why me #12

183 15 0
                                    

"Bagaimana jika Mauren bisa mengingat semuanya, Ma?"

Mama menghentikan pergerakan tangannya. Gelas susu di dalam genggamannya mengambang di udara dan tangan itu tiba-tiba gemetar. Jelas sekali jika wanita itu sedang gugup hanya karena pertanyaanku. Padahal itu hanya sebuah pengandaian yang sama sekali tidak serius. Aku hanya ingin memancing reaksi mama belaka.

"Kenapa bertanya seperti itu?" Mama bertanya kembali sembari tersenyum sekadar menyembunyikan kegugupannya. Ia benar-benar pandai berakting. Wanita itu berangsur meletakkan gelas susu ke atas meja. "memangnya kamu sudah mengingat sesuatu?" deliknya penuh rasa ingin tahu. Mungkin juga ia takut jika aku benar-benar bisa mengingat semuanya.

"Kurasa aku mulai mengingat sesuatu," pancingku ingin tahu apa reaksi mama selanjutnya. Aku terus menerus mengawasi setiap gerak bola matanya.

Mama tampak tercekat. Wanita itu menatapku dengan nanar. Namun, dengan segera ia memperbaiki ekspresi wajahnya.

"Benarkah?" Bola matanya tampak bergerak gelisah. "lalu apa yang kamu ingat?"

Aku mengambil napas sebagai jeda percakapan kami. Juga untuk memberi ruang pada otakku untuk berpikir jawaban apa yang harus kulontarkan pada mama.

"Tentang sekolah dasar itu."

Mama tersentak kaget mendengar jawabanku. Betapapun pandainya ia berakting menyembunyikan keterkejutannya, tapi, kali ini ia gagal melakukannya. Ia tampak lebih gugup dari sebelumnya.

"Se-sekolah?" ulangnya terbata. Ia tampak tidak nyaman di tempatnya berdiri sekarang.

"Ya. Bukankah dulu Mauren pernah bersekolah di sana?" tanyaku lebih lanjut. Aku sudah terlanjur memulai perbincangan ini dan mama sudah masuk dalam perangkapku.

Mama mengangguk pelan.

"Ada apa dengan sekolah itu, Ma?" tanyaku lagi. Penuh desakan meski aku tahu mama pasti tidak akan mau menjawabnya.

"Ada apa?" ulangnya kebingungan. "memangnya apa? Nggak ada apa-apa dengan sekolah itu. Setahu mama kamu nggak ada masalah saat bersekolah di sana," lanjutnya mencoba berkelit.

Ayolah, Ma, batinku. Kenapa mesti berbelit-belit seperti ini? Apa masa laluku begitu buruk sampai-sampai kalian harus merahasiakannya dariku?

"Mama ke dapur dulu, ya. Mama harus mencuci alat penggorengan... "

"Siapa anak perempuan yang ada di sekolah itu, Ma?"

Pertanyaan itu dengan cepat kulempar sebelum mama berhasil meninggalkan ruang makan. Wanita itu menghentikan gerakan kakinya setelah aku menuntaskan pertanyaan pamungkas.

Mama masih memunggungiku dan belum berbalik pada hitungan ke lima. Apa ia sedang menyembunyikan perubahan ekspresi yang terjadi di wajahnya?

"Siapa yang kamu maksud, Ren?" Mama memutar tubuh dan menatapku. Dahinya agak berkerut. "anak perempuan yang mana?" Mama menunjukkan ekspresi bingung. Entah pura-pura atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.

"Mauren juga nggak tahu, Ma. Mauren cuma mendengar suara jeritannya aja," tuturku. Ya, itu adalah bagian dari mimpiku semalam dan malam-malam sebelumnya. Entah itu pernah terjadi di dunia nyata atau tidak.

"Suara jeritan?" Dahi mama berkerut lebih dalam dari sebelumnya. Pertanda ia sangat terkejut dengan kalimatku. "kamu pasti sedang berhalusinasi, Ren."

"Nggak, Ma." Aku ngotot. "Mauren mendengar suara jeritan itu dalam mimpi Mauren semalam." Akhirnya aku mengungkapkan mimpi misterius itu pada mama. Sekarang atau nanti, mama harus tahu tentang mimpi itu. Karena sebenarnya mama memegang kunci dari misteri ini. Bukan mama saja, tapi, seluruh orang di keluargaku mengetahuinya. Hanya aku saja yang tidak tahu. Bukankah ini indikasi bahwa aku tidak boleh mengetahui rahasia itu?

