Verfϋhren 12

4.4K 724 223
                                        

||•||


Terpaku menatap layar komputer, kuketik beberapa e-mail, juga bahan-bahan untuk presentasiku minggu depan sebelum kupindahkan dalam flashdisk cokelat yang berada di atas meja. Dengan kacamata yang membungkus dua indra penglihatku, tanganku tak luput beradu di atas keyboard.

Meeting kali ini dengan klien dari Hongkong; mengingat tahu lalu pihak dari perusahaan Hongkong begitu kredibilitas dan penuntut. Jadi, aku musti mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang akan diajukan dari pihak mereka. Atau pondasi kuat sebagai alasan kalau-kalau pada akhirnya kami akan menolak.

"Ta, lo nggak balik?"

Itu suara Mas Seok Jin. Kebetulan tugas kali ini memang dilimpahkan padaku dan Mas Seok Jin, juga Jung Kook dan Mingyu dari bagian IT Analyst.

Dalam tim ini, tugaskulah yang paling berat─dan kebetulan aku juga tengah dipromosikan untuk naik pangkat pada triwulan berikutnya.

Karena itu aku harus lebih rajin dan gila bekerja daripada sebelumnya. Lumayan kan, kalau dalam usia dua puluh lima tahun aku bisa menempati posisi General Manager. Siapa yang tidak mau coba?

Menggeleng, aku membalas sembari memfokuskan atensi pada layarku, "Duluan aja, Mas."

"Ini udah setengah sembilan lho, Ta. Lo balik sama siapa nanti? Apa mau gue tungguin?"

Refleks aku mendongak, menoleh ke arah Mas Seok Jin yang berdiri di samping mejaku. Penampilan Mas Seok Jin saat ini jauh dari kata rapih; kemejanya sudah kusut dan tergulung, rambutnya agak sedikit berantakan, juga wajahnya yang letih. Melihatnya aku jadi kasihan sendiri.

"Nggak usah, Mas," tolakku halus. "Nanti gue pesen uber aja atau grab. Gampanglah."

"Tapi bahaya lho, udah malem gini. Jakarta rawan, Ta."

Iya sih, ada benarnya. Harusnya tadi pagi aku bawa mobil saja, namun karena ajakan Mas Seok Jin yasudah aku ikut. Pikirku sih, tadi irit bensin─taunya malah lembur begini.

"Insya Allah nggak. Doanya yang baik dong, Mas," kelakarku sedikit memecah suasana sepi. Mas Seok Jin sendiri cuma tersenyum, lalu ia usap puncak kepalaku.

"Nanti kalau pesen taksi online jangan lupa fotoin nomor kendaraannya, kirimin ke gue, ya. Screen shoot juga data abang-abangnya biar bisa gue pantau."

Gini nih, sikap posesif Mas Seok Jin. Aku sudah tidak kaget dengan apa yang dia pesankan padaku barusan─soalnya waktu kami masih pacaran pun, begitu. Kadang-kadang ia akan menitipkanku pada Pak Rudi─satpam di depan kalau-kalau aku lembur begini.

Dan sikapnya sama sekali tidak berubah. Duh, jadi flashback lagi, kan.

"Iya Mas. Nanti gue line ke lo deh, sekalian nomor abangnya," balasku mengiyakan. "Semoga aja abangnya ganteng."

Terdengar kekehan singkat dari Mas Seok Jin sebelum berceletuk, "Centilnya kurang-kuranginlah."

"Dikata diskonan Tanah Abang."

Lagi, Seok Jin hanya terkekeh. Tawanya subhanallah renyah; membersihkan pendengaran. Serak-serak basah gitu──ada berat-beratnya lagi, ditambah jakunnya naik-turun.

Buset ... ini kenapa otak jadi omes.

Tak lagi menanggapi kudengar langkah Mas Seok Jin meninggalkan ruangan, "Assalamaualaikum, Ta."

"Wallaikumsallam, Mas."

Kim Seok Jin; si muallaf dengan sejuta pesona dan salam yang tidak pernah ia lupakan barang sedetik.

How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang