why me #4

338 18 0
                                    

"Hei!"

Aku tersentak dan nyaris berteriak saat tangan Danar mencekal lenganku dengan gerakan tiba-tiba. Aku seketika tersadar dari kebisuan dan keterpakuanku.

"Kamu nggak mau naik?" tegur Danar. Ia merangkul pundakku sejurus kemudian. Akrab.

"Kenapa kita nggak naik lift aja?" Aku mencoba menawar sembari melempar senyum tipis.

Danar menarik tubuhku menyingkir dari depan eskalator saat pengunjung lain akan menaiki tangga berjalan itu. Karena tanpa sadar posisi tubuhku menghalangi jalan menuju eskalator.

"Ada apa denganmu, Ren?" Danar melepaskan rangkulannya dan menghadapku dengan tatapan penuh curiga yang terpancar dari kedua matanya. "ayolah. Kamu sudah dewasa dan nggak seharusnya takut menaiki benda itu. Kamu nggak ada masalah dengan eskalator maupun tangga, mengerti?" tekannya.

Aku menepis tangan Danar yang hendak mendarat di pundakku.

"Aku tahu," ucapku cepat. "aku nggak punya masalah dengan tangga atau eskalator. Aku nggak takut dengan benda itu, tapi... "

"Tapi apa?" sela Danar menyudutkan.

Aku menutup mulut seketika. Bukan karena aku tidak punya persiapan jawaban, hanya saja terlalu sulit untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Sejak dulu, aku tidak suka menaiki tangga dalam bentuk dan model apapun. Eskalator sekalipun. Aku tidak tahu alasannya kenapa, tapi, yang pasti aku merasa gamang setiap akan memijakkan kakiku di atas sebuah anak tangga. Itulah sebabnya rumah kami di Semarang hanya memiliki satu lantai. Rumah kami di Jakarta, telah dijual sebelum kami pindah ke Semarang.

"Dengar." Danar mencengkeram kedua pundakku dengan paksa dan menatap mataku dengan tajam. "ok, kamu memang pernah terjatuh dari tangga. Tapi, semua itu sudah berlalu dan nggak penting untuk diingat lagi. Kejadian itu sudah berlalu lama sekali dan lupakan. Mengerti?"

Aku mencoba menghela napas dalam-dalam dan merenungkan ucapan Danar baik-baik. Ucapan seperti itu sudah diucapkan mama berulang kali, namun, sama sekali belum bisa mengusir keraguan dalam hatiku.

"Aku mengerti." Pada akhirnya aku mengucapkan kalimat itu dan menghimpun segenap kepercayaan diriku.

"Bagus." Danar mengulas senyum tipis. "ayo pergi sekarang." Tanpa kuduga tiba-tiba saja cowok itu menyeret tanganku pergi dari tempat kami berdiri tak jauh dari eskalator.

"Ke mana?" tanyaku bingung. Aku tak punya ide sama sekali untuk menebak pikirannya dan hanya mengikuti ke mana ia menyeret tanganku.

"Mencari lift."

Oh. Aku menelan ludah dan masih berjalan di belakangnya tanpa berkomentar. Aku sempat berpikiran jika ia akan memaksaku untuk menaiki eskalator, nyatanya tidak. Ternyata dugaanku salah besar.

"Kupikir kamu akan memaksaku untuk naik eskalator tadi." Aku bergumam setelah kami berhasil menemukan lift dan menaikinya menuju lantai atas. Aku tersenyum kecil mengingat kebodohanku.

"Memang," sahutnya cepat. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, melihat jajaran stan makanan kecil dan minuman setelah kami keluar dari dalam lift. "tapi, lain kali aku pasti akan memaksamu untuk naik eskalator. Tangga juga." Danar tampak menyeringai. Ia berhasil membuatku khawatir dengan ucapannya.

Aku terperangah dan nyaris menubruk punggung Danar karena ia tiba-tiba menghentikan langkah.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Karena nggak selamanya kamu bisa hidup seperti ini terus, Ren," tandasnya. Ia memutar tubuh dan memaksaku menghadapnya. Raut wajahnya berlipat-lipat kali lebih serius dari biasanya. Ia tak tampak sebagai orang yang usil atau semacamnya. Setidaknya untuk saat ini, saat ia menatapku dengan tajam.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang