yang dimaksud. Saat ini aku tengah berada di ruang kerja Pak Jimin; duduk di sofa berdua dengan Pak Jimin yang fokus terarah pada laptopnya.
"Sudah berapa tahun kamu bekerja dengan Nam Joon?"
"Saya ikut Pak Nam Joon sudah setahun, Pak. Sebelumnya saya dua tahun ikut Pak Shin Hyuk."
Pak Jimin mengangguk-anggukan kepalanya sekilas sebelum kembali berbicara, "Tim regional yang bekerja sama kamu laki-laki semua?"
"Iya Pak, saya satu-satunya perempuan di tim regional Indonesia yang bekerja di pusat pengembangan."
"Cukup gigih juga kamu," komentar Pak Jimin selanjutnya. Kuperhatikan, Pak Jimin ini cukup fleksibel, fokusnya pada laptop tapi masih mampu merespon ucapanku. "Mereka semua baik, kan?"
"Eh? Maksudnya, Pak?"
"Maksud saya, selama kamu bekerja, teman laki-lakimu itu bersikap baik, kan?"
O tentu saja, Pak. Tidak seperti bapak yang kurang ajarnya sudah kuadrat lima.
"Alhamdulillah, iya."
Spontan Pak Jimin menganggukan kepala, "Usia berapa kamu?"
"Dua puluh lima tahun, Pak."
Menurunkan kacamata yang ia kenakan, Pak Jimin menoleh sekilas ke arahku, "Minggu temani saya jalan-jalan di Jakarta."
Bukan main melebarnya kedua obsidianku? Astaga, dia benaran, kan? Mengajakku jalan-jalan?
"Ke mana, Pak?"
"Mana saya tahu. Karena itu saya ajak kamu."
Tch! Memang bukan Pak Jimin kalau tidak menyebalkan dan semena-mena. Lihat saja, baru aku ingin berprasangka baik, ia sudah menunjukan kembali sikap menyebalkannya itu. Pantas saja Pak Nam Joon menugaskan aku, sebab bisa jadi karena sikap tangguhku ini─menghadapi makhluk macam Hitler yang satu ini.
"Jadi, terserah saya, Pak?" Kulihat Jimin mengangguk-anggukan kepalanya. Huh, terlintas ide buruk di kepalaku untuk mengerjainya. Setan-setan di samping kiriku bersorak ria sementara malaikat di sebelah kananku justru menggetok kepalaku dengan tongkat panjangnya sambil berbisik; astagfirullah Ta.
"Sudah, masuk ke kamarmu sana."
"Hah?" Alisku bertaut, sedang Pak Jimin justru menyeringai.
"Kamu tidur di kamar saya atau saya tiduri kamu di sini, sekarang?"
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Seduce Mr. Park ✔
Fiksi Penggemar📌 FILE 1 : FINISHED 📌 FILE 2 : FINISHED Christa adalah seseorang yang perfeksionis terhadap perkerjaannya. Ia selalu bisa menyelesaikan pekerjaan apa pun; wanita berusia 25 itu cerdas, gesit, dan tentu memiliki paras yang cantik. Na...