"Ta-da!"
Aku tersentak dan seketika mengalihkan tatapan dari layar ponsel ke arah sumber suara. Danar menghambur masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu atau sepotong kata permisi. Ia masuk begitu saja tanpa ada pertimbangan apapun. Bagaimana jika aku sedang berganti pakaian? Kenapa ia ceroboh sekali?
"Lihat apa yang kubelikan untukmu," ucapnya sembari mendekat ke tempat tidur dan meletakkan sebuah kardus kecil ke hadapanku. Aku menyingkirkan kaki dan memilih duduk bersila untuk memberi ruang bagi kardus yang dibawa Danar.
"Apa ini?" tanyaku keheranan. Aku menatap wajah Danar dengan curiga. Padahal harusnya aku menatap tangannya yang sedang sibuk membongkar kardus yang ia bawa.
"Aku membelikanmu cat kuku," tandasnya riang.
Cat kuku?
Selusin cat kuku berbaris rapi di dalam kardus kecil di hadapanku. Warnanya pun beragam. Seperti gradasi warna pelangi jika aku bisa menyusunnya dengan rapi.
"Tapi, aku nggak pernah memakai benda semacam ini, Danar." Aku mulai mengeluh. Seumur hidup aku tidak pernah memakai cat kuku karena aku tidak percaya diri memakainya.
"Kamu bisa memakainya mulai sekarang, Ren. Warnanya macam-macam dan cantik. Kalau kamu bosan dan ingin mengganti warnanya kamu bisa menghapusnya. Aku juga membeli cairan aseton, lho. Tadi aku dikasih tahu penjualnya," ujar Danar panjang dan bersemangat.
Aku bergeming menatap beragam ekspresi yang ditunjukkan wajah Danar setiap ia berucap sepatah kata. Ia tampak sangat bersemangat saat berbicara seperti seorang sales kosmetik yang baru saja magang. Tingkahnya justru membuatku merasa aneh.
"Oh, iya," lanjutnya. Ia menurunkan tas ranselnya dari bahu dan mulai membongkar isinya. Sebuah paper bag kecil berwarna pink ia keluarkan dari dalam tas ranselnya lalu disodorkan padaku. Membuatku sekali lagi harus mengernyitkan kening karena heran. "aku tadi juga membelikanmu seperangkat alat kosmetik lengkap. Lihat, kamu bisa belajar dandan mulai sekarang. Warna eye shadow-nya bagus-bagus kan? Aku juga membeli pensil alis... "
"Hentikan!" teriakku menghentikan kalimat Danar. Aku menatapnya nanar tanpa sedikitpun rasa percaya. Sudah gilakah ia? Ia tidak sedang demam kan?
Danar bergeming. Seolah waktu membuatnya beku dalam seketika. Hanya matanya yang masih menatapku dengan sorot redup. Gerakan tangannya juga terhenti padahal alat-alat kosmetik itu seolah sedang menunggu untuk ditunjukkan padaku.
"Kamu sudah gila, hah?" hardikku marah. "untuk apa kamu membeli sampah-sampah ini?" Jika aku tidak bisa mengendalikan diri mungkin tanganku sudah menghempaskan segala macam benda yang kini teronggok di depanku. Maaf kalau aku terlalu kasar sampai menyebut benda-benda itu sebagai sampah, padahal mereka sangat berharga. Aku hanya terlalu takjub dengan sikap aneh Danar. Ia bukan seperti yang biasa kukenal.
Danar tersenyum pahit lalu menghela napas dengan keras.
"Hei, aku membelikan semua ini untukmu, Ren," tandasnya dengan nada pelan. Bahkan ia masih sempat tersenyum saat mengucapkan kalimat itu. Meski aku berkata sedikit kasar padanya, Danar tidak membalasnya dengan cara yang sama. "aku cuma ingin membuatmu sibuk dengan benda-benda ini. Aku ingin kamu mulai berkencan dengan Dipta dan melupakan hal-hal buruk yang selama ini terjadi. Kamu mengerti maksudku kan?" Danar menepuk pipiku pelan sehingga redamlah emosi yang semula hendak meluap.
Aku tak merespon dan hanya menatap matanya untuk bisa membaca maksud Danar. Setelah kucerna dengan baik, rasanya ucapan Danar sangat logis dan terus terang. Ia hanya ingin membuatku sibuk dan melupakan mimpi-mimpi buruk itu. Mungkin saja dengan menyibukkan diri bisa membuat pikiranku sedikit rileks.
"Bagaimana kalau aku yang melakukannya?" tawar Danar selang beberapa detik kemudian. Karena aku tak juga memberi tanggapan.
"Melakukan apa?" Ekspresi wajahku pasti tampak sangat bodoh saat tak bisa mencerna maksud pertanyaan Danar kali ini.
"Mengecat kukumu."
Oh. Aku agak terkejut saat mendengar penjelasannya. Mengecat kuku-ku kata Danar? Yang benar saja. Apa ia benar-benar mau melakukannya?
Danar memenuhi ucapannya. Ia benar-benar akan melakukannya. Ia menarik tanganku dan mengambil sebuah botol cat kuku dari dalam kardus. Sebuah warna biru ia pilih untukku. Sepertinya pilihan Danar cocok buatku. Sama seperti saat ia memilihkan pakaian untukku. Apapun yang ia pilihkan untukku pasti yang terbaik. Pilihannya selalu bagus!
Cowok itu mulai mengecat kuku-ku satu demi satu dengan hati-hati dan teliti. Pekerjaan ini memang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan ekstra. Atau hasilnya akan belepotan. Setelah selesai mengerjakan salah satu kuku, maka ia akan meniupnya dengan kuat-kuat sampai pipinya menggembung. Aku hanya bisa menahan tawa saat melihatnya bertingkah lucu seperti itu.
"Maaf." Aku berujar pendek.
Danar hanya mendehem dan tidak menggubris ucapanku. Ia masih sibuk dengan pekerjaannya seolah-olah sesuatu telah menyumbat telinganya sampai ia tak mendengar suara apapun yang keluar dari mulutku.
"Aku tahu kamu hanya ingin membantuku melewati semua ini," tandasku melanjutkan. Aku tahu ia akan mendengar apapun yang keluar dari bibirku meski ia berlagak acuh. "untuk semua yang kamu lakukan aku sangat berterima kasih, Danar."
Danar mendehem kembali. Ia memaafkanku. Itu intinya. Tapi, ia punya cara sendiri untuk menyampaikan penerimaan maafnya. Bukan lewat kata-kata melainkan hanya sebatas kode belaka.
"Jangan bergerak sampai catnya kering, Ren," suruhnya setelah selesai mengerjakan kelima jari tangan kananku. Aku mengangkat tanganku demi menuruti perkataannya. Atau hasilnya akan belepotan jika cat yang masih basah tersentuh oleh sesuatu. Yang pasti aku tidak tahu berapa lama cat kuku itu akan kering. Mungkin sedikit lebih lama dari yang kubayangkan.
"Kamu seperti pegawai di Rumah Kuku," gumamku sembari memperhatikan kepala Danar yang menunduk menekuni salah satu kuku milikku. Ia tampak mengoleskan kuas cat kuku dengan sangat hati-hati. Meski ia seorang pemula, tapi, ia cukup lihai melakukannya.
"Ya, mungkin setelah ini aku bisa melamar kerja di sana," balas Danar tanpa mengangkat dagunya sedikitpun. Menanggapi ucapanku dengan nada serius padahal ia hanya sedang bercanda.
Aku terkekeh mendengar ocehannya. Bagaimanapun juga Danar masih satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa sampai hari ini.
"Jangan banyak bergerak, Tuan Puteri," ucapnya memperingatkan.
"Ok." Aku bersikap tenang kembali demi mempermudah pekerjaan Danar.
"Aku sudah mengatur jadwal kencanmu dengan Dipta besok." Setelah jeda dua menit barulah Danar mengungkapkan rencana yang tersembunyi di balik semua ini.
"Kencan?" Aku mengulangi ucapan Danar karena kurang yakin akan ketajaman pendengaranku. Aku takut salah dengar.
"Ya. Kamu suka kan?" Danar mengangkat dagu, menatapku lalu nyengir.
Aku belum menyahut. Rasanya aku perlu mempersiapkan mental untuk menghadapi semua ini. Kencan? Bahkan aku belum pernah melakukannya seumur hidupku. Meski aku sudah sering pergi berdua dengan Danar, tapi, tetap saja ini berbeda.
Aku belum tahu suka atau tidak dengan rencana kencan ini. Tapi, aku merasa grogi jika harus bertemu cowok penyanyi cafe itu lagi. Apa itu tandanya aku menyukai Dipta?
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...