why me #1

745 28 0
                                    

"Jadi, akhirnya kamu menceraikan laki-laki itu?"

Sebaris pertanyaan tanpa basa-basi menyambut kedatangan kami, aku dan mama. Oma berdiri di ambang pintu dengan tatapan tak begitu suka pada mama. Ia tak langsung menyuruh kami masuk, seolah enggan untuk menerima kehadiran kami berdua di rumahnya.

"Ya." Mama hanya menyahut pendek. Nadanya pun datar mungkin seperti ekspresi wajahnya saat ini. Tampaknya mama terlalu malas untuk menjawab pertanyaan oma. Mama sudah menceritakan semuanya pada Oma sebelum datang ke sini. Sementara aku terlalu lelah untuk berbasa-basi dengannya. Perjalanan Semarang-Jakarta cukup melelahkan untukku. Untuk saat ini aku hanya ingin merebahkan punggungku di atas tempat tidur dan memejamkan mata barang beberapa jam sekadar mengembalikan stamina tubuhku.

"Kau sudah besar, Mauren."

Sapaan Oma menyadarkanku dari kebisuan. Wanita tua itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipiku pelan. Ia tersenyum tipis dan bertambahlah kerutan-kerutan di wajahnya. Meski usianya sudah kepala enam, beliau masih sehat wal afiat.

Aku balas tersenyum tanpa berucap sesuatu untuk menanggapi ucapannya. Terakhir kali aku bertemu Oma sekitar lima tahun yang lalu saat Opa meninggal dunia. Itupun tak lama. Hanya dua hari saja. Selain karena jarak Semarang-Jakarta lumayan jauh, persoalan pribadi Oma dan papa-lah penyebabnya. Wanita itu tidak pernah merestui pernikahan antara mama dan papa. Bahkan sampai aku tumbuh dewasa, wanita itu tetap kukuh pada pendiriannya. Ia belum bisa menerima papa sepenuhnya. Itulah kenapa papa enggan untuk sekadar berkunjung ke Jakarta. Beliau hanya mengirimkan kartu ucapan dan parcel saat lebaran tiba.

"Kamu cantik seperti mamamu, Mauren," imbuh Oma lagi memuji. Ia melirik sekilas ke arah mama dan padaku bergantian. Mungkin untuk mencari kesamaan di wajah kami berdua. Aku dan mama memang memiliki garis kemiripan wajah yang begitu dekat. Dan mama masih tampak cantik serta awet muda meski usianya sudah kepala empat. "masuklah," suruhnya seolah tersadar jika kami terlalu lama berdiri di depan pintu menunggu untuk dipersilakan masuk.

Tak banyak yang berubah dari rumah itu terakhir kali aku berkunjung ke sana lima tahun yang lalu. Dalam ingatanku, dulu tembok itu berwarna putih dan sekarang telah diganti dengan warna krem. Beberapa pajangan dinding dihilangkan dan diganti dengan lukisan yang entah datang dari mana. Selebihnya masih tetap sama.

"Shelin nggak ke sini, Ma?" Mama meletakkan tas-tas miliknya di sudut ruang tamu begitu oma mempersilakan kami masuk. Lalu menjatuhkan pantatnya di atas sofa  dengan keras dan menarik napas panjang. Menumpahkan segenap rasa lelah yang mendera tubuhnya di atas sofa.

Shelin adalah adik mama yang rumahnya hanya berjarak tiga blok dari rumah oma. Usia mereka terpaut dua tahun saja. Ia memiliki seorang putra yang usianya sepantaran denganku, namanya Danar. Mama sudah memberitahukan  pada tante Shelin tentang kedatangan kami kemarin, tapi, tampaknya ia belum muncul juga meski kami sudah sampai di rumah Oma beberapa menit yang lalu.

"Sebentar lagi juga ke sini." Oma melirik jam dinding yang menunjuk angka dua. Setahuku tante Shelin selalu mengantar makanan ke rumah oma pada jam-jam tertentu. Karena Oma hanya tinggal sendiri, tante Shelin melarangnya untuk memasak.

Aku mengikuti perbuatan mama dan berinisiatif mengambil tempat duduk di sebelahnya setelah meninggalkan travel bag serta tas tanganku di atas lantai, dekat kakiku. Sekadar melepas kepenatan dari tubuhku.

Sementara itu oma bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan kami minum. Kerongkonganku sudah kering sejak kami turun dari kereta tadi. Dan rasanya tanggung jika membeli minum di jalan karena hanya perlu naik taksi selama beberapa menit untuk sampai di rumah Oma.

"Apa laki-laki itu membagi harta gono-gininya padamu?" Oma datang tak lama kemudian dan meletakkan dua buah gelas besar berisi air perasan jeruk lemon yang ditambah dengan es batu ke hadapan kami.

"Ma." Mama bangkit dari sandaran sofa dan menegakkan tubuh. Tampaknya mama tidak suka Oma terlalu mencampuri urusan perceraiannya. Lagi pula bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal harta sekarang ini. Mama masih harus mengobati patah hati dan menata hidupnya dari awal lagi pasca perceraian dengan papa. "sampai kapan sih Mama nggak ikut campur urusanku?" protes mama terus terang. Wanita itu menaikkan alisnya yang tebal. Ia selalu melakukannya di saat sedang kesal atau tersinggung.

"Mama hanya bertanya, Rin. Apa salahnya?" Oma membela diri. Wanita itu mengambil tempat duduk di hadapan kami dan meletakkan nampan yang ia bawa di atas pangkuan.

Aku sama sekali tidak tertarik mengikuti perbincangan kedua wanita itu dan memilih meneguk minuman yang disuguhkan oma. Untuk membasahi kerongkonganku yang sudah kering kerontang. Setahuku kedua wanita itu kerap berselisih paham tentang hal apapun. Mereka memiliki pendapat dan pemikiran yang berbeda. Dan sepertinya bukan ide yang bagus bagi mama untuk tinggal serumah dengan oma.

"Ya." Mama menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa kembali. "kami dapat uang yang lumayan banyak. Cukup untuk biaya hidup beberapa tahun," imbuhnya hanya sekadar untuk membuat hati oma lega. Wanita tua itu akan terus bertanya jika belum mendapatkan apa yang ia inginkan.

Oma tak bertanya lagi. Mungkin wanita tua itu tidak akan mengungkit soal harta gono-gini dalam waktu dekat ini. Mungkin ia sudah puas dengan jawaban mama.

"Aku akan istirahat di kamar." Mama menguap panjang dan bangkit dari sofa. Ia menatapku sejenak sebelum mengambil tas-tas miliknya. "sebaiknya kamu tidur di kamar tamu, Ren. Biar Mama tidur di kamar atas," ucap mama.

"Biar Mauren tidur bersamaku." Dengan cepat oma menimpali sebelum aku sempat membuka mulut. Wanita tua itu menatapku seolah ingin meminta pendapat.

"Ma," tukas mama beralih menatap ke arah oma. Ia urung melangkah menaiki anak tangga pertama. "Mauren bukan anak-anak lagi. Dia sudah dewasa," kata mama dengan nada tegas. Tapi, sorot matanya tampak berbicara memohon.

"Baiklah." Oma menurut setelah berpikir sejenak. Pasrah dengan keputusan mama. "masuklah ke kamar, Sayang. Oma sudah membersihkan kamarmu," suruh oma padaku setelah membiarkan mama menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas.

Aku mengulum senyum pahit dan bergegas menyeret travel bag milikku menuju ke kamar tamu yang terletak di ujung lantai bawah seperti yang ditunjukkan oma. Bersebelahan dengan kamar Oma dan dapur.

Kamar itu terbilang tidak begitu luas, tapi, cukup nyaman buatku karena tidak ada jendela di sana. Hanya ada sebuah kotak ventilasi udara yang berukuran kecil di sudut atas ruangan. Sebagai catatan, aku tidak suka dengan jendela meski menurut segi kesehatan benda itu sangat diperlukan untuk sirkulasi udara.

Di dalam kamar itu hanya ada sebuah tempat tidur berukuran besar, meja kecil yang dilengkapi dengan tiga buah laci, dan sebuah lemari pakaian. Selebihnya tidak ada. Kecuali kamar mandi yang melengkapinya. Mungkin aku bisa menambahkan sebuah single sofa dan karpet beludru untuk menambah kenyamananku tinggal di sana.

Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur usai meletakkan travel bag milikku di dekat pintu. Rasanya punggungku mau patah setelah melewati perjalanan panjang. Huh.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka kembali ke Jakarta meski aku lahir di kota ini. Aku pernah menghabiskan sebagian masa kecilku di tempat ini dan seluruh keluarga besar mama juga tinggal di sini. Tapi, belum satu jam aku berada di kota ini, aku sudah merasakan rindu yang teramat dalam pada Semarang. Juga papa. Sedang apa papa sekarang?

"Mauren."

Aku membuka mata dan mendapati mama membentangkan pintu kamar lebar-lebar. Ia menatapku sekilas lalu beralih ke sekeliling.

"Kamu suka kamarnya?" tegur mama masih berdiri di ambang pintu. Bukankah tadi ia bilang ingin beristirahat di kamar?

Aku mengangguk pelan. Jawaban apa yang harus kulontarkan padanya selain mengiyakan pertanyaan mama. Ia tidak akan suka jika aku menjawab sebaliknya.

Mama tersenyum tipis. Wanita itu mulai membongkar isi travel bag milikku dan memindahkannya ke dalam lemari tanpa bertanya. Padahal aku bisa melakukan hal itu tanpa bantuannya. Aku pasti akan melakukannya, hanya saja tidak sekarang. Aku sudah dewasa dan sepertinya mama lupa dengan ucapannya sendiri.

Aku jatuh terlelap beberapa menit kemudian.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang