Verfϋhren 10

4.9K 749 373
                                    

||•||


Bukan main tegangnya seluruh tubuhku kala memasuki ruangan Pak Nam Joon. Pagi-pagi sekali─sesuai instruksinya─aku datang, mengetuk ruangannya sekali lalu masuk.

Kulihat Pak Nam Joon tengah bertekur amat serius bersama beberapa tumpukan file di atas mejanya. O, bos yang sangat rajin.

"Bapak manggil saya?"

Aku berujar sopan di depan mejanya; berdiri dengan kedua tangan berada di depan. Omong-omong hari ini aku tidak lagi memakai potongan dress A-line, melainkan menggunakan blous navy panjang juga celana bahan berwarna senada.

Jangan tanya ini permintaan siapa; Mas Seok Jin sudah pasti─duh, sekarang aku jadi nyaman memanggilnya dengan sebutan mas kembali. Sebenarnya ini juga inisiatif dariku sih, takut-takut kejadian kemarin menimpa─mengundang syahwat dan nafsu para lelaki.

Masya Allah, bergaul sama Mas Seok Jin mah dilumuri bau surga.

Melepas kacamata yang membungkus kedua atensinya, Pak Nam Joon mulai beralih memerhatikanku; tatapan intensif dari atas sampai bawah.

"Tumben, Ta?"

"Iya, Pak?" tanyaku mengulang─tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.

"Tumben lo pake baju macam mau marawisan."

EHBUSET ... baju modis gini dikata mau marawisan; apa kabar sama mbak-mbak yang pakai gamis? Memang Pak Nam Joon ini manusia-manusia bau neraka─eh, astagfirullah.

"Hm, bosan pakai──"

"Lo balikan lagi sama Bang Jin?"

O jadi tujuannya memintaku ke sini, untuk kepo begini. Baiklah, kalau dia memulai mode santai, aku pun begitu. Berjalan menjauhi meja kerjanya, kuhempaskan tubuh ke atas sofa yang berada di sudut ruangan.

"Kepo banget lo, Joon."

Pak Nam Joon yang penasaran mendekatiku, duduk persis di sebelah. "Kemaren anak-anak heboh lo jalan bareng sama Bang Jin. Terus katanya Bang Jin nginep di rumah lo, beneran?"

"Nggak usah nanya-nanya kalau udah tau jawabannya."

Kulirik Pak Nam Joon sekilas; ia bungkam dengan wajah tertekuk. Ah iya, aku dan Pak Nam Joon ini sebetulnya berteman─di luar dari pekerjaan kami, bersama teman-teman tim regionalku yang lainnya, termasuk Mas Seok Jin.

"Bang Jin murka sama gue soal tugas rahasia gue ke lo," adu Pak Nam Joon pelan. "Gue habis dimaki-maki dia. Gila, ngeri dah."

"Mampus!" timpalku girang, "Lagian lo ngapain pake nyuruh──"

"Gue cuma pengin Jimin balik ke jalan yang bener, Ta."

"Tapi nggak musti gue kan, yang dijadiin suruhan buat ngegoda dia?" tanyaku menusuk. Kulihat Pak Nam Joon mengangguk-anggukan kepalanya. "Lo bisa nyuruh atau bayar cewek yang lain, angkat dia jadi sekretaris──"

"Tapi gue percayanya sama lo. Jimin itu sama kayak lo dan anak-anak. Sama berharganya buat gue."

Aku diam. Tak mampu membantah atau menyangkal ucapan Pak Nam Joon. Memang, kalau urusan loyalitas dan tanggung jawab: Pak Nam Joon juaranya. Makanya, aku tidak heran dengan sifatnya yang over perhatian begini pada temannya.

Terhadap kami-kami saja Pak Nam Joon super perhatian di belakang──tentu saja pekerja kantor lainnya tak boleh tahu; daripada menimbulkan gossip yang tidak-tidak, kan?

"Umur gue nggak muda lagi, Ta. I almost 30-fuckin-years old man. Lo tau, bahkan gue nggak bisa mikirin diri gue buat berkeluarga karena Jimin berengsek itu. Dia diem-diem kawin di New York sama laki-laki. Hancur perasaan gue Ta, sebagai abang."

Atmosfer mulai menegang, juga tatapan frustasi Pak Nam Joon. Aku mungkin tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya atau bagaimana cara ia berpikir beserta perasaannya. Kalau toh, aku berada di posisinya: mungkin aku juga merasakan hal serupa.

"Gue salah dengan nyuruh lo kayak gitu. Gue nggak bener-bener ngejual atau minta lo jadi cewek rendahan di depan Jimin. Gue cuma mau Jimin sedikit open minded soal wanita ..."

"... gue cuma mau dia sadar apa yang dia lakuin itu salah."


© ikvjou ©



Aku berjalan gontai sehabis meninggalkan ruangan Pak Nam Joon. Rasanya pandanganku terhadap Pak Jimin agak sedikit berubah; meskipun aku tak tahu banyak soal dia, setidaknya aku tahu bahwa ia orang baik yang bahkan sampai ada orang yang begitu menyayanginya seperti Pak Nam Joon.

Bukankah itu artinya Pak Jimin lebih baik? Maksudku orang yang sangat baik?

Menunggu lift terbuka, kumainkan jemari kakiku yang berbalut heels putih; menggesekannya di atas lantai sesekali menggerakannya membentuk pola abstrak. Aku tidak tahu kenapa aku jadi sedih begini, benar-benar terbawa suasana.

Ting!

Pintu lift terbuka. Spontan tubuhku menegang kala kedua irisku mengenali siapa yang berada di hadapanku. Ia dengan tatapan yang lebih sayu dari biasanya melangkah, tak sama sekali memedulikan aku yang setengah mati menahan napas.

Sesaat darahku berdesir kala ia melewatiku begitu saja. Tapi, demi setan macam apa yang merasukiku, aku menahan pergelangan tangannya. Tubuhku agak menyamping, menoleh ke belakang, sementara ia hanya terhenti tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

"Pak Jimin ...."

"Apa Nam Joon mengatakan sesuatu yang buruk?"

Aku mendongak. Kali ini kudapati ia sudah berada di hadapanku dengan tatapan super datar──yang biasa ia lemparkan pada siapa pun. Kalau dipikir-pikir aku belum sekalipun melihat ekspresi ramah serta senyumnya selain seringaian mesum yang kerap ia berikan padaku.

Tanpa sadar aku menangis──bukan, hanya sekadar meneteskan air mata. Padahal tidak ada yang perlu kutangiskan selain perkataan Nam Joon yang membuatku berpikir berkali-kali juga wajah Pak Jimin yang pagi ini nampak tidak baik.

Tanya dinyana-nyana, Pak Jimin menarikku ke dalam pelukannya. Ia usap punggungku dengan lembut. Rasanya nyaman──sungguh.

"Kamu tahu, ibu saya pernah bilang alasan utama kenapa laki-laki musti dimasukan ke dalam neraka adalah membuat nangis seorang wanita."

Kemudian dijauhkannya tubuhku. Ia lalu sedikit menunduk, mengusap kedua sisi wajahku yang basah, kemudian ia cium kedua punggung tanganku lembut.

"Jangan dekat-dekat saya lagi. Saya adalah laki-laki yang sudah dicap neraka."












bersambung ....


How To Seduce Mr. Park ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang