Jogging?
Aku tidak bermimpi kan? Suara Danar benar-benar mengucapkan kata itu beberapa detik yang lalu.
"Mauren!"
Tanganku ditarik dengan paksa dan membuatku harus membuka mata. Danar pelakunya. Cowok itu mendudukkan dan mengguncang tubuhku dengan kencang.
"Danar!" Aku berusaha menepis tangan cowok itu.
"Bangun, Ren," suruhnya pantang menyerah. "hari ini hari Minggu. Banyak gadis-gadis komplek yang pergi ke taman untuk jogging. Cowok-cowok juga banyak, lho," beritahunya bermaksud merayu.
"Memangnya aku sepertimu yang suka mengejar-ngejar cowok," gerutuku malas.
"Please, Ren." Danar memelas. Layaknya seorang pengemis yang sedang meminta recehan. "ikut yuk."
Aku menguap sebentar. Sebenarnya aku masih ngantuk berat. Jam weker di atas meja menunjuk angka lima. Masih terlalu pagi untuk meninggalkan tempat tidur yang nyaman dan bantal yang empuk. Sungguh, aku sebenarnya terlalu malas untuk memenuhi ajakan Danar.
"Baiklah."
"Yes!" teriak Danar girang bukan main setelah aku menyetujui ajakannya meski dengan berat hati. Aku tidak akan tega menolak permintaannya.
"Tapi, ada syaratnya."
"Apa?"
"Aku minta martabak telur porsi jumbo plus daging yang banyak," ucapku menyebutkan syarat.
Danar melenguh. Sepertinya sedikit ada keluhan dengan persyaratan yang kuajukan.
"Kalau kamu nggak mau... "
"Baiklah, Tuan Puteri." Akhirnya ia mengalah dan memberiku waktu sepuluh menit untuk ke kamar mandi dan berganti pakaian.
Aku, mungkin adalah salah satu gadis di dunia ini yang benci melakukan olahraga. Di saat gadis-gadis lain sibuk diet dan melakukan berbagai macam olahraga demi mendapatkan bentuk tubuh langsing bak peragawati, aku lebih memilih diam di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Aku tidak suka membaca atau bermain ponsel seperti kebanyakan orang.
"Ayo, Ren!"Danar mulai meneriakiku. Ia sudah mendahului langkahku kira-kira tiga meter jauhnya. Ia jengkel dan aku bertambah jengkel karenanya. Aku harus memaksanya membeli es krim sepulang dari jogging.
Aku mempercepat langkahku yang kian jauh tertinggal. Napasku ngos-ngosan dan keringat meluncur bebas di pelipis serta area sensitif lain. Aku letih.
Taman kota tampak ramai oleh para pengunjung yang terdiri dari berbagai kalangan usia. Mereka juga melakukan aktifitas yang sama denganku. Penjual makanan, minuman, balon, dan mainan pun ada di sana. Mereka memanfaatkan car free day seperti ini untuk meraup rejeki.
Aku menghentikan langkah ketika Danar menyapa sekelompok gadis-gadis dan berbasa-basi dengan mereka. Tampaknya mereka sudah saling mengenal dan aku terabaikan begitu saja oleh adik sepupuku yang menyebalkan itu.
Aku menepikan tubuh dan bersandar pada sebatang pohon. Aku harus mengatur napas terlebih dahulu dan mengistirahatkan kedua kakiku barang sejenak sebelum menyusul Danar. Ah, tapi, mana Danar?
Aku mengedarkan tatapan ke sekeliling. Danar tak ada. Kerumunan gadis-gadis yang baru saja ia sapa masih ada di tempat mereka sebelumnya, tapi, tanpa Danar. Cowok itu pasti sudah melanjutkan joggingnya kembali tanpa menyadari jika aku tertinggal.
Ah, sudahlah, batinku. Toh, aku hafal jalan pulang. Aku meneruskan langkah setelah beristirahat beberapa lama. Tubuhku sudah merasa lebih baik. Hanya tenggorokanku yang kering.
"Mauren."
Pundakku ditepuk seseorang dari belakang. Danar. Cowok itu berhasil mengejutkanku.
Aku memutar tubuh dan bersiap menimpuk Danar kapan saja. Tapi, urung. Karena ia tidak sendiri. Ada seseorang di samping Danar. Orang asing yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Kenalkan, ini kakak sepupuku, namanya Mauren," ucap Danar memperkenalkan diriku pada seseorang di sampingnya.
Aku mengembangkan senyum dan mengulurkan jabat tangan kanan pada sosok di sebelah Danar.
"Mauren." Aku menyebut nama seperti yang orang lain lakukan saat berkenalan.
"Pradipta." Cowok sebaya Danar itu balas tersenyum.
"Dipta ini teman kampusku, Ren," jelas Danar mengungkap identitas Pradipta.
Aku hanya mengangguk, tersenyum, dan diam. Aku tidak terlalu tertarik ikut nimbrung percakapan kedua cowok itu.
"Aku beli minum dulu," pamitku setelah cukup merasa bosan berada di antara keduanya. Tanpa menunggu jawaban Danar, aku bergegas melangkah menghampiri seorang penjual minuman yang mangkal di pinggir taman.
Aduh!
Kakiku tersandung sebuah batu dan aku nyaris terjerembab jika saja sebuah tangan tidak segera menahan tubuhku sebelum menyentuh tanah. Aku kurang memperhatikan jalan di mana kakiku berpijak. Juga batu itu, kenapa ia bisa ada di sana dan menghalangi langkahku?
"Kamu nggak pa pa?"
Oh. Aku tersadarkan oleh sapaan itu.
Farrel! pekikku dalam hati. Mataku mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi. Rupanya Tuhan masih ingin kami bertemu.
Aku menegakkan tubuh dan mendehem pelan. Mengusir rasa malu yang mulai menghinggapi hatiku.
"Aku baik-baik, aja," tandasku datar.
"Kamu jogging juga?" tanya Farrel kemudian. Cowok itu mengulas senyum.
Aku mengangguk pelan. Aku tidak berharap bisa bertemu dengan Farrel lagi setelah pertemuan kami di depan sekolah kala itu. Ia tak bisa membantuku. Kalaupun ia bisa membantu menemukan ingatanku, ia tidak akan pernah mau melakukannya. Aku tak tahu alasannya.
"Maaf, aku harus pergi... "
"Mauren," cegah Farrel cepat. Ia berdiri menghadang langkahku.
Aku terkesiap dan spontan menatap mata Farrel. Kenapa menahanku?
"Kamu marah padaku?"
"Marah?" ulangku dengan senyum kecut. Aku tidak pernah marah padanya. Mungkin bisa disebut malas. "aku nggak marah."
"Lalu?"
Aku menggeleng pelan dan mengatur napas.
"Seperti saranmu, aku membatalkan niat untuk mencari tahu tentang masa laluku." Pada akhirnya bibirku mengatakan hal itu juga.
Farrel sedikit tercekat mendengar pernyataanku. Cowok itu pasti tidak akan menduga aku mengurungkan niat awalku untuk mencari ingatan yang hilang.
"Kenapa?" Meski tampak terkejut ia bertanya alasannya juga.
"Demi kebaikan semua orang," tandasku. "aku merasa masa laluku yang hilang itu adalah bagian yang terburuk dalam hidupku. Jujur, aku sedikit takut jika benar-benar menemukan ingatan itu dan akan melukai diriku sendiri. Aku nggak mau seperti itu." Tiba-tiba aku mengatakan hal itu pada Farrel. Bahkan aku tidak pernah mengatakan hal itu pada siapapun, termasuk Danar.
"Itu lebih baik." Farrel tampak mengukir sebuah senyum di bibirnya.
Farrel benar. Terkadang menjadi tidak tahu seribu kali lebih baik, bukan? Dan satu hal yang aku yakini adalah Farrel tahu bagian masa laluku yang hilang itu, tetapi, dia diam. Biarlah ingatan itu tetap hilang jika ia terlalu pahit untuk diingat.
Tubuhku tersentak saat tiba-tiba Danar menyeret lenganku dengan paksa.
"Ayo pulang, Ren," ajak Danar dengan paksa.
Aku menuruti kehendak Danar meninggalkan tempat itu meski dengan cara yang sedikit kasar. Padahal ada Farrel di sana dan cowok itu tampak berdiri mematung di tempatnya saat aku menyempatkan diri menoleh ke arahnya. Aku bahkan tak sempat berpamitan padanya. Gara-gara Danar. Entah apa yang ada di pikirannya saat menyeretku pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Aktuelle LiteraturKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...