"Mimpi?" Mama berangsur dari tempatnya berdiri dan mendekat ke kursiku. Ia mendaratkan tangan kanannya di atas pundakku. "kamu tahu, mimpi hanyalah bunga tidur, Mauren. Khayalan kita mengembara ke mana-mana, mengada-ada, nggak jelas. Mama sering bermimpi nggak karuan seperti itu kok."

"Tapi, sudah beberapa hari ini Mauren bermimpi yang sama, Ma." Aku menatap mata mama mencoba meyakinkannya. "dan juga gedung sekolah dasar itu. Sepertinya Mauren dan sekolah itu ada hubungannya," tandasku hati-hati.

"Memang kamu dulu sekolah di sana, Ren... "

"Mauren serius, Ma," potongku cepat. "ini bukan sekedar hubungan seperti itu. Tapi, semacam hubungan khusis. Mama pasti tahu hubungan seperti apa antara Mauren dan sekolah itu. Betul kan?"

Mama diam dan mengunci bibirnya rapat-rapat. Hanya bola matanya yang bergerak ke sana kemari meneliti raut wajahku sedetail mungkin. Lalu wanita itu mengembangkan senyum pahit.

"Memangnya apa yang mama ketahui?" tanya mama bermaksud menghindar. "Mama nggak tahu apa-apa, Ren." Wanita itu memutar tubuh dan mulai melangkah ke dapur.

"Anak perempuan dan sekolah itu ada hubungannya dengan masa lalu Mauren kan, Ma?!" Aku berteriak kencang untuk memastikan mama mendengar suaraku dengan jelas.

Mama menghentikan langkah tepat seperti perkiraanku. Namun, wanita itu tidak mau membalikkan tubuhnya kembali. Padahal aku ingin sekali melihat keterkejutan di wajahnya.

"Apa masa lalu Mauren begitu buruk sampai-sampai mama dan semua orang menyembunyikannya dari Mauren?!" Suaraku bergema di seluruh penjuru ruang makan. Aku seperti mendapat kekuatan untuk mengucapkan pertanyaan yang sudah lama mengendap di kepalaku. "sebenarnya apa yang terjadi, Ma?!"

"Hentikan, Mauren!"

Aku bergeming. Mama berteriak lebih keras dari suaraku. Aku bisa menangkap getaran yang ditimbulkan oleh bibirnya. Wanita itu membalikkan tubuh dengan gerakan cepat dan menatapku dengan sorot tajam. Baru kali ini ia menatapku dengan cara seperti itu. Sepasang mata merah seperti marah.

"Jangan bertanya apa-apa lagi pada mama. Mama mohon," pinta mama kemudian. Suaranya mulai merendah. Sinar matanya juga berangsur meredup. "masa lalumu sudah berlalu dan nggak ada apapun di sana meski kamu mencoba mencarinya. Kamu mengerti?" tekannya melanjutkan ucapan.

Aku tak menjawab. Belum sempat lebih tepatnya.

"Jangan berpikir macam-macam dan berhentilah mencari tahu. Nggak ada gunanya juga... "

"Ma... "

"Sebaiknya makan sarapanmu sebelum dingin," suruh mama memotong kata-kataku. Mama tampak jengah untuk melanjutkan perdebatan kami. Wanita itu berbalik dan melangkah cepat ke dapur.

Aku menghela napas panjang. Mataku masih melirik ke arah mama yang sedang tertegun di depan wastafel. Wanita itu bergeming di sana tanpa melakukan apa-apa. Alat penggorengan yang ia bilang harus dicuci masih teronggok di atas kompor. Belum berpindah ke wastafel.

Mama kenapa? Apa yang sedang melanda pikirannya? Apa aku terlalu mendesaknya?

Jika mereka menyimpan rahasia ini serapat mungkin, itu pasti untuk menjaga perasaanku. Karena mereka sangat mencintaiku dan tidak ingin aku terluka. Kenapa aku tidak balas menjaga perasaan mereka dan hidup dengan baik seperti sebelumnya? Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Apa aku bisa melakukannya?

Aku menyenduk nasi goreng di atas piring sejurus kemudian. Mama tahu jika aku sangat menyukai nasi goreng buatannya. Aku melirik sekilas ke arah mama dan mendapati wanita itu sudah beraktifitas seperti biasa. Seperti tak pernah terjadi perdebatan antara kami sebelum ini.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang