"Davin, aku sudah dua kali memergoki wanita ini memakai lift khusus untuk atasan. Apa ia karyawan baru?" tanya wanita itu dengan nada mengadu kepada Dika.
Aku baru ingat bahwa Davin dan Dika adalah orang yang sama tetapi sampai sekarang aku tidak tahu mengapa orang perusahaan memanggilnya Davin sedangkan aku memanggilnya Dika.
"Iya dia masih baru, biar aku yang akan mengurusnya." ucapnya.
"Ikut saya ke ruangan." sambungnya.
Aku pun mengikuti langkah kaki Dika yang mengarah ke ruangan CEO.
"Apa yang membuatmu datang kemari, Nil?" tanya Dika setelah kami memasuki ruangan.
"Aku disuruh oleh Pak Richard untuk menyerahkan ini kepada Pak Davin." ucapku.
Dika mengangkat satu alisnya lalu berkata, "Aku pak Davin."
Aku melihat papan nama yang berlapis kaca bertengger di meja kerjanya yang bertuliskan Davin Anandika Prakoso. Kebingunganku selama ini terjawab sudah tetapi aku masih bingung untuk memanggilnya Davin atau Dika.
"Ah ya, maaf atas ketidaktahuan saya, Pak." ucapku memperbaiki cara bicaraku padanya.
"Bersikaplah seperti biasa sebelum kau tau, Nil, lagi pula kita hanya berdua disini." ucapnya.
"Tapi—"
"Mana berkas yang ingin kau berikan padaku." ucapnya memotong pembicaraanku.
Aku menyerahkan berkas seraya berkata, "Kau tidak memarahiku?" tanyaku was-was. Pertanyanku merujuk pada persoalan lift yang wanita itu debatkan.
"Tidak, sebenarnya bukan aku yang menerapkan peraturan konyol seperti itu tetapi Papa." ucapnya seraya melihat-lihat berkas yang tadi ku bawa.
Aku hendak pergi setelah ku rasa urusanku selesai tetapi aku menyadari sesuatu yang menjadi tuuanku setelah berhasil menyerahkan berkas ini padanya.
"Bolehkan ku pinjam telepon kantor?" tanyaku.
"Untuk apa?"
"Aku ingin menghubungi Bunda." ucapku jujur.
"Tidak perlu, aku sudah menghubunginya tadi malam." ucapnya membuatku harus memakai otakku untuk berpikir bagaimana ia bisa melakukannya.
Dari mana ia tahu nomor Bunda. Aku juga penasaran apa yang ia katakan pada Bunda sampai ia mendapatkan izin agar aku bisa bermalam di penthhousenya. Aku harus menanyakan ini padanya karena Bunda bukan tipe orangtua yang mudah mengizinkan anak perempuannya untuk menginap.
"Ada yang ingin kau sampaikan lagi?" Tanya Dika.
"Tidak ada, kalau begitu aku permisi." pamitku.
Sebaiknya ku tanyakan nanti saja karena ia tampak sedang banyak pekerjaan. Aku sadar dengan posisiku disini. Lagi pula aku tidak ingin mengganggunya dengan pertanyaan di luar masalah kantor.
Namun ketika aku sudah mencapai pintu, suara Dika menginterupsi langkahku. Ia berkata, "Nanti siang, aku tunggu kau di kantin kantor."
Aku pun menghentikan langkahku lalu memutar tubuhku menghadap ke arahnya, "Aku ada janji dengan Wisnu." ucapku secara langsung menatapnya.
Wisnu pasti akan kemari saat jam istirahat karena ia sudah mengatakannya tadi malam. Lagi pula ada apa ia ingin menemuiku di jam istirahat kantor. Kalau makan ia pasti biasanya juga sendiri tidak perlu harus denganku.
"Untuk apa ia kemari?" tanyanya tidak suka.
"Aku menjadi guru lesnya selama dua minggu ini." ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's The Boss
Romansa18+ Saat ini aku sedang menjadi anak pembangkang yang menerima karma. Aku mengatakannya karena saat ini sedang mengalami kesulitan atas keputusan egois yang ku buat 4 tahun yang lalu. Aku memaksa mengambil jurusan manajemen bisnis disaat tidak ada a...