Kakiku bergerak sangat lambat. Antara ragu, takut, dan berat. Namun, pada akhirnya telapak kakiku menyentuh anak tangga pertama juga. Sementara tangan kananku mencengkeram pegangan tangga dengan gemetar. Sungguh, aku tidak ingin meneruskan ke anak tangga berikutnya dan naik ke atas sana. Aku gamang!
Uh. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir jernih. Ini hanya sebuah anak tangga, tidak terlalu tinggi, dan mudah untuk dilalui. Anak kecil saja bisa melaluinya dengan baik. Bagi orang lain hal ini sangat mudah dan mereka bisa melakukan ini setiap hari. Harusnya aku juga bisa kan?
Yang perlu aku lakukan hanyalah berpegangan terus dan memijakkan kakiku perlahan pada anak tangga secara bergantian. Mudah bukan? Tapi, jangan pernah lepaskan pegangan tanganmu demi keselamatan dirimu, Mauren. Pikiranku sedang berbicara menasihati tangan dan kakiku agar mereka bekerja sama dengan sangat baik.
Anak tangga demi anak tangga kulalui dengan sangat lambat dan agak menegangkan. Tanganku mengeluarkan keringat dingin secara berkala. Ini semacam phobia atau trauma. Seperti itu. Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail. Tapi, ini adalah sebuah ketakutan. Aku takut jatuh! Aku takut peristiwa kecelakaan itu kembali menimpaku.
Tidak, batinku menenangkan diri sendiri. Aku hanya perlu berpegangan dengan erat dan melangkah hati-hati. Semua akan baik-baik saja. Ya, Mauren, kamu pasti bisa melakukannya!
Lututku gemetar. Aku sudah melewati anak tangga terakhir dan sekarang sudah berpijak di atas lantai dua. Aku menghembuskan napas lega. Akhirnya! Satu rintangan berhasil kulewati. Aku hanya perlu mengambil charger milik mama lalu turun dengan hati-hati.
Syukurlah, batinku saat menemukan benda itu di dalam laci milik mama. Aku benar-benar membutuhkannya saat ini. Pasti papa sedang menunggu teleponku sekarang. Dan aku tidak mau membuatnya menunggu terlalu lama.
Ah, aku menggumam dalam hati. Aku gamang setelah berdiri persis di depan tangga seperti itu. Pikiranku seolah berdenyut. Aku sedang tidak ingin mereka ulang sebuah kejadian di masa lalu.
Aku seperti teringat sesuatu, tapi, bukan tentang kecelakaan yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Melainkan sebuah kejadian yang serupa kualami. Tapi, di mana aku pernah melihat kejadian seperti itu? Mungkin di televisi. Tapi, kejadian itu seolah nyata.
Oh, tidak. Kepalaku benar-benar berdenyut sekarang. Seolah ada sesuatu yang memukul-mukul dari dalam kepalaku. Sakit. Ya, Tuhan! Aku ingin memekik sekeras-kerasnya, tapi, tenggorokanku tersendat. Aku tak bisa mengeluarkan suara sama sekali.
Tiba-tiba aku merasakan sepasang tangan mendorong punggungku dengan kekuatan penuh. Tangan siapa? Tak ada siapapun di rumah kecuali aku. Hantukah ia?
Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terjungkal usai kekuatan misterius itu mendorongku. Tubuhku berguling sejurus kemudian seirama dengan tatanan anak tangga. Tulang-tulang di tubuhku terasa bersinggungan dengan tepian anak tangga yang keras selama beberapa hitungan. Kepalaku juga. Sakit!
Tubuhku akhirnya mendarat di atas lantai setelah menyelesaikan tatanan jumlah anak tangga. Kepalaku menghantam lantai keramik yang keras dan menyisakan rasa sakit yang luar biasa di sana. Seluruh tubuhku juga terasa remuk, entah aku bisa menggerakkan kakiku nanti atau tidak.
Bibirku hanya mengerang lirih dengan gemetar, sementara mataku hanya mengerjap lambat saat cairan berwarna merah mulai membasahi lantai di bawah kepalaku. Rasa sakit juga menjalari seluruh tubuh dan kepalaku.
Darah?
Tanganku yang lemah berusaha menggapai. Sebisa mungkin aku menggerakkan tubuh agar bisa sedikit bergeser. Pintu depan adalah tujuan utamaku. Dengan catatan jika aku mampu!
Siapapun juga, tolong aku! Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Meski aku tahu tak ada siapapun di rumah. Oma, mama, kapan kalian akan pulang?
Darah yang menggenang di atas lantai mulai bertambah volumenya. Sungguh, aku merasa ngeri saat melihat cairan berwarna merah itu meski iti darahku sendiri. Dan aku tak bisa menggerakan tubuhku barang seinchi-pun. Tubuhku kaku dan berat. Kepalaku juga mulai berkunang-kunang.
Samar-samar mataku menangkap bayangan sesosok tubuh anak kecil berdiri di lantai dua. Antara sadar dan tidak aku melihat seorang gadis kecil berseragam putih dan merah, rambutnya yang sebahu dikuncir kuda, sedang berdiri dengan tatapan kosong di atas sana. Ia menatapku tanpa ekspresi. Wajahnya tampak pucat seolah tak ada setetes darahpun yang mengalir di dalam sana.
Siapa dia? Apakah ia hantu? Roh? Apa yang ia lakukan di atas sana? Apakah dia yang baru saja mendorongku? Kenapa ia melakukannya? Tapi, sepertinya wajah itu tidak asing. Rasanya aku pernah melihat wajah itu sebelumnya, tapi, di mana? Siapa pemilik wajah itu?
Kesadaranku mulai hilang perlahan saat telingaku samar-samar menangkap suara derit pintu. Mama menjerit memanggil namaku dengan keras dan menghambur ke arahku dengan kepanikan luar biasa. Wanita itu sangat histeris setelah mendapati kepalaku mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Aku tidak kuat lagi, Ma, batinku sembari menatap wajah mama dengan sisa kekuatan yang aku miliki. Aku masih bisa melihat ketakutan yang luar biasa hebat terlukis di wajah mama. Tapi, sesaat kemudian semuanya berubah gelap secara perlahan. Bayangan mama dan gadis kecil berseragam sekolah dasar itu juga mulai memudar. Digantikan warna hitam pekat. Gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...