Dika bangun dan langsung menarik selimutnya, "Apa kau melihatnya?" tanyanya panik.
"Tentu saja." ucapku sambil tersenyum dan menyilangkan kedua tanganku di dada. Tak ku sangka di balik sikap dinginnya ia juga sama seperti kebanyakan pria di luar sana.
Aku berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, "Sepertinya teman kencanmu lupa memakainya." sahutku yang tidak bisa menahan senyumku.
"Bukan seperti itu, kau salah paham. Ini tidak seperti yang kau bayangkan." ucapnya membela diri.
Tanpa ditanya, Dika menjelaskan padaku kalau bra yang ku lihat itu milik ibu kandungnya. Aku sempat bingung dengan kata-kata yang ia ucapkan tetapi setelah ia menjelaskan habis semuanya, aku baru mengerti. Dika menjelaskan tentang kepergian ibu kandungnya saat ia masih kuliah. Saat itu ibunya kecelakaan dan nyawanya tidak bisa di selamatkan. Hari itu adalah hari yang paling menyakitkan dalam hidupnya, hari yang menyadarkannya bahwa ia tidak sekuat yang ia kira. Hari itu, Dika menangis untuk pertama kalinya. Ia seperti ranting kecil yang kering patah terbawa angin. Sangat rapuh.
Tente indri adalah adik dari ibu kandungnya. Turun ranjang istilahnya. Awalnya, Dika tidak menyukai Papanya menikah lagi sehingga ia memutuskan untuk keluar dari rumah dan membeli penthouse ini dengan uang tabungannya. Aku sempat tidak percaya, bagaimana dan berapa lama ia menabung sampai mampu untuk membeli sebuah penthouse.
Perihal bra, ternyata Dika mempunyai kebiasaan memegang bra ketika ia akan tidur. Suatu kebiasaan yang aneh menurutku, karena setauku kebiasaan sebelum tidur itu umumnya memegang telinga, memegang perut, memainkan kancing. Hanya itu yang aku tahu. Aku kira bra itu milik wanita one night stand tetapi Dika membantahnya mentah-mentah, ia mengatakan tidak pernah 'jajan'. Ya, ya aku percaya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Tetapi waktu itu aku tidak melihat bra ini, apa kau berbohong?" tanyaku saat teringat bahwa pagi itu saat aku terbangun tidur bersamanya aku tidak melihat bra ini.
"Kau saja yang tidak melihatnya." ucapnya.
"Kau sangat panik waktu itu." sambungnya.
Aku mengangguk mempercayai penuturannya karena benar waktu itu aku begitu panik sampai tidak memerhatikan sekeliling.
"Kau sudah menyiapkan air hangat untukku?" tanyanya.
Aku menggeleng, "Di daftar tidak ada." alibiku.
Sebenarnya aku belum mengingat keseluruhan daftar yang diberikan olehnya. Daftar itu terlalu banyak, melihatnya saja sudah membuatku pusing.
"Tambahkan kalau begitu." ucapnya sambil berdiri lalu melangkah menuju kamar mandi.
Setelah Dika memasuki kamar mandi. Aku melangkah mendekati lemari untuk menyiapkan baju untuknya. Kemudian setelah selesai aku menuju kitchen untuk menyiapkan sarapan. Sekarang aku cocok menjadi asisten rumah tangga.
Setelah makanan tertata rapi di meja makan, aku berjalan menuju kamarnya karena ia tak kunjung keluar padahal aku yakin sebenarnya ia sudah selesai. Saat sudah memasuki kamar, Dika sedang memasangkan dasinya. Ia terlihat lebih segar dan tampan selepas mandi di pagi hari.
"Berkedip, Nil." ucap Dika sambil memakai jas kerjanya.
"Lama sekali." ucapku sambil berbalik dan sedikit berlari menuju meja makan.
Bodoh, bodoh. Umpatku sambil memukul jidatku sendiri. Bagaimana bisa aku terpana pada pria yang hanya sedang memakai dasi? Aku harus lebih hati-hati lagi. Aku sudah sering ke gap sedang memandanginya.
"Kau hobi sekali melamun." ucap Dika sambil menarik kursi lalu duduk di depanku dengan gerakan perlahan.
Aku mengedip-ngedipkan mataku dengan gerakan cepat, "Aku tidak melamun," ucapku mengelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's The Boss
Romantizm18+ Saat ini aku sedang menjadi anak pembangkang yang menerima karma. Aku mengatakannya karena saat ini sedang mengalami kesulitan atas keputusan egois yang ku buat 4 tahun yang lalu. Aku memaksa mengambil jurusan manajemen bisnis disaat tidak ada a...