"Selamat pagi, Sayang."
Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Mama. Tampaknya wanita itu sudah jauh lebih tegar dibandingkan kemarin-kemarin. Suaranya lebih jernih, menandakan jika ia bersemangat dan baik-baik saja. Aku sangat bersyukur mama sehat.
Mama mengelap tangan dan kakiku menggunakan semacam handuk kecil. Semacam rutinitas mandi untuk orang normal. Baru kali ini aku tersentuh air sejak terbaring di tempat tidur.
"Kak."
Oh. Tante Shelin sudah datang rupanya. Apa ia tak bekerja hari ini? Bagaimana bisnis propertinya? Lancar saja-kah?
"Ada apa, Lin?"
"Maaf."
Kenapa Tante Shelin malah minta maaf saat Mama bertanya? Sebenarnya apa yang terjadi?
"Ada apa?" ulang Mama. Pasti kedua alisnya sedang naik ke atas. "kenapa minta maaf?"
"Aku memberitahu soal Mauren pada Papanya dan... dia datang ke sini. Dia di luar."
Pemberitahuan Tante Shelin cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan. Papa? Andai papa tahu, aku sangat sangat merindukannya. Aku ingin sekali memeluk tubuh Papa!
"Dia berhak tahu. Mauren adalah putrinya."
Suara Mama lirih terdengar. Pasrah. Setidaknya Mama masih berlapang dada menerima kedatangan Papa meski bukan untuknya, tapi untukku.
Tak ada sahutan. Hanya ada suara detak-detak sepatu bersinggungan dengan lantai keramik rumah sakit.
"Sayang."
Itu suara Papa! Akhirnya ia datang juga. Setelah sekian lama akhirnya kerinduanku pada sosok tampan itu terobati sudah meski hanya melalui suara. Tapi, itu sudah sangat menggembirakan untukku. Aku sangat bersyukur.
"Kenapa semua ini bisa terjadi, Ren?"
Tangan Papa yang besar dan kokoh menggenggam tangan kananku. Suster masih belum memindahkan jarum infus rupanya. Laki-laki itu mengecup punggung tanganku dengan hangat dan aku terharu saat mengetahuinya.
Maaf, Pa. Harusnya Mauren yang mencium tangan Papa sekarang ini dan nanti saat Mauren menikah. Tapi, Mauren belum bisa melakukannya. Apa Tuhan masih berkenan memberiku kesempatan itu?
"Kamu putri Papa, Sayang. Papa yakin kamu pasti kuat menjalani semua ini. Berjuanglah melawan penyakitmu. Papa yakin kamu bisa. Papa menunggumu."
Iya, Pa. Mauren kuat dan akan berjuang untuk tetap hidup. Demi Papa dan Mama. Tapi, apa Papa mau melakukan hal yang sama? Apa Papa mau berjuang untuk bisa memenangkan hati Mama kembali? Papa mencintainya kan? Perjuangkan dia, Pa. Dan kita bisa menjadi keluarga yang utuh seperti dulu lagi. Kita bisa tinggal di Semarang, di rumah lama kita. Apa Papa setuju dengan ide Mauren?
"Kapan datang?"
Mama menyela di balik kalimat Papa. Kupikir wanita itu sudah meninggalkan kamar ini demi membiarkan Papa berdua saja denganku. Nyatanya ia sama sekali tidak sungkan berada bersama kami di sini.
"Baru saja," sahut Papa. "naik pesawat. Aku diberitahu Shelin tadi malam. Bagaimana kabarmu, Rin?"
Mama sedikit mendehem.
"Seperti yang Mas lihat, aku baik. Hanya saja... "
Kalimat Mama terputus. Apa aku penyebab ia tak bisa melanjutkan kalimatnya?
"Berdoalah," ucap Papa menyambung percakapan. "Mauren adalah gadis yang kuat. Dia pasti bisa melalui ini semua dan berjuang untuk tetap hidup."
Tentu, Pa. Mauren akan berjuang untuk tetap hidup.
"Dokter bilang hanya keajaiban yang bisa membangunkannya."
Ah, kenapa suara Mama tiba-tiba menjadi serak kembali. Apa Mama sedang menangis?
"Dokter hanya bisa mendiagnosa, Rin. Tapi, Tuhan yang menentukan hidup mati seseorang. Kamu tahu, kan?"
"Tapi, aku takut Mas... "
Aku mendengar suara isak tangis Mama pecah. Tolong kuatkan hati Mama, Pa.
Sekarang aku tahu satu hal, bahwa mereka masih mencintai satu sama lain. Tapi, kenapa mereka mesti bercerai?
Hening. Mama dan Papa sama-sama tak ingin melanjutkan percakapan. Harusnya mereka berbincang tentang diri masing-masing setelah beberapa bulan tidak bertemu. Setidaknya mereka harus bertanya kabar masing-masing.
Suara langkah nyaris tak terdengar sejurus kemudian. Sesaat setelah bunyi derit pintu terbuka dan tertutup.
"Kamu datang?"
Itu suara Oma. Aku tak bisa menebak perasaannya saat ini. Nada suaranya terdengar datar dan berkesan acuh. Akhirnya wanita tua itu bertemu Papa juga. Apa ia masih membenci Papa seperti dulu?
"Iya, Bu."
Papa menyahut. Bagaimanapun juga ia masih bersikap sopan pada Oma.
"Ibu, apa kabar?"
"Baik."
Entah kenapa aku merasa suasana kamar ini menghangat perlahan. Semoga ini pertanda baik. Perdamaian antara Oma dan Papa, serta rujuknya Mama dan Papa. Aku berharap semuanya membaik.
"Mungkin semua ini adalah hukuman terhadapku."
Bicara apa Oma ini? Hukuman apa yang ia maksud?
"Selama ini aku sudah berbuat jahat padamu, juga pada cucuku sendiri," lanjut Oma membuatku semakin tak mengerti. Apa kecelakaan semacam ini adalah sebuah hukuman atas perilaku orang tua? Kurasa tidak ada hukum seperti itu.
"Mama bicara apa... "
Suara Mama terputus. Aku tidak pernah tahu alasannya.
"Kembalilah." Oma melanjutkan pembicaraannya. Siapa yang ia maksud?
"Kembalilah pada putri dan cucuku. Mereka sangat membutuhkanmu."
Benarkah itu Oma? Aku nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Apa gunung es di dalam hati Oma sudah mencair? Ternyata wanita tua itu tidak sejahat yang kupikirkan. Selama ini aku selalu mengira jika ia jahat dan itulah kenapa aku selalu membentangkan jarak dengannya. Aku tak pernah bisa dekat dengan Oma.
"Benarkah Mama sudah merestui kami?" tanya Mama sama tak percaya-nya denganku. Namun, aku bisa mendengar nada senang dalam suaranya. Mama pasti bahagia saat ini.
Mungkin Oma mengangguk, atau bahkan memeluk Mama. Aku tidak tahu. Yang pasti aku bisa merasakan kebahagiaan yang sedang mereka rasa saat ini.
"Terima kasih, Bu."
Suara Papa juga sama. Terdengar sangat lega dan tanpa beban. Aku juga turut berbahagia, Pa.
"Maaf."
Ah, suara itu. Apa ia tidak bisa datang nanti? Ia benar-benar tidak tahu situasi. Dan ia juga berhasil mengusik kebahagiaan yang baru saja tercipta di kamarku.
"Ada apa, Danar?" tanya Oma.
"Umm." Danar tak langsung menjawab. Ia sepertinya butuh waktu untuk menyusun kalimat apa yang akan ia ucapkan. "orang yang menabrak Mauren ada di sini."
Apa? Orang yang menabrakku datang? Apa ia akan menjengukku?
"Tolong jangan marah atau melakukan apapun padanya," pesan Danar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. "dia kemari hanya ingin menjenguk Mauren."
"Tapi, dia sudah menabrak Mauren... "
Sabar, Ma. Orang itu tidak sepenuhnya bersalah.
"Menurut keterangan polisi, saksi mata bilang Mauren-lah yang turun ke jalan untuk menyelamatkan seorang anak kecil."
Ya, keterangan Danar benar. Memang seperti itulah kenyataannya. Semoga Mama dan semuanya bisa mengerti.
"Tan, bisa kita bicara sebentar?"
Ada apa, Danar? Kenapa tiba-tiba ingin bicara berdua dengan Mama? Apa ada hal yang tidak boleh kuketahui?
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Ficção GeralKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...