why me #22

167 11 0
                                    

"Kamu masih sakit, Ren... "

"Aku sudah baikan, Danar." Aku ngotot ingin ikut jogging ke taman Minggu pagi ini. Tubuhku sudah pulih hanya tinggal jahitan di kepalaku yang hampir kering. Perban yang sebelumnya melilit kepalaku juga sudah dilepas kemarin, hanya sehelai kain kasa berukuran beberapa centi yang masih terpasang menutup jahitan.

"Lebih baik kamu di rumah dan istirahat, Mauren." Danar memelankan suaranya. Untuk membujukku agar mengurungkan niat mengikutinya jogging di taman.

"Aku bosan di tempat tidur terus." Aku meluncurkan sejumlah alasan. "lagipula aku hanya akan jalan-jalan aja. Nggak akan lari-lari kok." Aku menyunggingkan senyum manis untuk merayunya.

Danar menghela napas panjang. Lalu kepalanya mengangguk meski tampak berat.

"Semoga Dipta ke taman hari ini," gumam Danar seraya berbalik memunggungiku. Ia sibuk mencari topinya di dalam lemari.

Aku tidak begitu mempedulikan tingkah Danar. Aku juga sibuk meneliti isi kamar Danar yang baru. Karena aku menempati kamar Danar, adik sepupuku itu pindah ke kamar tamu. Tak banyak barang yang menempati ruangan itu. Sebenarnya aku bisa menempati kamar itu, tapi, Danar bersikeras memaksaku untuk pindah ke kamarnya.

"Sudah siap?" Aku memutar tubuh dan tercekat mendapati Danar menyodorkan sesuatu ke hadapanku. "apa ini?" tanyaku keheranan.

"Jaket."

Ah, iya. Aku menerima benda itu dari tangan Danar tanpa komentar. Aku meninggalkan jaket milik papa di rumah oma.

"Kita berangkat sekarang?" tegurku seraya mengenakan jaket milik Danar. Aku sempat berpikir jika jaket itu bergambar Mickey Mouse, nyatanya tidak ada. Tapi, aku selalu merasa nyaman saat mengenakan jaket milik orang yang kusayang. Aku merasa lebih terlindungi meski itu hanya tampak seperti mitos.

Hari masih pagi. Matahari masih belum tampak merekah di langit timur. Hanya semburat warna jingga menghias di sana. Berbaur dengan warna putih dan biru. Hawa dingin masih terasa menusuk kulit wajahku.

"Kamu nggak sedang mencari Farrel kan?" tebak Danar datar. Cowok itu berjalan pelan di sebelahku. Mengimbangi langkah kakiku yang bergerak lambat. Tak ada kabel earphone yang melekat di telinga seperti yang kebanyakan orang lakukan saat berolahraga. Gayanya cuek dan sok keren. Memang dia tampak keren saat memakai kaus polo putih dipadu dengan celana pendek hitam selutut, sepatu sneakers, dan topi berwarna putih sebagai pelengkap penampilannya. Setidaknya aku bangga memiliki adik sepupunya sepertinya. Dan jujur aku merasa sangat nyaman berjalan bersama Danar seperti sekarang.

"Aku memang mencarinya," jawabku tanpa menoleh. Jari-jemariku mengepal di dalam saku jaket milik Danar. Sedang mataku beredar ke sekeliling mencari sosok Farrel. Rupanya Danar sudah mencium rencanaku.

"Untuk apa?" Danar menghentikan langkahnya dan menatapku dengan pandangan tajam di bawah topi polos putihnya.

"Aku hanya ingin tahu kabar Laras," jawabku dengan menentang sorot matanya yang tajam.

"Nggak ada satupun yang tahu kabar Laras, Ren." Ia mengguncang bahuku pelan. "kalaupun dia masih hidup, aku adalah orang pertama yang akan mendatanginya. Aku ingin sekali bilang padanya, jangan mengganggumu lagi."

Aku menepis tangan Danar dan melanjutkan langkah. Apa yang ingin dilakukan Danar berbeda dengan apa yang akan kulakukan saat bertemu dengan Laras. Dengan catatan jika dia masih hidup.

"Aku ingin minta maaf padanya," gumamku. Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun, sosok Farrel belum juga kutemukan di antara para pengunjung taman. Apa ia absen jogging Minggu pagi ini? "bagaimanapun juga aku yang bersalah dalam kecelakaan itu. Aku nggak bisa hidup dengan rasa bersalah, kamu tahu?" Aku sedikit menekan intonasi suaraku. Danar tidak akan tahu jika dadaku sesak saat mengucapkan kalimat itu.

"Aku tahu." Ia menyahut. Tanpa menoleh. Danar paling tidak suka jika aku mengungkit masalah kecelakaan itu.

Kamu tidak akan pernah tahu perasaanku, Danar. Mulutku bungkam, tapi, hatiku berontak.

Langkahku berhenti. Danar juga. Sosok yang kucari tampak berdiri di ujung sana bersama seorang gadis kecil, mungkin ia adalah keponakan Farrel yang pernah ia jemput dulu di sekolah dasar.

Aku terkesiap dan bergegas mempercepat langkah menuju ke arah target. Rupanya Farrel juga sudah melihatku dari kejauhan dan cowok itu tampak menungguku di tempatnya berdiri.

"Bisa kita bicara?" Aku menghampiri tempat Farrel berdiri dan langsung bertanya tanpa basa-basi. Aku sempat melirik gadis kecil yang berdiri di sampingnya dan sedang menatapku dengan curiga. Tangan kecilnya langsung meraih lengan Farrel. Ah, apa ia pikir aku akan merebut Farrel darinya? Lucu sekali!

"Mauren." Danar tiba di dekatku dua detik kemudian. Tapi, aku tidak peduli pada siapapun saat ini kecuali pada sosok yang sedang berdiri di depanku.

Farrel menatapku sebentar lalu beralih ke arah Danar.

"Apa yang ingin kalian bicarakan denganku?" Farrel tersenyum kaku. Menunjukkan kebingungannya. Tapi, ia segera memberi kode pada gadis kecil di sampingnya untuk pergi bermain di sudut lain taman itu.

Aku bisa menunggu sampai keponakan Farrel pergi dengan sukarela. Sementara menunggu, aku bisa menyusun kalimat apa saja yang ingin kulontarkan pada Farrel nanti.

"Aku sudah bisa mengingat semuanya," beritahuku setelah keponakan Farrel pergi menjauh dan kami mengambil tempat duduk di salah satu sudut taman. Ada sebuah bangku kayu yang untungnya masih kosong. Aku dan Farrel duduk bersebelahan sedang Danar memilih untuk berdiri. Dari tempat kami duduk, kami masih bisa melihat keponakan Farrel sedang berlatih dengan sepatu rodanya.

Farrel tampak tercekat. Ia menatapku lama.

"Semuanya?" ulang Farrel seperti tak percaya. "maksudmu kejadian di sekolah dasar itu?" Kening Farrel berkerut tajam.

Aku mengangguk tegas. Dan aku bersyukur Danar tidak menyela percakapan kami saat ini. Mungkin belum.

"Kamu juga melihat kejadian itu kan?" desakku kemudian.

Butuh beberapa saat bagi Farrel hingga akhirnya ia mengangguk. Persis seperti dugaanku.

"Aku berangkat pagi-pagi karena papa harus pergi ke suatu tempat hari itu," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan penuturannya. "aku melihat kejadian itu secara nggak sengaja."

"Lalu?" Kali ini Danar menyela dengan cepat. "kamu bilang pada guru soal kejadian itu?" desaknya tampak tak sabar.

Tapi, Farrel menggeleng. Membuat aku dan Danar serempak terkejut. Aku sempat tak percaya dengan pengakuannya. Rasanya tidak masuk akal jika Farrel kecil merahasiakan sesuatu yang dilihatnya, mengingat kejadian itu bukan hal biasa yang terjadi.

"Aku nggak tahu harus melaporkan kejadian itu atau nggak," tandas Farrel. Tatapan matanya jatuh ke sebuah sudut terjauh di depan sana. Menerawang kosong. Pikirannya pasti sedang menelusuri jejak peristiwa beberapa tahun silam. "aku bungkam sejak hari itu sampai hari ini."

Aku dan Danar saling diam merenungkan kalimat Farrel. Farrel berkata jujur. Jika dia melaporkan kejadian itu, otomatis pihak sekolah akan memanggil orang tuaku. Tapi, tidak ada yang terjadi setelah kecelakaan itu. Bahkan pihak sekolah juga terkesan menutupi peristiwa itu. Dan satu-satunya orang yang bisa buka mulut adalah Laras sendiri. Andai ia masih hidup setelah kecelakaan itu, pasti ia akan kembali ke sekolah dan mengungkap fakta yang sebenarnya pada guru dan teman-teman. Mungkin juga orang tua Laras akan mendatangi rumahku dan membuat perhitungan dengan keluargaku. Tapi, seperti kata Danar tidak ada kabar apapun tentang Laras. Sama sekali. Ia tak pernah kembali ke sekolah dan keluarganya menghilang begitu saja. Jadi, aku dapat menyimpulkan jika Laras sudah meninggal dan ingin menuntut balas padaku dengan cara menghantuiku lewat mimpi. Ya Tuhan!

"Kamu baik-baik aja, Ren?" Tangan Farrel tiba-tiba saja mencekal lenganku di saat aku nyaris kehilangan keseimbangan. Kepalaku mendadak berdenyut setelah berpikir tentang Laras.

Danar segera menepis tangan Farrel dan merangkul pundakku.
"Kurasa Mauren perlu istirahat. Kami pulang dulu," pamit Danar mengatasi situasi dengan sigap.

Farrel mengangguk. "Aku akan mencari tahu tentang Laras," janjinya sebelum aku dan Danar mengundurkan diri darinya.

Danar tak merespon ucapan Farrel dan menyeretku pulang. Ia seperti acuh pada kalimat Farrel. Apa ia masih membenci cowok itu?

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang