"Mauren! Lama banget sih!"
Telingaku menangkap teriakan super kencang dari mulut usil Danar. Aku terpaksa mendengus dan segera beranjak dari depan cermin setelah memastikan penampilanku sempurna. Tanpa kekurangan suatu apapun. Riasan setipis mungkin dan pakaian yang nyaman di tubuhku dan menambah kepercayaan diri. Untuk yang satu ini aku memang sedikit bermasalah. Aku tidak memiliki kepercayaan yang tinggi dalam hal penampilan.
Aku menyambar tas dari atas tempat tidur dan bergegas keluar dari kamar sebelum Danar berteriak lebih keras lagi. Cowok itu tampak sedang asyik menikmati siaran televisi yang menayangkan sebuah acara jalan-jalan.
"Ayo," ajakku. Aku berdiri tepat di sebelah sofa di mana ia duduk dengan santai.
"Sebentar, masih seru nih," gumamnya tak begitu jelas. Tanpa menoleh. Perhatiannya tertuju pada layar televisi dengan sepenuh hati. Seolah tak terpengaruh olehku sama sekali.
Aku menendang ujung kaki Danar karena kesal melihat tingkahnya. Bukannya tadi ia yang menyuruhku cepat bersiap-siap. Sekarang malah dia yang menunda kepergian kami karena keasyikan menonton acara televisi.
"Sakit, Ren," keluhnya sembari meringis. Ia melenguh pelan sembari mengelus ujung kakinya.
"Jadi pergi nggak nih?" tanyaku sewot. Aku sudah memasang wajah cemberut dengan sepasang mata melotot padanya.
"Iya, iya," ucap Danar akhirnya. Cowok itu bergegas bangkit dari sofa dan menatap ke arahku seraya tersenyum. "baiklah, kita berangkat sekarang, Tuan Puteri." Danar mengulurkan tangannya kepadaku seperti dalam salah satu adegan film Cinderella.
Aku menepuk tangannya yang terulur dan melangkah mendahuluinya.
"Ma! Mauren pergi dulu!" teriakku dari bawah tangga dengan mendongak ke atas. Mama sedang beres-beres di kamarnya dan harusnya ia mendengar teriakanku. Tapi, tak ada sahutan setelah aku menunggu selama beberapa detik lamanya.
"Ayo, Ren. Katanya mau berangkat." Giliran Danar yang tidak sabar ingin segera meluncur ke jalan raya. Ia mulai menarik-narik ujung tasku.
"Sebentar... "
"Hati-hati, Sayang!" Mama muncul sesuai dengan harapanku dan berdiri di atas balkon lantai dua sembari melihat ke bawah. Sehelai celemek berwarna merah muda membalut tubuhnya. Sebuah masker penutup wajah menutupi hidung dan mulutnya, serta kemoceng tampak dalam genggamannya."nanti pulangnya bawakan mama kue, ya," pesannya.
"Siap, Tante!" Danar malah menyahut dengan suara keras dan bersemangat.
"Pulangnya jangan kesorean!" pesan mama lagi sebelum mengakhiri percakapan itu.
"Sip!"
Mama membalikkan tubuh dan kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan kegiatannya bersih-bersih.
Aku dan Danar bergegas menuju ke mobil miliknya yang diparkir di depan rumah. Matahari nyaris berada di atas kepala dan kami harus bergegas agar tidak pulang kesorean seperti pesan mama.
"Kamu akan mendaftar di universitas mana?" tegur Danar setelah mobil yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan jalan di depan rumah.
"Aku nggak tahu," balasku setelah berhasil memasang sabuk pengaman. "aku belum ada rencana kuliah tahun ini."
"Kenapa?" Danar menatapku selama beberapa detik lamanya sebelum membelokkan mobilnya keluar dari gang komplek menuju jalan utama.
"Aku nggak berminat untuk kuliah," gumamku sembari membuang pandangan ke luar jendela. Ke arah rumah-rumah yang berjajar rapi di tepi jalan. Mataku masih sangat asing dengan pemandangan yang tersaji di luar sana. Dan perhatianku langsung teralihkan saat suara tawa keluar dari bibir Danar yang spontan membuyarkan konsentrasiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Fiksi UmumKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...