Aku melihat bingkai foto yang dimaksud oleh Dika. Aku mengambil bingkai foto itu untuk melihatnya lebih dekat, aku membulatkan mataku melihat foto yang terpasang dibingkai itu. Ini adalah fotoku yang diambil oleh Danu waktu itu pada saat aku meminta Danu untuk mengingat wajahku tetapi ia malah memotretnya dengan ponsel.
"Mas kenapa foto saya bisa ada disini?" tanyaku dengan nada tidak suka.
"Pak Danu yang menaruhnya mbak. Katanya kalau ada mbak yang ada di foto ini kemari kami harus melayaninya dengan baik jangan tanya namanya dan jangan terima uang darinya. Pelayan disini juga sudah tahu semua mengenai hal ini." jelasnya.
Aku memutar bola mataku. Danu benar-benar melakukanya, ku kira ia hanya akan menyimpannya di ponsel saja tetapi ia mencetak dan menaruhnya di sini. Tunggu! Apa baru saja pelayan ini menyebut Danu dengan sebutan Pak?
"Pak Danu?" tanyaku dengan nada heran.
"Iya pak Danu pemilik caffe ini, saya kira mbak pacarnya." ucapnya disertai kekehan kecil.
Jadi Danu pemilik caffe ini, aku kira ia seorang pelayan. Lain kali aku akan hati-hati lagi menebak-nebak profesi orang lain.
"Ini milkshake nya." tambah pelayan itu.
Aku berniat mengambil uang dari dompetku, tetapi—
"Ini, ambil kembaliannya." ucap Dika menyerahkan uang satu lembar seratus ribuan sambil melepaskan rangkulannya dari pinggangku kemudian ia langsung menarik tanganku keluar dari caffe.
"Kemana?" tanyaku.
Dika tidak menjawab pertanyaanku, ia berjalan dengan langkah cepat. Aku hampir tersandung oleh kakiku sendiri karena tidak bisa mengimbangi langkahnya. Astaga ada apa dengan pria ini. Sikapnya yang berubah dengan cepat tanpa ku tahu mengapa membuatku bingung dan bertanya-tanya dalam hatiku tanpa tahu jawabannya.
"Dika pelan-pelan." ucapku dengan nada tidak suka. Tetapi Dika tetap berjalan, ia terus mempercepat langkahnya hingga kami berdua masuk ke dalam mobil pun ia tidak ada mengatakan satu patah kata pun padaku.
"Dika, aku ingin berada disana lebih lama mengapa kau langsung menarikku keluar?"
Dika menyalakan mobilnya tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Ia tampak kesal dan aku tidak tahu apa yang membuatnya kesal.
"Dika." panggilku.
"Diam, Nilan." ucap Dika dengan nada dingin.
Ada apa dengannya, bukankah tadi ia baik-baik saja. Aku menghela nafas kasar, selalu seperti ini. Kalau aku tidak menyukainya, aku tidak akan sudi dekat dengannya. Sikapnya selalu berubah-ubah, membuat kepalaku pusing.
"Dika bisa kau turunkan saja aku disini." ucapku.
Bahkan saat mobil sudah jalan pun ia masih bungkam. Setiap pertanyaan yang aku lontarkan selalu diabaikan olehnya. Aku tidak tahan dengan situasi seperti ini, aku sedang bersama dengannya tetapi aku merasa seolah-olah aku ini seperti seorang diri. Sebenarnya kemana tujuan mobil ini dan mengapa ia diam saja.
"Akan lebih baik jika aku pulang sendiri." ucapku.
"Dika ini bukan jalan menuju rumahku," sambungku saat menyadari bahwa ia mengambil jalur yang berlawanan arah dengar rumahku.
"Kau akan membawaku kemana?" lanjutku masih mengoceh karena dengan menyebalkannya masih saja diam.
"Bicaralah, aku tahu kau tidak bisu." ucapku dengan nada yang mulai panik.
Bagaimana aku tidak panik. Ini sudah jauh dari jalan menuju rumahku dan Dika tidak mengatakan sepatah katapun padaku. Ini sudah malam, ia akan mengajakku kemana malam-malam begini. Bukannya aku tidak percaya padanya karena kalau ia menculikku, aku ini tidak akan berguna. Kalau untuk di jual pun aku tidak akan ada yang minat. Astaga mengapa pikiranku buruk sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
He's The Boss
Romance18+ Saat ini aku sedang menjadi anak pembangkang yang menerima karma. Aku mengatakannya karena saat ini sedang mengalami kesulitan atas keputusan egois yang ku buat 4 tahun yang lalu. Aku memaksa mengambil jurusan manajemen bisnis disaat tidak ada a...