Aku meletakkan ponselku di atas tempat tidur usai menghubungi nomor papa. Tak ada jawaban. Mungkin ia terlalu sibuk bekerja sampai-sampai mengabaikan panggilanku. Setahuku papa memang seorang pekerja keras. Jika sedang fokus bekerja, ia bisa mengabaikan hal-hal di luar pekerjaannya. Tak terkecuali pada keluarganya sendiri. Mungkin karena itulah mama memutuskan untuk menceraikan papa.
Sebulan di Jakarta tak bisa menyurutkan kerinduanku pada Semarang. Juga pada papa. Berbagai kuliner khasnya dan suasana kota yang tidak seramai Jakarta. Aku merasa lebih nyaman tinggal di Semarang ketimbang di sini. Meski aku lahir dan pernah menghabiskan sebagian masa kecilku di Jakarta. Mungkin hanya Danar satu-satunya orang yang membuatku betah berada di kota ini.
Aku tergagap ketika mendengar suara bel pintu dibarengi dengan teriakan Danar yang memanggil namaku berulang kali. Lamunanku tentang papa dan Semarang buyar seketika. Cowok itu panjang umur juga rupanya. Baru saja aku berpikir tentangnya, ia sudah muncul di depan rumah dan berteriak memanggilku.
"Ada apa?" tanyaku malas. Aku membuka pintu depan beberapa saat kemudian. Jarak dari kamar ke pintu tak membutuhkan waktu lama sebenarnya, hanya saja aku terlalu malas bangun dari tempat tidur. Aku sendirian di rumah dan terpaksa mengunci pintu sesuai pesan mama.
"Lama banget, Ren. Aku sampai lumutan menunggu kamu," keluhnya sembari mengacak rambutku yang memang sudah berantakan. "bangun tidur?" deliknya mencermati penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Aku mengangguk dengan ogah-ogahan.
"Pergi yuk," ajak Danar. Kini ia memasang wajah manis dengan senyum terkembang di bibirnya. Kupikir cowok itu baru saja pulang dari kampus.
"Malas." Aku melangkah masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan diri di atas sofa ruang tengah. Mengabaikan ajakannya tanpa tanggapan berarti.
"Ayolah, Ren," rengek Danar mengikuti tingkah polahku. Ia ikut duduk di sebelahku dan menarik-narik ujung kaus oblong yang membungkus tubuhku. Kaus oblong kedodoran itu bertambah melar karena tingkah jahilnya.
"Apaan sih?" gerutuku malas. "aku mau istirahat. Pulanglah," suruhku. Maksudku mengusir cowok itu dengan halus.
"Nggak mau," tolak Danar mentah-mentah. Cowok itu malah menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Aku melirik ke arahnya sekilas. Tanpa suara.
"Kamu tahu, hari ini Dipta mulai bekerja di cafe. Aku mau mengajakmu ke sana," tutur Danar sembari menerawang ke arah layar televisi yang mati. Aku memang sengaja tidak menyalakannya.
Aku mendengus. Adik sepupuku itu belum menyerah juga rupanya.
"Kan aku sudah bilang kalau aku lagi malas," tegasku. Ngotot adalah satu-satunya jalan untuk menolak ajakan Danar.
"Nanti pulangnya aku traktir martabak telur porsi jumbo deh," rayunya dengan suara merdu.
"Hoh? Kamu mau menyogokku?" timpalku bersungut-sungut.
"Nggak," sahut Danar lebih cepat dari dugaanku. "aku sudah janji mau datang, tapi, nggak enak kalau sendiri."
Aku tersenyum pahit. Pandai sekali makhluk itu mencari alasan, batinku geram.
"Kenapa kamu nggak mengajak gadis-gadis yang kamu temui di taman itu?" timpalku sengit.
Danar nyengir.
"Mereka bukan tipeku," celutuk Danar. Aku yakin ia hanya bicara asal. Karena saat Danar berbincang dengan gadis-gadis itu matanya tampak berbinar-binar. "kamu tahu, aku punya selera yang tinggi soal cewek." Ia mengedikkan bahu dengan penuh gaya.
Aku tersenyum pahit. Atau gadis-gadis itu yang menolak Danar karena gayanya yang genit di depan mereka?
"Jangan bilang kalau itu hanya modus untuk mengajakku pergi," cetusku terus-terang.
"Kalau kamu merasa seperti itu, silakan," ucapnya tak kekurangan akal. Memaksaku menimpuk pundaknya sekeras yang aku bisa. "memangnya kamu nggak bosan di rumah sendirian sepanjang hari?" Ia ingin mencari kelemahanku.
Aku menggeleng pelan.
"Aku nggak suka matahari," gumamku pelan. Setidaknya aku tidak mencari-cari alasan seperti yang ia lakukan.
Danar terkekeh mendengar pengakuanku. Kupikir baru kali ini ia tahu akan kekuranganku.
"Hei, semua orang nggak suka terkena sinar matahari, tahu?" Ia menimpal. "bilang aja kalau kamu takut hitam. Betul kan?" Ia mengedip ke arahku.
Aku mendengus. Seserius apapun aku bicara, ia akan menanggapinya dengan bercanda. Membuatku malas bicara dengan adik sepupuku.
"Ayolah," rengek Danar lagi. "kamu nggak mau makan martabak telur? Jangan sampai menyesal... "
"Aku ingin muffin cokelat." Aku memotong dengan cepat.
Danar terperangah mendengar permintaanku.
"Oh." Ia tertawa renyah. "bukan martabak telur?" tanya Danar seraya membetulkan posisi duduknya. Ia duduk tegak dan menghadap ke arahku. Menunjukkan antusiasme dan semangat yang tiba-tiba memuncak di wajahnya.
"Martabak telur dan muffin cokelat." Kali ini aku mengajukan dua syarat sebagai bayaran atas keikutsertaanku.
"Hah?!" Ia berteriak sangat keras seraya melotot. Kedua bola matanya seperti ingin melompat keluar dari tempatnya.
"Mau nggak?" Aku menahan tawa melihat ekspresi Danar.
"Kamu mau aku bangkrut, hah?" hardiknya sembari mengacak-acak rambutku dengan gemas.
Aku mendengus. Rambutku yang belum kusisir seharian jadi kusut karena ulah Danar yang menyebalkan itu.
"Danar!" Aku berusaha menepis tangan Danar.
"Pilih salah satu. Martabak telur atau muffin cokelat," suruhnya menyodorkan dua opsi padaku.
"Aku mau keduanya." Aku bersikukuh pada persyaratanku semula.
"Mauren." Ia memelankan suaranya. Mencoba meredam emosi yang siap naik ke ubun-ubun kapan saja. "kamu tahu nggak, berapa kalori dari martabak telur? Muffin? Kedua makanan itu berkalori tinggi dan mengandung kolesterol. Kalau kamu makan keduanya, kamu tahu berapa kalori yang masuk ke tubuhmu? Kalau kamu nggak olahraga untuk membakarnya, kamu tahu banget resikonya kan? Obesitas! Kalau kamu obesitas, bisa dibayangkan dong betapa jeleknya kamu nanti. Padahal cowok suka cewek yang langsing dan sehat. Kamu mengerti?" jelas Danar panjang. Dengan kata-kata yang dibuat sedemikian rupa mirip ceramah ilmiah.
Aku meledakkan tawa mendengar ocehannya yang mirip profesor gadungan.
"Hei, hei. Kamu itu calon dokter atau pengacara sih?" gelakku.
Danar tersenyum tipis.
"Aku hanya ingin melihat kamu seperti ini, Ren. Tertawa lepas. Bahagia," tandasnya membuatku bungkam seketika.
"Apa selama ini aku kelihatan nggak bahagia?" Tawaku lenyap seketika saat mendengar ucapannya. Aku mendelik ke arahnya.
"Bukan," balasnya. "karena kamu perlu banyak tertawa agar lebih sehat. Dan sedikit bergaul," tambah Danar. Ia merubah ekspresi wajahnya seserius mungkin.
Aku mengangguk samar. Ya, ya, aku memang seseorang yang kuper dan selalu berada di dalam rumah. Aku tak pandai bergaul dan lebih suka mengurung diri di dalam kamar. Padahal dunia yang kutinggali begitu luas dan banyak hal menarik di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...