Never mind I'll find someone like you...
I wish nothing but the best for you..Aku tertegun mendengar penggalan bait lagu mellow itu. Di atas stage yang terletak di salah satu sudut ruangan cafe, Pradipta sedang tekun memetik gitar akustiknya sembari melantunkan tembang Someone Like You dengan penuh penghayatan. Memang, lagu itu sudah ratusan kali kudengar, dalam berbagai versi juga, tapi, kali ini terasa berbeda. Suara Pradipta yang lembut dan merdu seolah menghipnotis semua pengunjung cafe. Dan aku benci mengakui jika aku juga terhipnotis suara merdu Pradipta!
Pada awalnya aku pikir cowok itu bekerja sebagai pelayan cafe. Danar juga tidak mengatakan sebelumnya jika Pradipta bekerja sebagai penyanyi cafe. Huh. Aku merasa bodoh saat ini.
Aku mengaduk jus melonku dengan sedotan. Berpura-pura sibuk sendiri hanya untuk menghindari tatapan cowok itu yang sesekali mengarah padaku saat ia melantunkan tembang milik Adele itu. Pikiranku yang bodoh berimajinasi jika lagu itu seolah ditujukan padaku, padahal bukan sama sekali. Itu hanya sebuah lagu dan tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Aku mungkin terlalu mendramatisir lagu itu karena suara merdu Pradipta benar-benar membuatku tersentuh.
Entahlah. Aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Bertemu dengan seorang cowok dan sedikit bergaul lebih dekat dengannya. Meski ini masih terlalu awal untuk mengatakan 'dekat' dengannya. Jujur, aku bukan termasuk cewek populer di sekolahku dulu karena aku memiliki sifat yang kelewat pendiam. Begitu kata orang-orang di sekitarku. Aku membatasi ruang gerakku sendiri karena terlalu nyaman dengan diri sendiri. Ada sesuatu dalam diriku yang harus kulindungi.
Aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Itulah faktanya. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri dan kerap mengabaikan sekitarku. Aku tidak pernah tahu ada yang menyukaiku atau tidak.
Suara tepuk tangan pengunjung membuyarkan lamunan dan sukses membuatku tersedak. Aku tersadar jika lagu yang dibawakan Pradipta telah usai. Cowok itu tampak tersenyum dan mengangguk sopan. Ia mengucapkan terima kasih lewat pengeras suara kepada para pengunjung.
"Kamu baik-baik aja, Ren?" tegur Danar seraya menepuk-nepuk tengkukku pelan.
Aku mengangguk dan berusaha menormalkan kembali tenggorokanku.
"Kenapa sih, minum jus aja kok sampai keselek segala. Padahal pakai sedotan juga."
Aku mendengus mendengar keluhan demi keluhan yang keluar dari bibir bawel Danar. Aku segera menyingkirkan tangannya yang masih menepuk-nepuk tengkukku. Padahal aku sudah merasa baikan sekarang.
"Aku kan nggak seberapa suka minum jus melon," dalihku mencari alasan. Sekadar menutupi rasa malu yang sekarang terlukis di wajahku.
"Kalau nggak suka kenapa tadi pesan jus melon? Dasar bodoh," maki Danar. Ia mengetuk kepalaku pelan.
Huh. Danar benar-benar keterlaluan. Di tempat umum seperti ini bisa-bisanya ia melakukan ini padaku. Jika Pradipta tahu, aku pasti akan sangat malu.
"Kalau begitu kita tukar minuman, bagaimana?" usulku sejurus kemudian. Seraya melempar senyum termanis, sengaja untuk menggoda.
"Nggak. Enak aja," sahut Danar ketus. Ia menyingkirkan gelasnya sedikit agak jauh agar aku tak bisa menjangkaunya.
Aku hampir melayangkan kepalan tinjuku ke arah pundak Danar, andai saja suara teguran seseorang tidak terdengar menyapa telinga kami.
"Hei."
Aku mendongakkan wajah seketika dan menemukan seulas senyum manis tersungging di bibir Pradipta. Cowok itu menghampiri tempat duduk kami setelah menyelesaikan lagunya. Kapan ia datang? Terakhir kali aku melihatnya ia masih berada di atas stage beberapa menit yang lalu. Tahu-tahu ia sudah ada di hadapanku sekarang.
