Angin malam yang berhembus kencang malam ini seakan menjadi teman baru yang menyelinap diantara aku dan Dewi. Ajaibnya kami masih setia berada di rooftop walaupun udara semakin terasa dingin.
Saat aku menanyakan perihal Siska, Dewi mengatakan tidak tahu. Namun saat ia menyusul Dika, ia samar-samar mendengar Dika mengatakan 'Tolong amankan Siska' pada seorang satpam. Setelah melihat itu Dewi turun lagi kebawah karena takut terkena amukan seperti yang lain. Dewi tidak pulang, maka dari itu ia datang cepat saat aku mengiriminya pesan untuk menemuiku di ruangan.
"Cairan infusmu sudah habis, Nil." ucap Dewi mengingatkan.
Aku melirik ke arah kantung cairan infus yang berada tepat diatas kepalaku. "Apa kau bisa melepaskannya? Ini benar-benar tidak nyaman." pintaku.
Dewi menggeleng. "Aku takut." ucap Dewi meringis.
Satu ide gila terlintas di pikiranku untuk melepas sendiri infus ini menjahili Dewi. Sepertinya ini akan seru untuk sekedar mencairkan suasana karena dari tadi kami tegang akibat terlalu serius bercerita. Ketika aku akan melepaskannya, Dewi berisik sekali menyuruhku untuk tidak melakukannya. Aku terkekeh jahil melihatnya ketakutan.
"Kau tidak boleh melakukan itu, Nilan. Itu harus di lakukan oleh tenaga medis yang profesional." ucapnya yang menyerupai teriakan.
"Ini mudah." ucapku seraya melepaskan hansaplast yang melekat.
Brak. Terdengar suara pintu yang di buka dengan kasar membuat kami berdua terlonjak kaget sehingga segera melihat ke asal suara. Dika muncul dari balik pintu itu dengan rambut yang acak-acakan. Aku mengernyit melihatnya seperti itu. Aku menatap Dewi, seakan mengerti gerak mataku. Dewi mengedikkan bahunya seraya berkata. "Aku tidak tahu."
Dika menghampiri kami dengan tergesa-gesa lalu berhenti tepat didepanku. "Kau pintar kabur sekarang." ucapnya dengan napas terengah-engah.
"Aku tidak kabur, Pak." sahutku. Aku hanya pergi diam-diam.
Lagi pula mengapa ia mengatakan itu, ada apa dengannya.
"Hari ini aku sudah dua kali ke ruang cctv. Mengapa kau tidak membawa ponselmu?" tanyanya kesal.
Sebelum aku menjawab, aku melihat tatapan mata Dika jatuh ke tanganku yang terpasang infus. Sepertinya ia sadar dengan apa yang hendak aku lakukan.
"Apa yang kau lakukan dengan benda itu?" tambahnya.
"Aku ingin melepasnya, lihat cairannya sudah habis." sahutku.
Dika menghela napas. "Lagi pula apa yang kau lakukan disini, Nilan. Disini begitu dingin." ucapnya sambil menarik tanganku yang tidak terpasang infus.
"Kemana?" tanyaku.
"Ikuti saja atau kau akan ku gendong." ancamnya.
Aku membulatkan kedua mataku. "Maaf aku tidak bisa pulang bersamamu." ucapku pada Dewi lalu mengikuti langkah Dika saat ia tak sabaran menarik tanganku.
Terhitung tiga langkah, Dika berhenti lalu menoleh kebelakang. "Terima kasih telah membantu saya hari ini." ucap Dika pada Dewi.
Aku melihat Dewi mengangguk seraya tersenyum kepada Dika sebagai jawaban. Entah Dika melihatnya atau tidak karena manusia itu langsung menyeretku lagi.
"Aku begitu panik saat tidak mendapatimu saat aku bangun, tolong jangan pergi kemana pun tanpa seizinku." ucapnya memperingatkan ketika kami sudah berada di ruangannya.
"Mengapa begitu? Bukankah biasanya aku tidak perlu izinmu dulu." sahutku.
"Aku tidak mau kejadian tadi terulang kembali." ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's The Boss
Romance18+ Saat ini aku sedang menjadi anak pembangkang yang menerima karma. Aku mengatakannya karena saat ini sedang mengalami kesulitan atas keputusan egois yang ku buat 4 tahun yang lalu. Aku memaksa mengambil jurusan manajemen bisnis disaat tidak ada a...