Verfϋhren 33

3K 695 345
                                        

||•||



Saya mengelap rambut saya yang basah sehabis mandi. Setelah tadi saya setengah sinting menghadapi tingkah Christa, akhirnya sekarang bisa beristirahat sejenak dan bersih-bersih. Seminggu saya tidak bertemu dengan dia, dan setelah bertemu kembali Christa jadi orang yang lain─jadi lebih sensitif dan labil.

Memakai kaus putih tipis, saya melirik Christa yang sedang tertidur di atas ranjang. Tadi saya sempat gila untuk membujuk Christa agar tidak menangis (tangisnya bahkan lebih rese daripada anak kecil) sampai akhirnya tertidur. Ia tidak makan, dan saya memutuskan untuk membawa Christa ke apartemen saya.

Sejujurnya saya tidak tega; ia belum makan, belum bersih-bersih─pasti dia akan marah-marah lagi besok pagi karena tidur tidak bersih-besih. Tapi bagaimana, saya kasihan. Dia kelihatan lelah sekali.

Baru saya mau ke dapur untuk menyeduh kopi, sebuah dering masuk. Buru-buru saya mengangkat sembari membuat kopi dan makan untuk mengganjal perut.

"Halo, Rin? Ada apa?"

"Bapak di apart, Pak?"

"Iya. Kenapa, Rin? Ada kerjaan saya yang ketinggalan? Kamu langsung e-mail aja, ya?" balas saya sembari memasukan kopi ke mesin pembuat kopi.

"Nggak kok, Pak. Cuma mau mastiin aja Bapak nggak bunuh diri gara-gara patah hati."

Saya terkekeh, "Nggaklah. Saya masih cukup waras untuk nggak bertindak bodoh kayak gitu."

"Bagus, Pak. Pak Jimin terbaik memang!"

"Kamu belum tidur, Rin? Kerjaannya tinggal dulu aja," ucap saya sembari menyeduh air untuk memasak spaghetti.

"Saya lagi nonton drama korea, Pak. Mau ikutan nggak, Pak?"

"Nggak, Rin. Makasih banyak, lho."

"Yaudah, saya tutup ya, Pak. Saya mau nonton drama kembaran saya dulu."

"Kembaran kamu? Si Bona itu?"

"Ih, Pak Jimin bisa langsung hafal."

"Saya belum demensia, Rin. Nyepelein banget kamu." Saya memasukan spaghetti ke dalam air mendidih. "Jangan lupa tidur. Besok kerjaan numpuk, kasihan Jaehwan sama Daniel."

"Siap, Pak. Pak Jimin kalau ada apa-apa bilang saya aja, jangan sungkan."

"Iya, Rin─eh, Rin!" Saya memekik seketika sembari menaruh gelas di bawah mesin pembuat kopi. "Saya mau nanya, Rin. Tapi kamu jujur ya jawabnya."

"Nanya apaan sih, Pak? Segala pakai jujur-jujuran."

"Orang hamil itu suka aneh-aneh gitu, ya?"

"Heum ... ya orang hamil itu waktunya berkelakuan aneh."

"Saya serius lho nanyanya, Rin." Saya menyesap kopi yang baru saya buat, "Soalnya saya lagi frustasi banget. Kayak orang sinting."

"Lho, kenapa Pak? Siapa yang hamilPAK JIMIN!!!"

"Aduh, Rin! Jangan teriak, dong." Saya menjauhkan ponsel dari telinga, menghindari pekikan gila Hyorin yang oktafnya tinggi sekali. "Biasa aja, Rin. Udah malem ini."

"Habisnya, Pak. Saya terkejut. Eh, tapi Pak ... yang hamil itu someone special-nya bapak, ya?"

Saya mengangguk─meskipun saya tahu Hyorin tidak melihatnya. "Iya."

"Pak Jimin!!! Selamat sumpah. Gila, ternyata Pak Jimin murung nggak jelas karena stres ngehadepin orang hamil. Udah berapa bulan, Pak?"

Saya mengangkat spaghetti, meniriskannya sebentar sebelum saya taruh di atas piring. "Makasih, Rin. Baru empat minggu kali, saya nggak ingat."

How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang