why me #2

441 25 0
                                    

"Mauren!"

Seorang cowok berpostur tinggi tegap berbalut kaus putih dan celana jeans selutut, berwajah oval, dan agak tampan, menghambur ke arahku dengan tiba-tiba. Meneriakkan namaku dengan volume di atas rata-rata dan langsung memeluk tubuhku yang baru saja keluar dari kamar. Mataku setengah terkantuk-kantuk saat ia datang dan sialnya ia berhasil membuatku sesak napas karena terlalu erat memelukku.

Danar. Dia adalah adik sepupuku, putra tunggal Tante Shelin. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan saja, tapi, perawakannya yang tinggi membuatku terlihat seperti beberapa tahun di bawahnya. Padahal aku yang terlebih dulu lahir ke dunia ini. Saat ini Danar duduk di bangku kuliah tahun pertama, sementara aku baru saja lulus SMU sebulan yang lalu. Harusnya kami setingkat, namun, karena sesuatu hal, aku terpaksa tinggal kelas saat SD.

"Kamu sudah besar ya, cantik lagi," puji Danar setelah melepaskan tubuhku dengan segala kelapangan hati. Ia tertawa riang sembari mencubit kedua pipiku gemas. Seolah aku ini seorang bayi kecil di matanya.

"Danar!" Aku melayangkan tinju ke arah pundaknya kuat-kuat dan memaksanya melepaskan pipiku. "sakit, nih," gerutuku sambil mengusap pipiku yang panas. Sikapnya keterlaluan!

Danar terbahak keras melihat reaksiku yang mungkin tampak berlebihan di matanya. Apa aku selucu dan semenggemaskan itu di matanya?

"Kamu nggak berubah ya, tetap manja seperti dulu," oloknya dengan deraian tawa. Kali ini ia menyentil hidungku dengan gemas.

Aku manja? batinku heran. Pada Danar yang suka iseng itu? Yang benar saja. Danar tetap sama seperti dulu. Periang dan usilnya selangit. Ia pandai membuat suasana menjadi lebih ceria dan hidup. Mungkin hanya Danar satu-satunya orang yang bisa membuatku tertawa lepas.

"Hei, hei, kalian ini seperti anak kecil aja," celutuk Tante Shelin yang muncul tiba-tiba dari belakang punggung Danar. Adik mama itu tampak cantik menggunakan terusan panjang berwarna soft pink dengan riasan tipis di wajahnya. Rambut panjangnya di jepit ala kadarnya. Sekilas ia mirip mama jika dilihat dari samping. Tapi, menurutku mama lebih cantik. "kalian itu sudah dewasa. Baru ketemu sudah berantem," imbuhnya lagi. Wanita itu menarik kedua pundakku dan mencium pipi kiri-kananku bergantian tanpa menghiraukan Danar yang cengar cengir sendirian.

"Tante Shelin apa kabar?" tanyaku juga ikut mengabaikan Danar.

"Baik, Sayang. Sudah lama nggak ketemu kamu tambah cantik aja," puji Tante Shelin membuatku ingin tertawa. Tadi siang aku sudah mendengar oma melontarkan pujian itu lalu Danar dan sekarang ganti Tante Shelin.

"Tante juga cantik," balasku mengimbangi pujiannya. Aku mengurai senyum.

"Eh, mamamu mana?" Tante Shelin celingukan mencari mama.

"Di kamar, Tan," jawabku sembari menunjuk lantai atas dengan ujung telunjuk kanan. Tanpa berbasa-basi wanita itu langsung menuju lantai atas sesuai petunjuk yang kuberikan. Pasti ia tak sabar ingin segera bertemu dengan saudarinya. Setahuku mereka berdua begitu dekat dan sering mengobrol di telepon sampai berjam-jam lamanya. Mereka pasti sangat merindukan satu sama lain setelah sekian lama tidak bertemu.

Belum lepas aku menatap punggung Tante Shelin yang bergerak ke lantai atas, Danar sudah menyeret tanganku ke sofa dan mendudukkanku di sana dengan paksa. Sepertinya ia begitu antusias dengan kehadiranku di kota ini. Kami sama-sama anak tunggal dan sepertinya Danar lebih merasa kesepian ketimbang diriku.

"Jadi, kamu mau diantar jalan-jalan ke mana? Monas, Ancol, Taman Mini, tinggal sebut aja. Aku akan mengantarmu ke mana aja kamu mau," tawarnya seperti tukang ojek dadakan dan spontan membuatku geli menatap ekspresi wajahnya.

"Kamu ini," gerutuku sembari melayangkan sebuah tepukan ke bahunya. Aku melebarkan kedua mata.

Danar terbahak keras. Sifat periangnya tak berubah dari dulu. Itulah kenapa aku selalu merasa kesepian di Semarang. Tak ada Danar atau seseorang yang memiliki sifat sepertinya di sana. Dan tampaknya aku akan betah tinggal di kota ini karena ada Danar.

"Aku serius, Mauren." Ia sedikit mengeja kalimatnya sekadar memberi penegasan. "aku paling hafal jalan-jalan di Jakarta. Tukang ojekpun kalah dariku," ocehnya entah serius atau bercanda. Tapi, bisa jadi ucapannya benar mengingat ia lahir dan besar di sini. Jadi, tidak menutup kemungkinan ia memang hafal seluruh jalan di Jakarta.

"Benarkah?" tanyaku berpura-pura tidak percaya. Karena Danar suka bercanda dan itu membuatku selalu tertipu olehnya.

"Danar."

Percakapan kami sedikit terganggu karena tiba-tiba saja Oma muncul dari arah dapur. Wanita itu agak melotot dan memasang wajah curiga pada kami berdua. Terutama pada Danar.

"Mauren masih capek, biar dia istirahat dulu," tandas Oma seraya mengambil tempat duduk tak jauh dari kami. Wanita itu mengambil remote dari atas meja dan langsung menyalakan televisi.

"Tapi, Oma... "

"Besok-besok kan masih ada waktu," potong Oma cepat. Wanita itu sampai mengalihkan pandangannya dari layar televisi hanya untuk menatap wajah Danar. Orang tua selalu tidak suka jika ucapannya dibantah. "lagi pula Mauren kan akan tinggal di sini seterusnya."

Danar menghela napas berat. Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dengan sikap pasrah. Tampaknya ia tak bisa berbuat banyak karena takut pada Oma.

"Baiklah, Oma," sahut Danar akhirnya. Mengalah. "tapi, setelah itu aku akan membawa Mauren jalan-jalan berkeliling Jakarta sampai pusing," selorohnya sembari menyunggingkan senyum licik di ujung bibirnya. Ia juga melirik ke arahku dan mengedipkan sebelah matanya.

Aku hanya tersenyum menanggapi candaan Danar. Setidaknya aku bisa memanfaatkan jasanya untuk mengantarku berbelanja atau jalan-jalan. Aku tidak membawa seluruh pakaianku dari Semarang dan aku pikir bisa membeli beberapa helai pakaian di sini. Lagi pula yang kudengar di Jakarta harga pakaian lumayan murah. Meski sebenarnya aku sengaja meninggalkan sebagian pakaianku di sana hanya untuk beralasan jika suatu saat aku ingin berkunjung ke Semarang.

"Memangnya kamu sudah punya SIM?"

"Oh, pasti," sahut Danar bersemangat. "kamu mau di antar ke mana?"

"Belanja," ucapku seraya melirik ke arah Oma. Melihat apakah wanita tua itu menyimak perbincangan kami atau tidak, meski matanya fokus ke arah layar televisi.

"Siap. Kapanpun kamu mau pergi tinggal bilang padaku. Aku tahu tempat yang menjual pakaian murah."

"Besok saja." Suara Oma memecah percakapan di antara aku dan Danar. Ternyata diam-diam wanita itu menyimak perbincangan kami, meski matanya sedang fokus ke layar televisi.

"Baik, Oma." Suara Danar menyahut dengan malas. Aku juga ikut-ikutan malas melanjutkan percakapan kami. Karena telinga oma terlalu peka. "lagian sudah sore juga," imbuh Danar lagi.

Danar benar. Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Meski tubuhku sudah mulai segar, aku belum mandi sejak tiba tadi siang. Masih ada waktu esok hari untuk pergi berbelanja.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang