Argh.
Aku terbangun pada pukul dua dini hari dengan bonus keringat dingin yang menetes dari kedua pelipis. Membentuk sebuah aliran mirip replika sungai Amazone. Punggungku juga terasa lembab, basah oleh keringat yang sama dinginnya. Tanganku juga menunjukkan reaksi yang bukan tanpa sebab. Keduanya gemetar. Ketakutan.
Aku menghembuskan dan mengeluarkan udara dari hidungku seteratur mungkin. Berusaha untuk mengatur napas baik-baik dan mengedarkan mata ke sekeliling kamar. Senyap. Tak ada suara atau pergerakan benda yang mencurigakan sama sekali. Aku sendirian dan itu tadi hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang sama dengan kemarin. Meski hanya berdurasi beberapa detik saja, sudah cukup membuatku ketakutan dan enggan untuk melanjutkan tidur kembali.
Kenapa mimpi itu datang lagi? keluhku berusaha mengusir bayangan mengerikan itu, tapi, aku belum bisa melakukannya saat ini. Bahkan suara jerit kesakitan itu begitu jelas terdengar, seperti hanya berjarak beberapa centi dari telingaku. Begitu dekat dan nyata. Membuatku semakin yakin jika yang kudengar tadi adalah suara seorang anak perempuan yang menjerit dengan keras. Hanya saja aku tidak bisa melihat penampakan anak perempuan itu. Dan aku sama sekali tidak tertarik untuk melihat penampakan tubuh serta wajahnya. Tapi, kenapa ia berteriak sekeras itu dalam mimpiku? Apa yang ingin ia sampaikan padaku sebenarnya? Sementara gedung sekolah itu juga muncul meski hanya sekilas. Anak perempuan itu bukan aku kan? Karena aku merasa ada di dekatnya dan dia adalah pribadi yang lain, seseorang yang tidak kukenal. Bisa saja anak perempuan itu tinggal di gedung sekolah selama beberapa tahun, mungkin ia adalah roh yang terjebak di sana dan seperti cerita dalam film ia memintaku untuk membebaskan dirinya. Tapi, kenapa mesti aku yang penakut ini? Kenapa bukan orang lain saja? Apa mungkin anak perempuan itu dan aku memiliki sebuah keterkaitan sehingga ia mendatangiku dalam mimpi? Tapi, hubungan seperti apa di antara kami? Teman? Saudara?
Aku menggeleng pada diri sendiri. Aku tidak punya saudara. Aku anak tunggal, Danar juga. Jika dia teman dekat, kenapa mama maupun Danar tidak pernah mengatakannya padaku? Semestinya mereka mengingatkanku tentangnya. Atau anak perempuan itu yang selama ini dirahasiakan oleh mereka? Teman dekat yang sudah meninggalkah? Rasanya mustahil. Tidak ada petunjuk tentang hal itu satupun di kepalaku. Ya, tentu saja, karena aku kehilangan sebagian ingatanku.
Dan tiba-tiba saja pemikiran paling bodoh yang pernah melintas di kepalaku adalah, aku harus mendatangi gedung sekolah itu sekarang untuk mendapatkan jawabannya. Tentu saja malam ini, jika aku benar-benar ingin tahu jawaban teka-teki itu. Semua misteri akan terjawab pada malam hari dan sekaranglah saatnya.
Tidak. Batinku bertentangan. Aku tidak akan pernah pergi ke sana malam-malam begini hanya demi mencari jawaban atas misteri itu. Aku bisa pingsan jika bertemu dengan roh atau makhluk halus di sana. Aku bukan orang yang punya nyali besar!
Aku merebahkan kembali tubuhku dengan mata terbuka. Aku tidak akan bisa tidur setelah ini. Mungkin aku akan begadang sampai pagi. Menyebalkan!
Tubuhku hanya bolak-balik di atas tempat tidur. Gelisah. Berbagai macam posisi tidur sudah kucoba semuanya, tapi, tidak ada satupun yang membuatku nyaman. Rasa kantuk yang seharusnya menyerang mataku, tak kunjung datang meski aku sudah memejamkan mata terus-menerus. Hingga pagi tiba.
Kepalaku seperti berputar saat aku bangun dari tempat tidur. Pagi tiba. Namun, matahari belum keluar dari peraduannya. Aku tak sempat untuk mencuci muka dan melangkah keluar. Ruang makan dan dapur masih sepi. Hanya sebuah lampu kecil yang menyala di sana pertanda mama belum pergi ke dapur untuk melakukan rutinitas paginya. Aku memperkirakan jika mama dan oma masih terlelap di kamar masing-masing.
Danar!
Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalaku. Aku harus bertemu Danar, menceritakan tentang mimpiku semalam, dan meminta pendapatnya. Mendesaknya kembali untuk mengatakan rahasia atau apapun yang ia ketahui tentang masa laluku. Meski ia akan mencari seribu satu alasan untuk berkelit dari pertanyaanku.
Dengan setengah berjingkat aku menyelinap keluar rumah, berusaha tak menimbulkan suara agar mama ataupun oma tidak terbangun karena ulahku. Langit sudah tampak terang meski matahari belum terbit saat kakiku menapaki jalan menuju rumah Danar. Hawa dingin juga menelusup ke balik piyama tidurku. Danar juga pasti masih terlelap di balik selimut Mickey Mouse-nya, bermimpi indah bersama gadis-gadis. Mungkin.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Danar. Tak sampai tiga menit malah. Lampu di depan rumah dan teras sudah dimatikan, menandakan bahwa Tante Shelin sudah bangun. Wanita itu rajin bangun pagi rupanya, berkebalikan dengan putranya Danar si pemalas itu.
Tanganku yang sudah mengepal urung untuk mengetuk daun pintu padahal ia nyaris menyentuh benda itu. Telingaku menangkap suara dari balik pintu, lebih tepatnya sebuah percakapan. Ah, sepagi ini? Mana mungkin. Mungkin itu hanya sebuah siaran radio pagi tentang konsultasi atau wawancara untuk menemani Tante Shelin menggoreng nasi atau melakukan aktifitas lain.
Aku mencoba merapatkan telinga ke pintu dan mendengar namaku disebut oleh seseorang di dalam sana. Suara mama!
"Apa? Mauren sudah mencurigai sesuatu?"
Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi mama saat ini. Kedua alisnya pasti sedang terangkat ke atas dengan tidak wajar. Sepagi ini mama pergi ke rumah Danar, sengaja menyelinap untuk membicarakan tentangku? Ia bicara dengan siapa?
"Ya."
Aku tersentak ketika suara Danar membalas pertanyaan mama. Jawabannya tegas dan sangat yakin.
Aku tersenyum pahit. Jadi, mereka melakukan 'rapat' kecil pagi-pagi seperti ini? Danar juga terlibat di dalamnya.
"Aku bingung saat Mauren bertanya terus tentang masa lalunya, Tante." Danar berbicara lagi. "nggak selamanya kita bisa merahasiakan hal itu darinya. Mauren akan mencari tahu sendiri tentang masa lalunya jika kita nggak memberitahunya, Tante."
Tak ada suara dari mama setelahnya. Mungkin ia sedang merenung.
"Tapi, kita tetap nggak boleh memberitahunya tentang hal itu. Dia akan terluka nantinya."
Aku tercekat. Oma juga ada di dalam sana?
"Bagaimanapun juga kita harus tetap merahasiakan hal itu dari Mauren. Bagaimanapun caranya." Giliran Tante Shelin berkomentar.
"Danar. Tante minta tolong, cegah Mauren untuk nggak mencari tahu tentang masa lalunya. Cuma kamu yang paling dekat dan mengerti Mauren. Kamu pasti bisa melakukannya." Nada suara mama terdengar memaksa.
"Ya, Tante."
Aku menunggu sampai beberapa detik lamanya. Tapi tidak ada satupun yang berinisiatif menyambung percakapan itu. Semuanya diam membungkam mulut masing-masing.
Haruskah aku menyeruak masuk ke dalam sana dan mengagetkan mereka semua? Bertanya apa yang selama ini ingin kutanyakan pada mereka. Tapi, apa mereka akan menjawab pertanyaanku dengan suka rela? Mustahil!
Mereka akan tetap bungkam sampai mati sekalipun. Baiklah, jika mereka tidak memberikan jawaban yang sangat ingin kuketahui, aku akan mencari tahu sendiri seperti kata Danar.
Aku berlari pulang secepat yang kakiku bisa. Meski aku bukan pelari handal, dalam beberapa detik saja, aku sudah sampai di kamar. Seperti yang kubilang rumah Danar dan rumah oma hanya berjarak tiga blok saja. Dan aku bisa mencapainya dalam hitungan detik saja.
Aku membanting daun pintu kamar dengan keras dan mengatur napas. Aku kecewa, sakit hati, dan menyesal. Kenapa aku masih tidak bisa mengingat apapun?
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...