"Duduk, Dip," sahut Danar dengan cepat. Dengan suka cita ia mempersilakan temannya untuk bergabung dengan kami. "penampilan kamu keren banget," pujinya sejurus kemudian. Ia menepuk-nepuk pundak Pradipta.
"Thanks," ucap Pradipta sembari tergelak renyah. "bukan pertama kali ini aja kan, kamu melihatku menyanyi?"
"Iya, sih. Tapi, penampilan kamu kali ini benar-benar memukau. Respon pengunjung cafe ini juga sepertinya bagus." Lagi-lagi Danar memuji temannya. Tampangnya juga dibuat seserius mungkin. Membuatku muak melihatnya.
"Kamu bisa aja," seloroh Pradipta.
"Mauren juga suka penampilan kamu, lho," imbuh Danar lagi sembari melirik ke arahku. Bermaksud menjebakku dalam permainannya.
"Oh, benarkah?" Cowok itu langsung menoleh ke arahku sembari melemparkan senyum tak percaya.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk kaku. Aku mengumpat dalam hati. Awas kamu Danar!
"Kalau kamu mau request lagu nggak pa pa kok, bilang aja," tawar Pradipta ramah.
"Ah, iya," sahutku agak gugup. Aku hanya bisa bersikap sebatas ini dan menyeruput kembali jus melon di depanku yang tinggal separuh. Harusnya aku tadi memesan jus alpukat seperti milik Danar.
"Eh, aku ke toilet dulu, ya," pamit Danar mengejutkan. "kebelet nih," imbuhnya dengan memegang perut dan ekspresi wajahnya dibuat sepanik mungkin.
Sial. Aku menggerutu dalam hati. Danar sudah merancang adegan ini sebelumnya. Atau Pradipta juga sudah diberitahu tentang rencana ini?
"Kamu nggak ingin makan sesuatu?" tawar Pradipta beberapa saat setelah Danar menghilang dari pandangan kami. "cupcake atau kentang goreng?"
Aku menggeleng pelan. Lalu kembali melempar senyum kaku. Kenapa susah sekali untuk bersikap wajar di depannya?
"Aku masih kenyang," ucapku beralasan.
"Oh," gumamnya pendek.
Kenapa Danar begitu lama? Apa sebenarnya yang ia lakukan di dalam toilet? Tidur?
"Aku pergi dulu, ya," pamit Pradipta membuyarkan lamunanku. Seseorang memanggilnya dari samping stage. "manager cafe memanggilku," beritahunya.
Aku hanya memberi anggukan ringan dan melepas kepergiannya dengan sebuah senyum tak berarti. Danar juga belum kembali sampai sekarang. Ia benar-benar ingin membiarkanku sendirian di sini, bengong, dan kesepian!
Perhatianku teralihkan saat Pradipta kembali ke atas stage dan mulai memetik gitar akustiknya. Petikan gitarnya mengalun pelan dan mulai menghanyutkan siapapun yang mendengarnya.
Aku memainkan ujung kuku-kuku milikku manakala cowok itu mulai melantunkan sebuah tembang. Berpura-pura acuh seacuh-acuhnya.
Di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu...
Aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta...Huft. Aku mendesah gugup saat cowok itu mulai bait pertama lagunya. Kenapa aku mesti merasa gelisah seperti ini? Ia menyanyikan lagu itu tanpa maksud apa-apa kan? Hanya kebetulan lagu itu sedang naik daun dan banyak peminatnya, bukan karena alasan lain kan? Atau aku saja yang terlalu percaya diri dan merasa lagu itu ditujukan untukku. Dasar otak bodoh!
"Hei, lama ya?" sapa Danar tiba-tiba. Cowok itu datang dan menyelamatkanku dari meratapi kebodohanku sendiri.
"Iya, sudah setahun aku menunggumu," tinpalku kesal.
Danar tergelak dan mengacak rambutku.
"Maaf, Tuan Puteri. Tadi perut hamba sakit," ujarnya masih dengan senyum di bibir. "wow, aku suka lagu ini. Dipta tahu banget kalau ini lagu favoritku," decak Danar sembari memusatkan perhatiannya ke arah stage di mana Pradipta masih membawakan tembang akustiknya.
Aku mendesah pelan dan tidak berkomentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...