"Dia masih agak demam, tapi, sejauh ini kondisinya sudah jauh lebih stabil," ucap Dokter Stefanus memberi keterangan hasil diagnosa medisku pada mama. Pria itu melepaskan ujung steteskop dari telinganya lalu berdiri menghadap mama yang sedari tadi menunggu di samping tempat tidur. Mama sengaja mengundang Dokter Stefanus untuk datang setiap pagi ke rumah Danar untuk memeriksaku. Setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit, aku meminta untuk pulang, tapi, bukan ke rumah oma. Aku tidak mau tinggal di sana setelah kejadian naas itu. Aku menempati kamar Danar yang diberikan olehnya dengan sukarela.
"Lalu?" Mama ingin keterangan lainnya. Mungkin informasi dari Dokter Stefanus tadi masih belum cukup untuknya. Sepertinya ia tahu ada hal lain yang terjadi padaku dan belum dibeberkan Dokter Stefanus.
"Dia masih mengalami shock berat pasca kecelakaan itu," ucap Dokter itu kembali. Sedikit pelan.
"Maksudnya?"
Aku masih memejamkan kedua mata. Berpura-pura tidur semenjak Dokter itu datang dan memeriksaku. Mama terdengar memelankan suaranya.
"Ini bukan soal kejiwaan kan?" Suara mama terdengar lagi. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Tapi, aku masih bisa mendengar suaranya samar-samar.
Dokter itu tidak langsung menyahut. Ia mendehem.
"Bisa kita bicara di luar?"
Aku berangsur membuka kedua mata beberapa saat kemudian, setelah terdengar suara derap kaki dan derit pintu tertutup. Mereka berdua sudah meninggalkan kamar Danar yang kutempati. Agar apapun yang mereka bicarakan tidak tertangkap oleh telingaku.
Kejiwaan? batinku gamang. Kenapa mama menyinggung soal itu? Dan buku-buku psikologi milik Danar? Oh...
"Kamu sudah bangun, Sayang?"
Aku belum sempat menyelesaikan lamunan saat mama tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Wanita itu sedikit kaget melihatku. Karena saat ia pergi tadi, aku berpura-pura tidur.
Aku hanya mendehem pelan sebagai balasan atas pertanyaannya.
"Sarapan dulu, Ren." Mama bergerak melangkah menghampiri tempat tidurku. "mama membuatkan bubur beras buatmu. Dulu saat sakit kamu suka minta dibuatkan bubur beras kan?" mama duduk di tepian tempat tidur dan mengusap kepalaku sangat pelan. Perban putih yang menutupi jahitan di kepalaku masih melingkar di sana sampai hari ini.
Aku menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya mama cepat dan heran. Kedua alisnya terangkat ke atas. "kamu harus makan, Sayang. Supaya kamu cepat sembuh," bujuknya dengan nada lembut.
Untuk apa? batinku seolah ingin menentang. Jika aku sembuh, aku hanya akan hidup dalam sebuah penyesalan tanpa akhir. Aku tidak akan pernah merasa tenang menanggung beban dosa besar ini seumur hidupku. Apa mama mengerti?!
"Mauren... "
Mama mengulurkan ujung kepala sendok ke dekat mulutku setelah tangannya berhasil menjangkau mangkuk dari atas meja. Dengan sejumput bubur beras di atasnya. Memang, saat aku sedang sakit mama biasa membuatkanku bubur beras. Beras yang direbus lama dengan air yang banyak dan diberi sedikit gula. Lumayan untuk meningkatkan selera makan.
"Mauren ingin pulang, Ma." Aku bergumam pelan. Nyaris tidak terdengar.
Mama agak terkejut mendengar ucapanku. Wanita itu urung menyuapkan bubur beras ke dalam mulutku.
"Pulang ke mana?" Mama menatapku bingung. Mungkin ia sempat berpikir aku ingin pulang ke rumah oma.
"Semarang."
Mungkin dengan pulang ke Semarang, aku bisa sedikit melupakan masa laluku yang mengerikan itu. Setidaknya di sana tidak ada yang mengingatkanku akan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa itu.
Mama meletakkan sendok yang ia pegang ke atas mangkuk bubur yang sedang ia pegang. Ia mendesah pelan. Gelisah. Aku tahu ia tidak akan pernah mengizinkanku pergi ke sana setelah perpisahannya dengan papa.
"Rumah kita di sini, Ren," tandas mama tegas. "apapun yang terjadi kita akan tinggal di sini. Kamu mengerti?"
Tapi, mama yang tidak mengerti keadaanku sekarang. Batinku bergolak. Bahkan sampai sekarang aku tidak memberitahu mama jika aku sudah berhasil mengingat semuanya. Peristiwa penting yang mengerikan itu. Aku harus berpikir seribu kali jika harus membebaninya dengan permasalahanku. Mama sendiri sudah terlalu banyak masalah dengan papa, apa aku tega menambah masalahnya?
"Mauren ingin beristirahat di sana, Ma." Aku menggumam lagi. "untuk memulihkan kesehatan." Aku menambahi lagi. Berharap ia mau sedikit mengerti tentang keadaanku.
Mama menggeleng dengan tegas.
"Nggak, Mauren," tolak mama mentah-mentah. "Mama nggak akan mengizinkan kamu ke mana-mana. Dokter Stefanus akan merawat kamu sampai sembuh. Kamu mengerti kan?"
Mama memang sedikit tegas dari papa. Wanita itu mewarisi setidaknya beberapa persen sifat keras kepala dari oma.
Aku diam. Percuma menentang kehendak mama. Ia akan tetap bersikukuh pada pendapatnya sendiri. Aku bisa merasakan jika wanita itu takut aku akan pergi. Ia pasti menduga jika aku pergi ke Semarang, aku tidak akan pernah kembali ke sisinya.
Mama meletakkan kembali mangkuk yang dipegangnya sejak tadi ke atas meja. Ia jengah. Aku sudah bisa membaca raut wajahnya.
"Tempat ini akan membuat Mauren ingat akan semuanya." Aku bergumam setelah jeda beberapa menit lamanya. Entah aku sadar atau tidak saat mengucapkan kalimat itu. Yang jelas kalimat itu meluncur begitu saja tanpa rencana.
Mama tampak tercekat. Ia menatapku sejurus kemudian. Sorot matanya tajam dan dipenuhi dengan tanda tanya besar. Keningnya juga berkerut tajam.
"Apa yang sedang kamu bicarakan, Mauren?" Mama bangkit dari tepian tempat tidur dan mengambil gelas susu dari atas meja. "minumlah. Keburu dingin nanti," suruhnya sembari menyodorkan gelas susu itu kepadaku. Bermaksud menghindari percakapan yang telah kumulai.
"Ma." Aku tak langsung menerima gelas itu dari tangan mama. "kecelakaan itu sama persis dengan kecelakaan yang dulu pernah menimpa Mauren kan?" Aku mendelik dan memperhatikan setiap gerakan bola mata mama.
"Mauren." Mama mendesah. "Mama mohon, berhentilah membahas hal itu." Sorot mata mama menatapku penuh permohonan. Ia tak bisa menyembunyikan keresahan yang sedang melanda hatinya.
Aku menghela napas sejenak. Haruskah ingatan ini kukuak di depan mama atau kusimpan sendiri sampai datang saat yang tepat untuk mengatakannya?
Mama menyodorkan kembali gelas yang dipegangnya. "Habiskan. Mama harus mengerjakan sesuatu di dapur."
Aku terpaksa menerima gelas berisi cairan putih kental itu dari tangan mama tanpa kalimat apapun. Wanita itu telah bersiap meninggalkan kamar Danar yang sekarang kupakai. Ya, kami menumpang di sini entah sampai kapan. Mungkin sampai mama mendapatkan rumah baru.
"Minum obatmu dan istirahatlah," pesan mama sebelum menutup pintu. "ingat, jangan berpikir macam-macam. Kamu harus cepat sembuh, Sayang."
Aku tak bereaksi mendengar pesan mama. Tak juga seulas senyum yang biasa kuberi saat kami mengakhiri perbincangan. Aku masih memegang gelas susu di tanganku dengan erat. Tiba-tiba perutku mual mencium aroma susu yang menguar ke sekitar hidungku. Aku tidak suka minum susu saat aku masih kecil. Dan aku baru mengingatnya barusan!
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...