27. Terjebak

12.1K 446 7
                                    

Dalam hidup ini kita pasti pernah merasakan sesuatu. Entah sesuatu itu hal yang baik atau hal yang buruk. Jika salah satunya terjadi mau tidak mau, suka tidak suka kita harus menerimanya. Sama halnya denganku, saat ini aku tengah merasakan salah satunya. Keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak padaku karena aku tengah merasakan hal buruk yang sialnya hal buruk itu sepertinya akan menimpa bos ku. Entahlah firasat itu timbul begitu saja dalam benakku.

Aku selalu menyangkal jika hal buruk itu akan terjadi. Aku selalu menyakinkan diriku bahwa itu hanyalah sebuah firasatku saja tetapi semakin keras aku mencoba untuk menyangkalnya, firasat buruk itu malah terasa semakin nyata. Kemarin aku sudah merengek pada Dika kalau aku ingin ikut tetapi Dika menolaknya dengan alasan ia hanya sebentar disana. Setelah urusan selesai ia akan segera pulang lagi ke Jakarta.

"Apa kau yakin tidak akan mengajakku?" tanyaku.

Saat ini aku tengah menyiapkannya sarapan untuknya dan aku masih berusaha untuk membujuknya agar aku bisa ikut pergi bersama dengannya. Aku hanya merasa ingin menyelamatkannya walaupun aku tidak tahu misi seperti apa yang akan Siska lakukan. Aku juga tidak bisa mengatakannya pada Dika karena akan terdengar sangat konyol saat aku mengatakan hal itu padanya.

"Kau sudah bertanya ini berkali-kali, Nil." ucapnya sambil mengecek tas kerjanya.

"Apa tidak bisa via online saja?" tanyaku lagi.

Zaman sudah canggih mengapa harus kesana hanya untuk memperlihatkan sebuah rancangan. Bukankah itu hanya akan membuang waktu, uang dan tenaga.

"Aku tidak mau ada yang mengcopy rancangan ini, Nil. Lagi pula Pak Eric sudah menjadi klien perusahaanku sejak dulu. Aku tidak mau mengecewakannya." ucapnya.

Aku menghela napas kasar, "Hati-hati kalau begitu."

"Ada apa sebenarnya, Nil?" tanyanya.

Aku menggeleng seraya meletakkan piring berisi nasi goreng omelette di meja makan.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya sambil meneliti wajahku.

"Aku janji setelah meeting dengan Pak Eric sudah selesai aku akan langsung kembali, aku tidak akan membuatmu menunggu terlalu lama." sambungnya.

Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya utnuk membujuk Dika agar aku bisa ikut. Aku tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk padanya.

"Apakah tidak bisa aku saja yang menggantikan Siska?" tanyaku. Aku tahu ini mustahil tetapi tidak ada salahnya berusaha bukan.

Dika menggeleng.

"Apakah kau sangat ingin pergi denganku?" tanyanya.

Aku mengangguk. Aku hanya ingin memastikan ia baik-baik saja.

"Kalau begitu nanti saja jika ada waktu libur aku akan mengajakmu kesana." sahutnya membuat senyum di bibirku memudar.

Bahuku kembali merosot mendengar jawabannya. Aku kira ia berubah pikiran. Andai saja Dika mengatakan itu saat kondisi hati dan pikiranku sedang baik pasti akan terdengar begitu menyenangkan.

Setelah selesai sarapan kami berangkat ke kantor bersama menggunakan mobil milik Dika. Kali ini ia tidak menyuruhku untuk mengemudikannya. Aku bersyukur atas itu karena aku sedang tidak fokus untuk mengerjakan apapun. Pikiranku masih sibuk menerka-nerka apa yang akan Siska lakukan pada Dika mengenai misinya itu.

"Aku ingin menanyakan sesuatu." ucapku saat Dika akan turun dari mobil. Kami sudah sampai di kantor tetapi masih berada diparkiran lantai 3.

Dika yang hendak mengeluarkan satu kakinya berhenti lalu menoleh ke arahku. "Tanyakan saja." ucapnya.

He's The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang