28. Ketidakadilan (1)

11.7K 447 1
                                    

Dalam hidup ini kita pasti pernah melihat atau bahkan kerap kali merasakan ketidak adilan. Entah itu dalam hal yang sederhana atau hal yang rumit sekalipun. Apa yang akan kalian lakukan bila ketidak adilan itu menimpa hidup kalian? Apakah kalian akan berusaha untuk melawan ketidak adilan itu agar hidup kalian lebih baik atau kalian akan diam dan pasrah menerimanya.

Aku tahu kalian pasti akan memilih opsi yang pertama. Ada berbagai jenis karakter manusia di dunia ini tetapi pada umumnya manusia pasti akan berusaha terlebih dahulu walaupun terkadang mereka sudah tahu di tengah jalan akan ada badai dan hujan yang akan menerpa tetapi itu lebih baik daripada diam tanpa usaha.

Sayangnya, aku adalah orang pengecut yang diam dan pasrah menerima ketidak adilan. Aku mempunyai alasan tersendiri untuk memilih opsi yang kedua. Aku menyerah karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk meneriaki wanita sialan itu. Aku tidak tahu harus berteriak meminta tolong kepada siapa karena aku tahu situasi disini seperti apa. Dari peristiwa ini aku mendapatkan pembelajaran baru bahwa kita tidak boleh menyepelekan atau bahkan memandang rendah orang yang diam dan pasrah ketika mendapatkan ketidak adilan karena mereka pasti mempunyai alasan mengapa memilih jalan itu.

Terhitung sudah tiga jam aku terkurung disini. Di tempat yang sempit dan sepi. Aku selalu berdoa agar keajaiban datang padaku karena hanya hal itu yang saat ini terbesit didalam pikiranku. Udara yang mulai terasa dingin mendandakan bahawa langit biru telah berganti gelap. Kerongkonganku pun terasa kering. Keringatpun mulai bercucuran dan rasa gelisah mulai datang. Aku mulai mengatur napasku yang semakin tidak teratur. Aku mencoba mengalihkan rasa gelisahku dengan mengingat hal-hal yang indah agar aku tidak kehilangan kesadaranku. Aku dan phobia ruangan gelap dan sempit sedang bertahan bertaruh nyawa dengan tubuh yang sudah sangat lemas.

Brak.

"Nilan!" teriak suara di balik pintu toilet.

Bibirku terangkat ketika mendengar ada suara di balik pintu. Akhirnya bantuan datang tetapi sayangnya aku tidak bisa teriak karena terlalu lemas. Mungkin ini sudah batasku untuk bisa bertahan. Dalam 22 tahun aku hidup, ini adalah waktu terlama yang aku miliki untuk bertahan dari phobiaku. Dengan sisa tenaga yang aku miliki, aku memukul pintu toilet berharap orang di luar sana dapat mendengarnya.

Cetrek.Terdengar bunyi kunci yang di putar, aku terus menatap pintu itu dan ketika pintu terbuka aku melihat wajah Dika yang begitu kusut dan pakaiannya yang berantakan. Aku sempat tersenyum ke arahnya sebelum pandanganku mulai kabur. Dika bergerak cepat ke arahku lalu menggendongku keluar dari toilet. Aku masih bisa mendengar ia memanggil-manggil namaku dan menyuruhku untuk membuka mataku. Aku pun membuka mataku saat merasakan banyak udara yang ku dapatkan. Sungguh, sebenarnya aku hanya butuh ruang terbuka agar bisa menghirup oksigen dengan bebas.

Dika menghela napas saat aku membuka mataku dan menatapnya. Ia menggendongku lagi lalu membawaku ke ruangannya. "Tolong suruh petugas kesahatan kemari secepatnya." titahnya pada seseorang melalui telepon dengan tergesa-gesa.

Tidak lama setelah itu, petugas kesehatan datang. Aku langsung di periksa dan diberi banyak minum oleh seorang perawat. Aku masih berbaring di sebuah kasur berukuran sedang. Aku baru tahu ada ruangan di dalam ruangan. Dika mempunyai satu kamar di samping ruangan kerjanya yang awalnya aku kira itu adalah sebuah toilet. Aku penasaran siapa yang mendesain ini, arsitek itu sungguh kreatif. Dika terlihat masih dengan perawat itu, entah apa yang tengah mereka perbincangkan.

"Ku rasa ini tidak perlu." ucapku saat perawat itu membawa satu set alat infus dan kantung cairan.

Sebelum perawat itu menjelaskan, Dika terlebih dahulu berkata, "Itu untuk kebaikanmu, Nil." ucapnya.

He's The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang