Vila mungil itu berdiri di atas bukit. Berlapis cat putih dan tampak kontras dengan pemandangan hijau di sekelilingnya. Berlantai dua dan memiliki teras kecil yang tampak nyaman. Berbagai macam bunga yang ditanam dalam pot menghias tepian teras dan halaman. Sebatang pohon cemara tampak menjulang beberapa meter dari lantai teras.
Udara pegunungan yang sejuk langsung menyambut kedatangan kami. Menawarkan sejuta rasa damai yang menelusup masuk ke dalam dada. Aku tidak akan bisa menemui pemandangan dan suasana seperti ini di Jakarta.
"Kita masuk sekarang?"
Aku membalikkan tubuh ketika Danar menepuk pundakku. Menghentikan lamunan sekaligus mengalihkan mataku dari hamparan kebun teh yang terletak di bukit belakang vila.
"Sudah?" tanyaku.
Danar mengangguk dan melayangkan sebuah kunci ke hadapanku. Kunci vila. Cowok itu baru saja berbincang dengan Pak Jamil, orang yang dipercaya untuk menunggu vila. Pria paruh baya itu tampak melangkah pergi dari halaman vila usai menyerahkan kunci pada Danar. Mungkin rumahnya dekat dari sini karena aku sempat melihat ada beberapa rumah tampak berjajar tak jauh dari vila.
"Iya," sahutnya pendek.
Aku mengikuti langkah Danar masuk ke dalam vila tanpa bertanya apapun. Punggungku penat setelah duduk terlalu lama dan aku ingin beristirahat barang sebentar.
Danar mengantarku ke sebuah kamar yang terletak di lantai bawah persis di samping ruang tamu. Kebetulan itu adalah satu-satunya kamar yang ada di lantai bawah. Sedang di lantai atas ada dua buah kamar dan aku tidak mungkin menempati salah satunya.
Aku menerobos masuk dan langsung meletakkan tas jinjing yang sedari tadi kupegang ke atas lantai setelah Danar berhasil membuka pintu kamar. Sesuai saran Tante Shelin, kami akan menginap malam ini di vila dan besok siangnya kami pulang ke Jakarta. Meski sebenarnya aku tidak terlalu suka menginap di tempat seperti ini.
Tanpa malu-malu aku langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur dan menghembuskan napas kuat-kuat. Mengusir rasa lelah yang mendera tubuhku sepanjang perjalanan Jakarta-Bogor. Pasalnya kami sempat terjebak macet di jalan menuju pintu tol Jagorawi. Dan sepanjang perjalanan tadi aku tidak bisa memejamkan mata barang sekejappun. Karena Danar terus-menerus bernyanyi mengiringi suara Bruno Mars dari cd player yang ia putar sejak meninggalkan Jakarta. Sampai aku suntuk dibuatnya.
"Capek?" tegur Danar.
Aku mendehem dan memejamkan kedua mataku. Hanya dengan mendehem saja ia sudah bisa menyimpulkan jawabanku. Namun, tak jua datang sahutan dari bibir Danar. Juga tak ada suara apapun yang tertangkap telingaku.
Ah, dia pergi, batinku saat membuka mata. Mungkin ia pergi memeriksa isi vila atau melakukan sesuatu yang lain. Entahlah. Siapa yang peduli. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuhku untuk saat ini.
Aku benar-benar jatuh terlelap dan baru terjaga setelah hari menjelang sore. Aku tidur terlalu lama. Payah! Tubuhku tak bisa diajak kompromi jika didera rasa lelah seperti ini. Padahal bukan kebiasaanku tidur sampai sore begini.
Pintu kamarku masih sedikit terbuka sehingga aku mendengar suara berisik dari arah ruang tamu. Andai saja suara itu tak membangunkanku tadi, aku pasti masih terlelap sampai sekarang.
"Sudah bangun?" sapa Danar. Ia menoleh ke arah pintu kamar di mana aku menyembulkan kepala ke ruang tamu. Cowok itu sedang berdiri mengawasi para pekerja yang sedang mengeluarkan sofa ruang tamu. Jadi, sofa pesanan Tante Shelin sudah datang?
Aku hanya berdiri kaku di ambang pintu kamar seraya ikut-ikutan mengawasi para pekerja yang sedang sibuk memindahkan sofa baru ke dalam ruang tamu sampai selesai.
"Kamu nggak lapar?"
Para pekerja itu berangsur pergi setelah menyelesaikan pekerjaan mereka. Tak butuh waktu lama untuk mengeluarkan sofa lama dan membawa sofa baru masuk ke ruang tamu. Tapi, sayangnya matahari hampir tenggelam saat mereka pergi meninggalkan vila.
Aku menggeleng kecil.
"Aku nggak lapar."
"Ok," sahut Danar pendek. Raut wajahnya tampak kusut dan lelah. "aku mau mandi dulu dan setelah itu kita makan malam," tandasnya.
Aku bergeming di tempatku berdiri dan menatap punggung Danar yang bergerak menaiki tangga ke lantai dua. Bukankah tadi aku sudah bilang tidak lapar? Kenapa mengajakku makan malam?
Usai mandi dan berganti piyama tidur, aku bergegas menuju meja makan di mana Danar sudah menungguku di sana. Jaket hijau army milik papa juga kukenakan sebagai penawar hawa dingin. Meski masih petang, hawa dingin sudah mulai menusuk persendian.
Di atas meja makan sudah tersedia nasi putih, tumis sayuran, sambal, dan ikan asin. Menu sederhana yang konon dimasak oleh istri Pak Jamil dan dikirim langsung olehnya saat aku mandi. Tapi, dari aromanya sungguh menggugah selera. Membuat perutku lapar seketika.
"Pelan-pelan makannya, Ren," ucap Danar. Matanya tak lepas mengawasiku sedari tadi rupanya. Adik sepupuku itu membuatku tersadar jika cara makanku kali ini berbeda dari biasanya.
"Maaf," ucapku pendek. Mungkin karena aku jarang makan makanan seperti ini, jadi, aku merasa jika makanan ini sangat lezat dan nyaris membuatku rakus. Padahal ini hanya menu sederhana dan masyarakat di sini pasti sudah sering memakan makanan seperti ini. Seolah perutku tak terisi makanan selama dua hari.
"Kamu lapar atau tamak sih?" celutuknya. Ia memelototkan matanya.
"Makanan ini enak banget, tahu nggak?" Aku nyengir dan melanjutkan makan sampai isi piring di hadapanku tinggal setengah. Tak peduli tatapan Danar yang terus mengawasiku.
Danar terbahak dengan keras.
"Dasar," desisnya. "cepat habiskan makanmu karena aku sudah menyiapkan sebuah kejutan," ucap Danar seraya mengedipkan sebelah matanya. Piringnya sudah kosong dan ia siap beranjak dari kursi.
Kejutan? batinku bertanya. Danar berhasil membuatku penasaran dengan 'kejutan' yang katanya sudah ia persiapkan untukku.
Aku segera menyelesaikan makanku karena tak sabar ingin melihat kejutan yang sudah dipersiapkan Danar untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...