Ini sudah hari ke tiga puluh aku berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Sudah banyak surat lamaran yang aku kirimkan di beberapa perusahaan yang menjadi tujuanku bekerja tetapi sampai sekarang belum ada panggilan barang satu perusahaanku. Aku menginginkan posisi sekretars semenjak aku masih duduk dibangku kuliah. Aku lulus dengan Ipk 3,99 nilai yang terbilang sempurna tetapi sepertinya nilai yang aku dapatkan tidak sesempurna nasib ku karena sampai sekarang aku masih seperti layang-layang yang masih kesana-kemari mendatangi satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Semesta sedang tidak berpihak padaku karena sampai saat ini aku masih menyandang gelar pengangguran terdidik.
Ku pikir dengan niali Ipk yang mumpuni aku bisa mudah mendapatkan perkerjaan apapun yang aku inginkan tetapi ternyata aku salah. Padahal nilai sempurna yang kudapatkan tidaklah mudah tentu saja dengan usaha dan perjuangan yang terbilang susah. Kesal rasanya kalau sudah mengingat perjuangan yang lalu. Dulu aku adalah mahasiswa yang aktif, rajin dan tidak sedikit teman-teman bahkan dosen yang menyukai kepribadianku yang penuh dengan semangat. Tetapi kalau dipikirkan kembali untuk apa semua itu jika tidak dapat membantuku mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Aku terus berfikir dan bertanya kepada diriku sendiri, sebenarnya apa yang kurang dariku dan apa yang salah denganku.
"Nilannn!" teriak wanita paruh baya dibalik pintu kamarku.
Namaku Nilan, lengkapnya Nilan Melinda Pradana dan yang teriak memanggil namaku tadi adalah Bunda, Bunda Linda.
Ceklek...
Pintu kamarku terbuka dan tampaklah sosok Bunda dengan setelan putih-putihnya. Ia sudah siap berangkat dinas sedangkan aku masih dengan piyama tidurku. Sangat bertolak belakang.
"Astaga Nilan! Sudah pukul berapa ini mengapa masih belum siap-siap, kamar juga masih berantakan. Sedang apa duduk di depan cermin dengan rambut yang masih acak-acakan. Bunda yakin kamu juga pasti belum mandi." cerocos Bunda.
Saat ini aku memang tidak sedang malas-malasan di tempat tidur, melainkan ditempat yang Bunda sebutkan tadi. Mengapa aku duduk didepan cermin? Karena dengan bercermin kita dapat melihat diri kita, kita dapat menilai apa yang kurang atau salah di dalam diri kita. Dengan perasaan malas aku menoleh ke arah Bunda dengan mulut yang siap untuk bicara tetapi Bunda kembali mengoceh.
"Lulusan sarjana malah malas-malasan bukannya cari kerja." ucap Bunda dengan nada bawelnya.
Sebagai anak, aku merasakan perubahan yang drastis dari sifat Bunda. Dulu saat aku masih kuliah dan selalu mendapat nilai yang paling tinggi, Bunda tidak pernah seperti ini. Kemana sifat Bunda yang lemah lembut dan penyayang, sekarang aku selalu saja disalahkan padahal saat ini baru jam 11 pagi. Memang masih pagi bukan?
"Eee di bilangin bukannya cepat gerak malah diam saja. Cepat bereskan kamarnya lalu kamu mandi dan cari kerja, bosen Bunda lihatnya." cerocos Bunda lagi.
"Iy—"
"Bunda mau ke puskesmas dulu." ucapnya memotong apa yang hendak aku katakan.
Lihatlah aku bahkan tidak diberi kesempatan hanya untuk sekedar menjawab kata "Iya". Semesta memang benar-benar sedang tidak berpihak kepadaku. Setelah Bunda keluar dari kamar dengan tenaga yang hanya sebiji jagung aku bangkit dari kursi lalu berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandi.
Setelah mandi dan berpakaian, aku berniat untuk membereskan kamarku tetapi tiba-tiba aku merasakan perutku memencet tombol lapar yang ada didalam otak sehingga dengan otomatis aku merasakan lapar dan ingin makan. Rencana membereskan kamarpun di cancel. Aku segera keluar kamar dan sedikit berlari menuruni tangga.
"Biii!" teriakku yang masih berada diatas tangga.
"Bi Idaaa!" teriakku lagi setelah aku benar benar sampai di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's The Boss
Roman d'amour18+ Saat ini aku sedang menjadi anak pembangkang yang menerima karma. Aku mengatakannya karena saat ini sedang mengalami kesulitan atas keputusan egois yang ku buat 4 tahun yang lalu. Aku memaksa mengambil jurusan manajemen bisnis disaat tidak ada a...