"Sedang apa, Ren?"
Argh. Teguran Danar seketika membuat benda dalam genggamanku terjatuh ke atas lantai karena gugup. Untungnya benda itu tidak mengenai kakiku yang tanpa memakai alas apapun. Entah apa jadinya jika benda itu berhasil menyentuh kulitku.
Kenapa ia pulang secepat ini?
"Mauren?" Teguran Danar sarat dengan tanda tanya besar. Ia melangkah menghampiriku dan segera memungut sebuah pisau dapur yang semula kupegang dan karena kegugupanku benda itu jatuh ke atas lantai. Aku bahkan tak berani melirik Danar saat ia berjongkok dan mengambil pisau itu dari atas lantai.
Danar menatapku dengan gamang setelah meneliti ke sekitar area meja dapur. Di mana aku sedang berdiri terpaku tanpa melakukan apapun. Tak ada sesuatu di hadapanku kecuali kompor yang kosong tanpa bahan makanan secuilpun. Perbuatanku pasti menimbulkan kecurigaan buatnya. Untuk apa aku memegang pisau jika tidak ingin mengupas buah atau memotong sayur.
"Apa yang ingin kamu lakukan, Ren?" tanya Danar sedikit terbata. Kedua alisnya berkerut ke atas. Sorot matanya juga menyelidik penuh curiga. "kamu nggak sedang ingin melakukan hal bodoh kan? Bilang padaku, Ren! Kamu nggak akan melakukan hal gila kan?"
Danar mengguncang kedua bahuku dengan kencang usai meletakkan pisau dapur itu di dalam rak di mana seharusnya ia berada. Ia berteriak dan tatapannya tajam menghunjam ke dalam mataku.
Aku bergeming. Mulutku terkunci rapat. Aku membiarkan tubuhku terguncang oleh kedua tangan kokoh Danar. Tanpa perlawanan.
"Mauren!"
Teriakan Danar menggema ke seluruh ruangan. Penuh dengan amarah. Mendesakku agar segera membuka mulut. Ia tidak tahan melihat kebisuanku rupanya.
"Lepaskan aku, Danar," pintaku akhirnya. Tangan Danar terlalu kuat mencengkeram pundakku. Aku mencoba menepisnya, tapi gagal. Tanganku jauh lebih lemah dari yang kubayangkan.
"Aku nggak menyangka kamu akan melakukan hal itu, Ren," geramnya. "apa kamu sudah gila, hah?!"
Tubuhku terguncang dengan keras lalu terhempas paksa. Danar mendengus dengan kasar. Dadanya tampak naik turun menahan amarah yang sudah meluap. Raut wajahnya memerah dan sorot matanya menusuk ke dalam jantungku.
"Ya, aku sudah gila!" Aku balas berteriak. Aku benar-benar kehilangan kewarasanku saat ini!
"Kenapa?" tanya Danar. Kali ini ia tidak berteriak. Tapi, ada sejuta kemarahan tersembunyi di balik pertanyaannya. "memangnya apa yang kamu pikirkan? Apa kamu nggak bisa berpikir dengan jernih? Apa yang merasuki pikiranmu sampai kamu ingin bunuh diri? Apa kamu nggak berpikir bagaimana perasaan kami kalau kamu melakukan hal paling gila itu?" Danar melancarkan sederet pertanyaan kepadaku. Sepasang matanya bersinar menyudutkanku ke dalam rasa bersalah yang teramat sangat.
Aku membeku sekian detik lamanya dan balas menatap ke dalam mata Danar yang seperti berkobar ingin membakarku hidup-hidup.
"Memangnya apa yang kamu tahu tentangku?" tanyaku dengan bibir gemetar. "apa kamu tahu rasanya dihantui mimpi-mimpi buruk setiap malam? Apa kamu tahu bagaimana rasanya terbangun setiap malam dengan rasa takut? Bahkan aku hampir nggak bisa bernapas setiap kali bayangan itu datang dan mencekikku? Memangnya apa yang kamu tahu hah?!" Aku berteriak nyalang seraya mendorong dada Danar dengan keras. Menggoyahkan keterpakuannya.
Tubuhku gemetar. Emosi yang sudah tumpah ruah di dalam dadaku sudah tak bisa kubendung lagi. Hingga selapis tipis kabut turun menghalangi pandanganku. Namun aku masih berusaha untuk tetap menegakkan tubuhku. Aku tidak mau ambruk saat ini tepat di depan Danar.
Cowok itu menghela napas. Bola matanya tampak tenang tanpa pergerakan dan masih mengarah padaku.
"Aku memang nggak tahu, Ren," ucapnya seolah bergumam. Nadanya rendah. Tak ada teriakan yang emosional seperti tadi. "tapi, bukan begini caranya kamu mengatasi permasalahanmu. Aku selalu ada di sisimu kan?" Tangan Danar mulai menjalar ke pipiku dengan lembut.
Aku menepis tangan Danar dan mengulum senyum pahit. Kapan ia ada untukku? Bahkan untuk bertemu dengannya pun sangat sulit kulakukan. Apa lagi untuk mengobrol.
"Aku ingin sendiri," tandasku lirih.
"Ren."
Tubuhku terhenti saat hendak berbalik. Tangan Danar telah terlebih dulu mencekal lenganku.
"Sendirian bukan cara untuk mengatasi masalahmu," ucapnya. "kita harus pergi ke dokter atau terapis."
Dokter? Aku mengerutkan kening. Hal itulah yang paling ingin kuhindari seandainya ada solusi lain untuk mengatasi mimpi buruk itu.
Aku menggeleng pelan. "Aku nggak butuh dokter."
"Ren... "
"Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh dokter?" Aku sedikit meninggikan suaraku. Mama akan tahu hal ini jika aku berkonsultasi dengan dokter dan itu artinya aku benar-benar mengalami gangguan kejiwaan seperti dugaannya. "apa ia bisa mengusir mimpi-mimpi buruk itu? Atau ia akan memberiku obat bius? Obat tidur?"
"Cukup Mauren!"
Aku tersentak. Danar berteriak menyudahi kalimatku. Lagi-lagi kemarahan terlukis di wajahnya.
"Aku lelah dengan semua ini, Danar," ucapku sebelum ia sempat menyusun kalimat. "aku nggak akan sanggup menjalani hidupku dengan kondisi seperti ini. Apa kamu mengerti?"
"Tapi, bunuh diri bukan solusi, Ren," tandasnya tegas. "kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan?"
Aku terdiam. Bukan karena kehilangan kata-kata. Tapi, aku kesusahan menahan air mata yang mulai merembes turun ke pipiku. Aku tidak sanggup membendungnya agar tidak turun di saat yang tidak tepat seperti ini.
"Kami semua menyayangimu, Ren." Sebaris kalimat itu meluncur pelan dari bibir Danar. "kami nggak ingin kehilanganmu. Apapun masalah kamu adalah masalah kami juga. Andai aja kamu mau berbagi dengan kami, pasti kamu nggak akan pernah berpikir untuk melakukan hal bodoh itu."
"Tapi, kalian semua nggak tahu apa yang kurasakan." Aku menggumam.
"Berhentilah berpikir seperti itu, bodoh!" seru Danar.
Ya, aku memang bodoh. Karena kebodohankulah kecelakaan itu terjadi.
Suara deru mobil milik Tante Shelin terdengar memasuki garasi. Aku menoleh ke arah Danar dengan cepat. Kurasa kami harus mengakhiri pertengkaran ini sebelum mama dan Tante Shelin masuk ke dalam rumah.
"Kumohon jangan ceritakan hal ini pada Mama," pintaku sejurus kemudian. Langsung mendapat persetujuan dari anggukan Danar.
Aku tak berkata-kata lagi dan melangkah menuju kamar. Membiarkan Danar yang masih mematung di dapur sendirian.
Aku butuh sendiri. Aku butuh waktu. Untuk merenungkan kembali kalimat-kalimat Danar yang sempat ia lontarkan padaku beberapa menit yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...