why me #34

158 11 0
                                    

Jam berapa sekarang? Pagi, siang, atau malamkah? Siapa yang bersedia memberitahuku?

Tak ada yang berubah dari diriku. Aku masih sama seperti sebelumnya, terbaring di atas tempat tidur, tak bisa membuka mata apa lagi menggerakkan salah satu anggota tubuh. Aku masih dalam keadaan yang mereka sebut 'koma'.

Rupanya aku tak sendiri. Sepertinya seseorang tertidur di samping ranjangku untuk waktu yang lama. Mungkin mama. Ia pasti sangat kelelahan menjagaku sepanjang waktu.

Mauren baik-baik saja, Ma. Mama juga harus memperhatikan kesehatan Mama sendiri. Tidak ada satupun orang yang suka sakit kan?

"Tan."

Itu suara Danar. Aku bisa menangkap suara detak sepatu sneakers favoritnya. Juga derit pintu terbuka dan tertutup. Sepertinya ia sedang melangkah menghampiri mama.

"Sebaiknya Tante pulang dan istirahat. Biar Danar yang menjaga Mauren."

Danar benar, Ma. Mama harus istirahat dan makan. Jangan sampai kesehatan mama terabaikan karena menjagaku terus-terusan.

"Tapi... "

"Tan." Danar memotong kalimat Mama sebelum ia sempat menyelesaikannya. "demi Mauren. Dia pasti sedih jika melihat Tante sakit. Makanya Tante harus pulang dan istirahat. Biar Danar di sini menjaga Mauren. Nanti jika ada perkembangan baru, Danar akan menelepon Tante."

"Baiklah."

Akhirnya. Aku lega mendengar jawaban mama meski ia sempat diam beberapa saat. Mungkin ia harus berpikir sebelum memenuhi permintaan Danar. Sedikit sulit meyakinkan wanita itu.

Mama pergi usai menghadiahkan sebuah kecupan di atas keningku. Bibirnya hangat dan membuatku merasa begitu nyaman. Sebuah tanda cinta yang tak ternilai harganya. Lalu papa? Apa ia sudah tahu keadaanku? Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku lupa. Aku belum bisa bertemu dengan papa. Mungkin aku bisa mendengar suara papa.

Apa yang sedang dilakukan Danar sekarang? Apa ia tidak mau bicara sesuatu?

Sampai detik di mana aku merasa lelah menunggunya bicara, masih tetap tak ada suara. Mungkin Danar juga lelah. Padahal aku merindukan suara adik sepupuku itu. Saat ia tertawa, mengejek, dan menggodaku. Kapan kami bisa mengulangi semua canda tawa itu?

"Hei, kamu sudah datang?"

Ada seseorang yang datang. Entah siapa. Aku belum mendengar suaranya.

"Dipta datang, Ren."

Oh. Cowok itu datang? Secepat ini?

Danar berbincang sebentar dengan Dipta. Aku tak begitu jelas menangkap suara pembicaraan mereka. Tapi, sepertinya Danar menjauh dari tempat tidurku. Mungkin memberi kesempatan pada kami berdua untuk bersama meski dalam kondisi yang tidak memungkinkan seperti ini.

"Hei."

Sapaan yang manis. Untukku. Dan aku menyukainya. Mengingatkanku pada saat Dipta melantunkan sebuah lagu akustik di cafe beberapa waktu yang lalu. Di sana pula aku mengenal Dipta. Terus terang aku ingin mendengar lantunan suara merdunya sekali lagi meski tanpa iringan gitar atau alat musik apapun.

"Apa kabar?"

Aku hanya bisa membayangkan gaya Dipta saat menanyakan kabarku. Sikapnya pasti kaku dan malu-malu. Aku yakin siapapun akan bersikap sama saat berbicara dengan orang yang koma.

"Aku menunggumu, Ren," ucap Dipta lagi. "aku menunggumu kembali. Aku ingin mengajakmu pergi jalan-jalan seperti yang kemarin kita lakukan. Nonton, makan, melakukan apapun yang kamu suka."

Dipta menarik napas dalam-dalam. Pasti sulit berbicara dengan orang sepertiku.

"Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu." Sebuah pengakuan jujur meluncur dari bibir Dipta. Dan aku sangat yakin jika perasaannya tulus padaku. "Danar banyak sekali bercerita tentangmu. Dia tahu setiap detail, apapun itu yang menyangkut kamu. Sampai-sampai aku sempat cemburu dibuatnya." Sebuah deraian tawa yang dipaksakan terdengar. Ia pasti sedang menertawakan kebodohannya sendiri. Memangnya apa yang perlu dicemburui? Aku dan Danar adalah saudara sepupu, Dipta juga sudah tahu.

Dipta mendehem. Sepertinya ia tak mau melanjutkan kalimatnya kembali.

"Aku harus pergi."

Entah ia bicara padaku atau Danar kali ini. Karena aku mendengar seseorang mendadak masuk ke dalam kamarku.

"Nggak mau menemani Mauren lebih lama lagi?"

"Aku harus pergi ke cafe."

"Oh."

Dipta pergi. Ia harus bekerja di cafe hari ini. Andai saja aku bisa pergi, aku ingin sekali melihat penampilannya di atas stage. Tapi, aku tidak akan memesan jus melon. Mungkin jus alpukat dengan susu cokelat.

"Kamu senang?"

Danar menghampiri tempat tidurku kembali. Tapi, ada yang tidak beres dengan pertanyaannya. Kenapa ia bertanya seperti itu? Tentu saja aku senang karena ada seseorang yang menjengukku.

"Ren." Danar meraih tangan kananku yang bebas dari jarum infus. Mungkin besok atau lusa, suster akan memindahkan jarum infus ke tangan kananku.

"Mau sampai kapan kamu akan tidur seperti ini?" tanya Danar sangat pelan. "apa kamu nggak capek tidur selama dua hari dua malam?"

Jangan bertanya seperti itu, Danar. Aku ingin segera bangun dan hal yang pertama ingin aku lakukan adalah menimpuk bahumu dengan keras karena aku belum sempat menghadiahimu krim spesial di hari ulang tahunmu. Kamu tahu itu?

"Aku sangat sangat merindukanmu, Ren."

Aku juga. Mungkin kita bisa melepas kerinduan dengan mendirikan tenda di depan rumah dan membakar jagung seperti yang pernah kita lakukan di puncak. Tapi, kapan saat itu akan tiba?

"Aku mencintaimu, Ren."

Kalimat Danar kali ini membuatku kaget. Seperti duri yang tiba-tiba menusuk ulu hatiku. Kenapa?

Kenapa kamu mengucapkan kalimat itu, Danar?

"Aku mencintaimu sejak kita masih kecil. Bukan sebagai saudara, tapi, sebagai lawan jenis," ungkap Danar memperjelas maksud kalimat sebelumnya. "maaf. Mungkin ini sangat berlebihan. Aku bodoh dan nggak seharusnya perasaan ini muncul dalam diriku. Tapi, sungguh aku nggak bisa mencegah perasaan ini. Aku tahu diri, Ren. Aku nggak akan pernah bisa memaksakan perasaan ini. Aku hanya ingin kamu tahu, itu saja. Rasanya sangat menyakitkan mencintai seseorang yang begitu dekat denganku, namun sama sekali nggak bisa kusentuh. Rasanya seperti nggak bisa bernapas di ruang terbuka, kamu tahu?"

Cukup, Danar! Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi darimu. Apapun itu.

Jadi, itulah alasannya kenapa kamu mengenalkanku pada Dipta? Untuk menutupi perasaanmu yang sebenarnya. Licik sekali kamu, Danar. Begitu pandainya kamu menyimpan perasaan sedemikian rupa, bahkan sampai tidak terendus olehku.

Aku akui, aku menyayangi Danar. Tapi, bukan seperti yang Danar rasakan. Perasaanku hanya sebatas hubungan persaudaraan, persahabatan. Tak pernah lebih, tak kurang.

"Bangunlah, Ren."

Untuk apa?

"Aku janji akan membelikanmu martabak porsi besar. Apapun yang kamu inginkan, aku akan belikan. Aku juga akan mengajakmu pergi ke manapun kamu mau. Mungkin kita bisa pergi ke vila. Kamu suka jagung bakar, bukan?"

Danar bodoh! Apa ia hanya bisa menjanjikan sebuah martabak atau jagung bakar saja? Itu terlalu gampang.

Jika aku terbangun suatu hari nanti, apa yang akan aku lakukan? Siapa yang akan kulihat untuk pertama kali? Apa aku boleh melupakan ingatan saat ini? Lebih baik tidak tahu menahu soal perasaan Danar daripada aku berpura-pura bodoh di hadapannya!

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang