why me #14

175 16 0
                                    

Aku menghempaskan tangan Danar dengan kasar begitu tiba di depan rumah. Menyisakan warna kemerahan di kulitku hasil cengkeraman tangan kokoh Danar.

"Ren!"

Cowok itu berteriak sembari menyusul langkahku yang tergesa menuju ke teras. Sekali lagi ia meneriakkan namaku saat aku berhasil meletakkan pantatku di atas kursi bambu yang berada di teras. Aku menyandarkan punggung dan melipat kedua lengan di depan dada.

"Kamu marah?" tanya Danar seperti orang bodoh. Ia ikut-ikutan duduk di sebelahku. Menatapku dengan pandangan menginterogasi.

"Harusnya aku yang bertanya, kenapa tiba-tiba kamu menyeretku pergi seperti itu," gumamku sewot. Aku mendengus keras.

"Maaf," sahut Danar seperti tak serius saat mengucapkannya.

"Kamu nggak ingin aku bicara dengan Farrel kan?" Aku meliriknya tajam dan melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi. Sejak awal aku sudah mengendus sesuatu yang mencurigakan dari sikap Danar. "kamu takut kalau aku mencari tahu tentang masa laluku kan?" cecarku sekali lagi untuk menyudutkan adik sepupuku itu.

Danar bergeming. Belum ada satupun pembelaan diri yang keluar dari mulutnya.

"Apa masa laluku terlalu buruk sampai-sampai kalian semua begitu takut kalau aku mengetahuinya?" Aku mendelikkan mata ke arahnya.

Danar membuang napas kuat-kuat dan menoleh ke arahku. Meneliti setiap pergerakan bola mataku dengan tatapan tajam.

"Kamu boleh bicara dengan siapapun kecuali dengannya. Mengerti?" tegasnya.

"Hoh?" Aku tersenyum pahit. "kenapa? Jadi, kamu ingin bilang kalau kecurigaanku selama ini benar? Begitu kan?"

"Mauren, Mauren." Danar kembali menatap pekarangan rumah oma yang ditumbuhi beraneka ragam tanaman obat. Mereka biasa menyebutnya toga. "sejak kecil kita nggak pernah menyukai dia. Kamu tahu?"

Aku tercekat mendengar pernyataan Danar. Meskipun dia bilang aku dan dia sama-sama tidak menyukai Farrel saat kecil dulu, tapi, aku sama sekali tidak mengingatnya. Tidak ada satupun daftar nama teman-teman SD yang kuingat, apa ia sudah lupa? Entah itu hanya alasan atau kenyataan, aku tidak tahu.

"Kenapa kita sama-sama nggak menyukai Farrel?" Kupikir aku berhak mencari tahu tentang Farrel saat kecil. Karena kami pernah sekelas.

Dan tampaknya Danar tidak keberatan memaparkan sedikit cerita tentang Farrel. Entah cerita itu ia karang sendiri atau berdasarkan kenyataan, hanya Danar dan Tuhan yang tahu. Toh, tidak ada bukti sama sekali.

"Dia anak orang kaya," tutur Danar memulai penuturannya. "karena itulah dia sangat sombong dan jahil pada teman-temannya. Memang sih, setahuku dia nggak pernah mengganggu kamu, tapi, aku sebel aja melihat dia," tutur Danar dengan serius.

"Masa sih?"

Danar mengetuk kepalaku pelan.
"Ya iyalah, bawel," oloknya. "kamu lapar nggak?"

Aku menggeleng. Aku tidak suka Danar mengalihkan topik pembicaraan saat kami membahas sesuatu hal.

"Ke dalam yuk," ajaknya meski aku sudah menggelengkan kepala. Ia menarik tanganku tanpa permisi.

"Kalian sudah pulang?" Mama menegur begitu kami masuk ke ruang tamu. Wanita itu tampak menikmati secangkir lemon tea hangat sembari menonton acara berita pagi di salah satu stasiun televisi swasta. Ia menoleh sebentar ke arah kami. "Mama sudah menyiapkan sarapan untuk kalian di meja makan," beritahunya.

"Makasih, Tan," ucap Danar girang. Cowok itu bergegas pergi ke meja makan dan menemukan dua piring nasi goreng dengan topping sosis sapi. Ditambah bonus telur dadar dengan irisan daun bawang.

"Cuci tangan dulu, Sayang!" Mama berteriak dengan keras dari tempat duduknya.

Danar menghela napas panjang. Cowok itu urung mengambil irisan sosis sapi dari atas nasi goreng dan melangkah menuju ke wastafel yang tersedia di dapur. Aku pun melakukan hal yang sama.

Danar mulai melahap nasi goreng miliknya dengan gembira. Meskipun agak dingin, tapi, masakan mama masih enak di lidah. Aku juga menikmati setiap suapan yang masuk ke mulut. Kami makan tanpa perbincangan pada awalnya, tapi, Danar mengajak ngobrol beberapa saat kemudian. Ia tidak akan tahan jika bersamaku tanpa obrolan. Segaring apapun obrolan itu.

"Bagaimana menurutmu tentang Dipta?"

"Kenapa?" Aku melirik sekilas padanya. Danar hampir menyelesaikan sarapannya.

"Kamu nggak tertarik dengannya?"

Aku nyaris tersedak karena kaget mendengar pertanyaan Danar. Tertarik? Aku menaikkan kedua alisku bersamaan.

"Maksudmu?" gumamku setelah berhasil menelan makanan yang nyaris nyangkut di tenggorokan. Kenapa aku mencurigai sesuatu setelah Danar bertanya tentang Dipta?

"Dipta lumayan kan?"

Aku mendehem. Aku mulai paham dengan maksud di balik 'kode' yang Danar ingin sampaikan. Jadi, ia menyeretku pagi-pagi dari tempat tidur hanya untuk mempertemukanku dengan temannya itu? Danar sudah merencanakan pertemuan itu dari awal!

"Kamu ingin menjodohkanku dengan Dipta?" Aku tidak suka basa-basi saat berbicara dengan Danar. Dengan orang lain masih mungkin.

Danar terkekeh pelan. Dan terbongkarlah semua akal bulusnya. Huh.

"Apa salahnya dicoba, Ren?" Ia ingin membela dirinya sendiri yang egois itu. "Dipta itu jomblo, baik, nggak neko-neko... "

"Terus aja promosi!" Aku menimpal cepat dan menggunakan nada tinggi. Sepertinya ada seseorang yang ingin mengatur hidupku dan aku mencurigai mama di balik semua ini.

"Mauren!"

Aku mengangkat piringku dari atas meja dan membawanya ke dapur meski masih ada sisa nasi di atasnya. Sebagai dalih untuk menyudahi percakapan kami yang mulai menyebalkan.

"Hei, aku hanya ingin kamu mengenal seseorang, Ren." Danar berdiri di sebelahku yang sedang menghadap wastafel. Ia masih ngotot ingin membela diri. "kalau kamu nggak suka, nggak pa pa. Aku juga nggak memaksa," imbuhnya ikut-ikutan membasahi piringnya yang telah kosong.

Tanganku bergeming. Urung membilas piring di tanganku yang berlumuran busa sabun. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu.

"Aku nggak akan lagi mencari ingatan yang hilang itu," ungkapku sembari menatap wajah Danar. Aku ingin memberitahunya hal itu sejak tadi, tapi, Danar mengajakku membahas soal Pradipta.

Cowok itu langsung menoleh mendengar pernyataanku. Danar tampak terkejut.

"Maksudmu?"

Aku melanjutkan pekerjaanku membilas piring sebelum menjawab pertanyaan Danar.

"Kemarin aku sempat berdebat dengan mama," ucapku seraya melirik ke arah ruang tengah. Mama masih berada di tempatnya semula seraya menikmati siaran televisi kesukaannya. Aku bisa mengatakan pada Danar tentang sesuatu yang mengganjal di pikiranku tanpa didengarnya. "kupikir kalian benar. Kalian melakukan semua ini demi kebaikanku. Untuk melindungiku dari masa lalu yang mungkin benar-benar buruk." Aku mengedikkan bahu. Aku satu-satunya orang yang tidak tahu tentang masa laluku sendiri. Dan itulah faktanya.

"Oh." Gumaman Danar tak begitu jelas. Tapi, aku bisa melihat kelegaan terpancar jelas dari sorot matanya. "nggak seburuk itu, Mauren."

Aku tak terpengaruh dengan ucapan Danar dan meletakkan piring di dalam rak. Aku yakin kata-kata itu hanya sekadar penghibur. Aku hanya melemparkan senyum padanya lalu meninggalkan cowok itu untuk bergabung dengan mama di ruang tengah.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang