why me #17

167 14 0
                                    

Aku bersyukur mimpi buruk itu tidak pernah datang lagi beberapa hari terakhir. Mungkin Danar benar, jika mimpi itu datang karena aku melihat gedung sekolah itu pada siangnya. Dan lagi-lagi aku meminta pada cowok itu agar mengambil rute lain saat pulang. Sama seperti saat kami berangkat tadi. Aku memaksanya mencari jalur alternatif untuk menghindari gedung sekolah dasar itu. Aku tidak mau melewati gedung sekolah itu bagaimanapun caranya. Meski harus mengambil jalur terjauh sekalipun.

Aku menyandarkan kepalaku pada bantal kecil yang dipasang di jok mobil, bergambar Mickey Mouse. Danar sangat mengidolakan kartun Disney itu sejak kecil bahkan sampai sekarang. Ia juga masih setia menggunakan barang-barang bertema kartun itu meski usianya sudah memasuki angka 20 tahun.

"Masih berminat membeli martabak telur?" tegur Danar mencoba mengusik lamunanku.

"Iya," sahutku malas. Tidak bersungguh-sungguh. Aku masih membuang muka ke arah luar jendela mobil.

"Muffin cokelat?" tegurnya lagi.

Sesungguhnya aku sudah tidak berminat lagi pada makanan itu. Suasana hatiku sedang tidak baik sekarang ini. Mungkin karena Pradipta dan apa-apa yang sudah terjadi di cafe tadi.

"Nggak usah."

"Kok?"

Aku menoleh ke arah Danar yang sibuk mengemudi.

"Kamu bilang aku bisa obesitas kalau makan keduanya kan?" timpalku mengulang ucapannya saat akan berangkat ke cafe tadi. Aku ingin menimpuk bahunya, jika aku bisa melakukannya. Tapi, aku tidak bisa karena ia sedang menyetir.

Danar terbahak dengan keras.

"Hei, aku cuma bercanda kok, Tuan Puteri," ucapnya. Ia menoleh padaku sekilas. "lagipula mana mungkin tubuhmu bisa obesitas? Makan banyak aja nggak bisa gemuk kok," tambahnya penuh hinaan.

Aku mencibir saat ia menyindir tubuhku yang memang kurus dari dulu. Tidak bisa gemuk meski makan dalam porsi banyak sekalipun. Tapi, sebenarnya aku bukan orang yang suka makan nasi. Lebih cenderung ngemil.

"Eh, Dipta keren kan?"

Hah? Aku melongo. Danar mengganti topik pembicaraan dengan cepat.

"Keren apaan?" gumamku seraya membuang muka ke luar jendela kembali.

"Kamu tahu, Dipta sudah lama ingin menjadi penyanyi cafe seperti itu. Karena dia ingin bekerja untuk membiayai kuliahnya sendiri," tutur Danar bercerita tentang temannya. "sebenarnya sebelum ini dia pernah bekerja part time di sebuah restoran, tapi, nggak lama. Terlalu capek katanya. Belum lagi jarak restoran dan rumahnya lumayan jauh."

Aku tak menanggapi. Hanya sekadar mendengar penuturan yang keluar dari bibir Danar. Entah ia ingin menarik simpatiku atau hanya sekadar memberi sekelumit gambaran tentang sosok Pradipta.

"Kamu nggak menyimak ceritaku?" tegur Danar merasa kuabaikan.

"Iya, aku dengar."

"Dipta menyukaimu, Ren."

Sontak aku menoleh ke arah Danar setelah ia berhasil meluncurkan kalimat mengejutkan itu.

"Apa?" tanyaku seperti orang idiot. Padahal ia menyebutkan kalimat itu dengan sangat jelas dan rasanya aku tidak perlu mempertanyakan ulang.

"Bodoh." Hanya desisan itu yang keluar dari bibir Danar. Memaksaku mencubit lengannya tanpa ampun. Aku berhasil membuat cowok itu mengaduh kesakitan.

Aku terdiam kembali di jok. Bersandar dan membuang pandangan keluar jendela. Benarkah Pradipta menyukaiku? Secepat ini? Apakah terlalu mudah menyatakan perasaan seperti ini?

"Kamu juga menyukainya kan?" tegur Danar kembali. "kulihat kamu salah tingkah di depannya tadi."

Aku mendegus dengan kasar. Itu semua karena Danar sengaja menjebakku. Bagaimana aku tidak salah tingkah karenanya? batinku kesal.

"Betul kan?" Danar tergelak puas setelah melihat reaksiku. Karena aku tak kunjung memberinya balasan apapun dan itu membuatnya mencurigaiku.

"Aku ngantuk," gumamku malas. Sengaja menghindari topik pembahasan tentang Pradipta. Aku juga masih menyandarkan kepala ke bantal kecil di jok mobil. Membuang pandangan keluar jendela.

Aku mendengar suara tawa Danar kembali. Terdengar nyaring dan terkesan menghina. Ya, aku paham kalau dia sedang menertawakanku. Ah, aku tak peduli. Masa bodoh!

Kami mampir sebentar untuk membeli martabak telur dalam perjalanan pulang. Sedang untuk muffin cokelat, mungkin lain waktu aku bisa membelinya. Atau aku bisa titip pada mama.

"Aku mau main futsal setelah ini. Kamu mau ikut?" tawar Danar sebelum aku turun dari mobil. Kami sudah sampai di depan rumah manakala senja telah tiba.
Aku langsung menggeleng dengan cepat. Aku paling anti jika disuruh menunggu Danar futsal. Lama!

"Malas." Aku menggumam pendek.

"Ya, sudah. Cepat masuk dan kunci pintu. Tante Sherin sebentar lagi juga pulang," ucap Danar.

"Kamu nggak pulang dulu?"

"Ya, tapi, sebentar. Ambil tas olahraga lalu berangkat lagi. Kamu baik-baik ya, di rumah," pesan Danar.

Aku mengangguk dan membanting pintu mobil Danar. Aku melambaikan tangan dan bergegas masuk ke dalam rumah. Seperti pesan Danar, aku tidak lupa mengunci pintu rumah.

Aku menemukan ada sepuluh panggilan tidak terjawab terpampang di display ponselku setelah sampai di kamar. Semuanya dari papa. Gara-gara Danar aku meninggalkan ponsel di atas tempat tidur begitu saja. Ia membuatku terburu-buru sampai melupakan benda penting itu. Sebelum pergi ke cafe aku memang sempat menghubungi papa dan tak ada jawaban. Mungkin papa sedang senggang dan berusaha menelepon balik.

Aku mencoba menghubungi nomor papa kembali setelah melepaskan jaket dan melemparkannya ke atas tempat tidur.

"Papa?"

Sial. Baru saja panggilanku tersambung, ponselku mati. Low bat! Kenapa hal seperti ini mesti terjadi di saat penting begini? Padahal papa sudah mengangkat teleponku. Aku menggerutu sendirian. Kesal.

Uh. Charger ponselku juga tak mau berfungsi padahal aku masih menggunakannya semalam. Aku mencoba ulang beberapa kali tetap tak berfungsi. Kesialan apa lagi yang menimpaku kali ini?

Apa aku pinjam charger milik Danar saja? Tapi, bukankah tadi Danar bilang akan pergi futsal. Lalu aku pinjam milik siapa? Oma? Wanita tua itu hanya memakai ponsel kuno yang model chargernya berbeda dengan milikku. Mama? Ia belum kembali sampai sekarang. Padahal ini adalah saat yang tepat untuk menelepon papa, mumpung oma dan mama tak ada di rumah.

Bukankah mama memiliki charger cadangan di kamarnya? Juga sebuah power bank. Tapi, semua benda itu ada di dalam kamarnya. Dan aku...

Argh. Aku hanya bisa mematung di bawah tangga tanpa bisa berbuat apa-apa. Tepatnya aku belum memutuskan akan naik benda itu atau tidak. Memang, saat ini aku sangat membutuhkan charger milik mama.

Haruskah aku naik tangga dan mengambil charger milik mama? batinku bimbang. Tapi, itu tangga, Mauren. Hatiku berkata lagi. Setelah kecelakaan itu aku tidak pernah naik tangga. Maksudku sebisa mungkin aku menghindarinya. Kalaupun aku terpaksa menaikinya, aku selalu minta ditemani mama atau papa. Tapi, aku sendirian sekarang. Apa aku harus menunggu mama? Kapan mama akan pulang?

Aku masih diam dan belum memutuskan. Mungkin lebih baik aku tidak mengambil resiko. Menunggu mama dan meminta bantuannya adalah cara paling aman dan menenangkan.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang