35. Perjodohan

11K 384 2
                                        

Kemarin aku merasa sangat gelisah ketika mendapat telepon dari Bunda. Aku hampir ingin mati saja saat Bunda menanyai keberadaan ku dengan nada suara yang mengerikan. Ia bahkan memintaku pulang ke rumah diantar oleh Dika pada saat itu juga. Sepanjang perjalanan aku terus bergerak gelisah memikirkan apa yang akan terjadi di rumah karena ini begitu mendadak apalagi Bunda meminta Dika ikut bersamaku. Dika terus saja menanyai mengapa sikap ku aneh setelah menerima telepon dari Bunda. Aku pikir mungkin kemarin adalah waktu yang tepat untuk memberitahunya.

Perlahan aku menceritakan sekelumit kisah tentang peraturan keluarga ku yang sangat konservatif. walaupun dalam keadaan tengah mengemudi, ia terlihat serius mendengarkan kata demi kata yang aku ucapkan. Setelah aku menceritakannya, sesaat ia diam saja sehingga membuat perasaan gelisah dan takut ia akan meninggalkanku pun menyerang jiwaku bagaikan badai yang datang disaat hujan. Namun itu hanya terjadi beberapa menit saja karena selanjutnya ia menepikan mobilnya dan bergerak memeluk ku seraya berkata 'aku akan bertanggung jawab bila terjadi apapun padamu, aku akan berada paling depan jika orang tuamu mengetahui tentang kita'.

Mendengar kata manis yang ia ucapkan membuatku menitikkan air mata. Aku semakin yakin bahwa ia juga merasakan perasaan yang sama dengan ku. Perasaan takut akan berpisah yang aku rasakan seketika hilang begitu saja digantikan oleh rasa sayang yang bertambah besar.

"Nilan!" teriak suara dibalik pintu kamarku. Kalian pasti tahu siapa yang meneriaki ku saat di rumah.

"Ya, Bun!" teriak ku tak kalah nyaring.

"Lama sekali." gerutu Bunda saat ia sudah berada di dalam kamar ku.

Bunda masih sama, cerewet seperti biasanya. Namun ajaibnya aku sangat menyayanginya melebihi aku menyayangi diriku sendiri karena bila tanpanya aku tidak akan ada di dunia ini.

"Astaga, tolong sabar sedikit." gerutku. Astaga aku jadi tahu darimana sifat burukku berasal.

Aku tidak tahu akan dibawa kemana malam ini karena tidak seperti biasanya Bunda mengikutsertakanku pada acara mereka. Aku bahkan diminta memakai dress yang disiapkannya. Ini persis seperti peristiwa saat aku diminta menghadiri dinner di rumah Tante Indri kala itu.

"Bang Kevin ikut juga tidak, Bun?" tanyaku saat aku tengah memilih high heels di rak sepatu.

"Tidak, Kevin sedang ada meeting dengan tenaga kesehatan lain untuk melakukan kolaborasi operasi besar." ucap Bunda yang terdengar seperti sedang berkumur-kumur karena aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapannya.

Kemarin saat aku dan Dika sampai di rumah ternyata Bunda tidak ada sehingga untuk saat itu aku bisa bernapas lega. Hari ini aku izin kerja atas permintaan Bunda. Aku dan Dika baik-baik saja, kami sering berbalas pesan singkat dan terkadang melakukan video call. Ia sering mengatakan rindu padaku padahal baru satu hari kami tidak bertemu.

"Nilan kira Bunda akan mengajakku ke sebuah pesta yang berada di hotel bintang lima." ucapku saat kami sudah sampai di sebuah restoran bergaya militer.

"Itu mereka datang." ucap Bunda antusias.

Aku memutar bola mataku. Bunda masih sama, ia gemar mengabaikan ucapanku. Aku melirik malas mengikuti arah pandang Bunda lalu mataku menangkap tiga orang pria berseragam polisi, salah satunya Ayahku dan sepasang suami istri lengkap dengan satu anak laki-laki. Acara apa ini sebenarnya.

"Sepertinya kami terlambat." ucap wanita paruh baya berbasa-basi.

Bunda menyenggolku saat aku tak ikut berdiri untuk menyambut kedatangan mereka. Dengan malas aku berdiri mengikuti Bundaku lalu tersenyum seadanya.

"Tidak, kami juga baru saja sampai." ucap Bunda dengan ramah. Cih pencitraan.

Entah siapa yang memesan makanan karena setelah kami duduk, tidak lama setumpuk makanan datang. Ini aneh padahal dari Bunda ataupun rekan Bunda tidak ada yang memesan. Apa restoran ini bisa pesan melalui online seperti di rumah sakit.

He's The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang