Aku terjaga. Pagi sudah merebak di luar sana. Sinar matahari tampak menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi udara yang terpasang pada dinding kamar. Aku nyaris lupa jika ini masih di vila milik Danar.
Aku menggeliat pelan. Hidungku tiba-tiba mencium aroma amis telur goreng. Seperti biasa saat mama membuatkan omelet untuk sarapan. Siapa gerangan yang memasak sepagi ini?
Aku turun dari tempat tidur dan tiba-tiba teringat sesuatu. Bukankah semalam aku dan Danar menikmati 'kejutan' yang ia buat di halaman? Suasana ala-ala kemping, tenda, jagung bakar. Dan seingatku, aku bersandar di pundak Danar lalu jatuh tertidur di sana. Ya, tidak salah lagi. Aku tertidur di pundak Danar semalam. Tapi, saat bangun aku sudah berada di kamar. Pasti adik sepupuku itu yang memindahkan tubuhku ke tempat tidur. Ya ampun!
Aku melihat Danar sedang sibuk berkutat di depan kompor. Sepertinya ia sedang kerasukan sesuatu hingga tumben-tumbennya memasak sepagi ini. Setahuku ia paling malas jika disuruh memasak. Bahkan aku tak pernah melihatnya memasak selama tinggal di rumahnya.
"Masak apa?" tegurku sembari melangkah menghampiri tempatnya berdiri. Aku masih setengah mengantuk saat memperhatikan tingkahnya.
"Oh." Danar sedikit kaget mendapat teguran dariku. Ia melirikku sekilas lalu kembali fokus pada masakannya. "omelet sayuran. Biar kamu sehat. Kamu kan jarang makan sayur," celutuknya sok tahu. Padahal aku masih doyan sayur meski tak terlalu menyukainya.
"Siapa bilang aku jarang makan sayur," cetusku sembari mencubit lengannya. Kesal.
Danar terkekeh pelan. Ia tak mengeluh kesakitan kali ini.
"Eh." Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang ingin kubahas dengannya. Aku menyandarkan punggung di tembok sembari menatap serius ke arah Danar. Ia hampir menyelesaikan omelet sayurannya. "seingatku tadi malam aku tidur di pundak kamu, deh. Kenapa pagi ini aku tidur di kamar?"
Danar tak langsung menyahut. Ia mengangkat penggorengan dari atas kompor dan menuang isinya ke dalam piring lalu mematikan kompor.
"Aku yang bawa kamu masuk," ucapnya bergaya cuek. Adik sepupuku itu mengangkat dua buah piring berisi omelet sayuran dan membawanya ke meja makan.
"Kamu menggendongku?" Aku mengikuti langkah Danar ke meja makan untuk mengejarnya dengan pertanyaan.
"Iya." Danar tiba-tiba membalikkan tubuh setelah meletakkan piring-piringnya dan ia nyaris menubrukku yang berdiri di belakang punggungnya. Tapi, untung saja Tuhan masih menyelamatkanku. Jidatku tidak sampai menyentuh ujung dagunya. "kamu berat banget, tahu nggak?" Ia mendekatkan wajahnya ke hadapanku dan memelototkan kedua matanya.
Aku mendengus kesal. Dia ingin mengataiku gendut? Begitukah maksudnya?
"Hei, aku nggak gendut, tahu!" Aku berseru membela diri. "beratku cuma 48 kilo. Dan itu masih normal," imbuhku masih tak terima.
"Bodoh." Danar menyentil keningku dengan jari telunjuknya lalu beranjak pergi. Menyisakan rasa sakit yang menggigit di keningku. Keterlaluan!
"Danar!!!"
Aku sudah mengepalkan tangan dan bersiap melayangkan tinjuku ke pundaknya, tapi urung karena tiba-tiba saja Danar membalikkan tubuh. Ia memasang wajah jutek saat menatapku.
"Kenapa?" tanya Danar datar. "mau memukul? Silakan. Nanti aku bilangin Dipta," ucapnya bermaksud mengancam.
Aku mendengus. Ia licik. Apa ia mau menjatuhkan namaku di depan Dipta? Tapi, sebenarnya aku tidak mau terkesan buruk di mata Dipta jadi, aku menurunkan tanganku.
Danar terkekeh. Yeah, ia sedang menikmati kemenangannya sekarang.
"Cepat mandi karena kita mau jalan-jalan," ucapnya disertai senyum manis terpasang di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Fiksi UmumKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...