why me #31

137 8 0
                                    

"Kok bisa jatuh sih, Ren? Terluka lagi."

Aku enggan menanggapi keluhan mama dalam bentuk apapun. Wanita itu tampak kaget setengah mati mendapati lutut putrinya tergores sepulang dari puncak. Ia mendudukkanku di sofa ruang tamu lalu tergopoh-gopoh mencari kotak obat.

Pasalnya Danar langsung melapor pada mama begitu kami tiba beberapa detik yang lalu. Padahal ia sama sekali tak perlu melakukan hal seperti itu.

"Apa Mama panggil Dokter Stefanus aja?" gumam Mama setelah berhasil menemukan kotak obat. Wanita itu bergegas  membubuhkan obat tetes luka yang mengandung iodine ke atas lututku yang tergores. Menimbulkan rasa perih yang menggigit pada lututku. Namun, aku berusaha menahannya.

"Ma," selaku cepat. Aku sungguh tak mengerti dengan jalan pikirannya. "ini hanya luka kecil. Dikasih obat tetes juga dua hari sudah sembuh," imbuhku berusaha tak membuatnya khawatir.

Danar yang duduk tak jauh dari tempatku tampak cengar-cengir melihat reaksi mama. Apa ia pikir hal ini lucu? Bukankah ia yang melaporkan perihal lututku pada mama? Padahal ia juga yang membuatku seperti ini. Danar juga telah mengobati lukaku pagi tadi di vila sesaat setelah aku terjatuh. Terus terang aku sedikit menyesali tindakannya.

"Iya, Tan." Akhirnya Danar mau buka suara untuk mendukungku. "besok juga lukanya kering. Nggak usah panggil Dokter Stefanus segala. Kasihan dia, dipanggil jauh-jauh hanya untuk menangani luka kecil seperti itu," tambahnya memasang ekspresi serius.

Aku melempar kedipan mata ke Danar untuk mengucap terima kasih padanya. Ia sudah bersedia repot-repot mendukungku meski pada awalnya aku kesal melihat tingkahnya.

"Ya, sudah," ucap Mama. "kalau begitu istirahat aja di kamar. Nanti kalau butuh sesuatu panggil mama atau Danar. Biar mama nanti yang mengantar makan malam ke kamar. Ok?"

Aku setuju. Mama selalu bersikap seperti itu jika aku sedang sakit. Over protective!

Mama berangsur pergi ke dapur untuk mengembalikan kotak obat. Sedang aku memutuskan untuk pergi ke kamar diikuti oleh Danar.

"Bagaimana kalau aku menelepon Dipta dan menyuruhnya kemari?" tegur Danar. Tangan kanannya bergerak menutup pintu.

Aku tercengang mendapat penawaran istimewa dari Danar. Untung saja mama sedang berada di dapur dan kecil kemungkinannya ia mendengar percakapan kami.

"Kamu sudah gila?" desisku geram. Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Sebuah timpukan keras kulayangkan ke pundak Danar begitu ia duduk di sebelahku. "lalu aku harus bilang apa kalau dia tanya, kok bisa jatuh sih? Memangnya kamu lari-larian? Seperti anak kecil aja," ucapku memperagakan jika aku menjadi Dipta. Aku mengira jika Dipta akan bersikap seperti itu. Mungkin.

Bukannya merintih kesakitan, Danar malah terbahak dengan keras mendapat timpukan keras dariku. Tawanya terdengar menyerupai sebuah ejekan.

"Ada apa, Ren?"

Mama menyembulkan kepalanya ke dalam kamar tiba-tiba. Matanya meneliti ke sekeliling kamar. Danar menghentikan tawa seketika. Aku tidak menduga suara tawa Danar bisa didengar olehnya.

"Nggak kok, Tan." Danar yang bertanggung jawab kali ini. Dan memang seharusnya begitu. "kami cuma bercanda aja." Adik sepupuku itu terkekeh pelan.

"Oh." Mama menganggukkan kepalanya dan kembali menghilang di balik pintu.

Danar hanya terkikik pelan setelah yakin mama telah menutup pintu dengan rapat.

"Sudah puas bercandanya?" tegurku sembari melempar sebuah bantal bergambar salah satu klub sepak bola Eropa. Tepat sasaran mengenai wajah Danar.

Fiuh.

Danar mendengus. Tapi, aku cukup senang melihatnya kesal seperti itu.

"Bukannya enak dikasih perhatian apalagi oleh cowok," sindirnya.

"Bukannya malah seperti kekanak-kanakan?" Aku mengerutkan kening.

Danar menggeleng pelan. Dia sendiri tidak punya pacar, bagaimana bisa berkata seperti itu?

"Sudah ah, aku mau tidur," gumamku seraya merebahkan punggung.

Danar menggerutu pelan dan pamit padaku setelah sadar jika kehadirannya sedikit mengganggu. Karena aku berniat mengistirahatkan kedua mataku barang satu atau dua jam setelah perjalanan Bogor-Jakarta.

Tidurku tak lama. Hanya setengah jam. Padahal aku ingin lebih lama dari itu. Nyatanya mama datang dan membangunkanku. Ia membawa keranjang yang biasa digunakan untuk menaruh pakaian kotor. Sudah jam lima sore katanya. Aku harus mandi. Lagipula tak baik tidur kesorean seperti ini.

"Danar mana, Ma?" Aku menggeliat untuk meregangkan tulang-tulangku yang kaku. Aku pasti tidur dengan satu posisi saja tadi, pikirku.

"Pergi futsal," sahut mama datar. Wanita itu melangkah ke dekat tempat tidur dan menemukan tas jinjing yang kupakai saat pergi ke puncak. "kamu ini baru bangun sudah mencari Danar," sindirnya. Mama membuka lalu mengeluarkan isi tasku yang penuh dengan pakaian kotor. Juga piyama batik kesayanganku yang sudah berlubang pada bagian lututnya.

"Mauren ingin dibelikan martabak, Ma," tandasku terus terang. Perutku tiba-tiba saja minta diisi makanan itu.

"Iya, nanti mama telepon Danar," sahut mama. Ia masih sibuk memasukkan pakaian kotorku ke dalam keranjang. "jangan terlalu sering merepotkan Danar. Kasihan dia." Mama sempat melirikku.

Aku tidak berkomentar untuk masalah ini. Meski mama benar aku tak menggubrisnya. Kami memang menumpang di rumah Danar dan aku juga terlalu sering merepotkan dia. Tapi, selama ini Danar tidak pernah keberatan kurepotkan. Lagipula kami adalah saudara, jadi, rasanya tak apa merepotkan saudara sendiri.

"Kamu tahu, minggu depan Danar ulang tahun, lho." Mama telah selesai dengan pakaian kotorku. Wanita itu berdiri di tempatnya dan menatapku.

Ya ampun! Aku menepuk jidatku sendiri. Kenapa aku bisa melupakan hari bersejarah itu? 20 Agustus adalah hari kelahiran Danar. Untung saja mama mengingatkanku.

"Mauren hampir lupa, Ma," gumamku. Karena terlalu sibuk dengan masalahku, aku lupa dengan hari lahir adik sepupuku sendiri.

"Ya sudah, cepat mandi sana. Tapi, hati-hati. Jangan sampai lukamu kena air," pesannya sebelum meninggalkan kamarku.

"Ya, Ma."

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang