Akhirnya!
Ujung sepatu sneaker hitam-abu-abu milikku bergeming, tak ingin melangkah lagi ke depan. Saat ini aku sudah berdiri di depan sebuah tempat yang menurutku begitu misterius. Bukan tempat asing buatku dan untuk orang lain, namun akhir-akhir ini tempat itu selalu membayangi pikiran. Saat terlelap maupun terjaga. Tempat itu seperti memanggilku untuk datang ke sana dan ajaibnya kini aku telah berdiri di sana, di depan gedung sekolah dasar itu. Aku memanfaatkan situasi kali ini. Mama sedang pergi bersama dengan Tante Shelin entah ke mana. Sementara Oma pergi ke tempat laundry miliknya dan biasanya baru pulang saat sore tiba. Jadi, aku menyelinap keluar rumah dan menaiki ojek untuk sampai di depan gedung sekolah dasar di mana aku pernah bersekolah di sana.
Aku tak begitu ingat bagaimana rupa bangunan itu saat aku bersekolah di sana beberapa tahun yang lalu. Apa saja yang berubah di sana, aku tidak tahu. Hanya saja suara riuh dari para siswa yang sedang bermain di halaman begitu akrab di telinga. Ramai dan aku tidak mendapati suara jerit kesakitan seperti yang kudengar dalam mimpi. Tidak ada sama sekali.
Tanganku hanya bisa mencengkeram jeruji pagar besi di hadapanku. Aku tak bisa masuk ke dalam untuk menggali sebagian ingatanku yang terkubur di sana. Aku hanya bisa menatap lurus ke dalam sana. Pada anak-anak yang berseragam merah putih, yang tampak berlarian di halaman sekolah. Mereka tertawa penuh suka cita, tanpa beban.
Ah, kenapa tiba-tiba tanganku gemetar? Perasaanku juga aneh. Pertanda apa ini? Apa sinar matahari yang membuatku seperti ini? Memang aku tak begitu suka terpapar sinar matahari yang terik. Karena aku akan merasa pusing jika berada di bawah sinar matahari terlalu lama.
Aku melepaskan pagar besi itu beberapa detik kemudian. Aku tidak mau terlalu hanyut pada perasaan aneh yang mulai menjalari hatiku. Aku harus pulang sesegera mungkin, sebelum mama atau oma mendapati rumah kosong dan aku tak ada di sana. Mereka bisa panik dan itu akan berakibat fatal buatku. Lagi pula aku tidak menemukan apapun di sini kecuali perasaan aneh yang entah datang dari mana dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Argh.
Pundakku menubruk seseorang ketika aku memutar tubuh tanpa rencana. Aku terhenyak karena kaget. Sebelumnya aku tak melihat ada seseorang yang berdiri di belakangku saat tiba di sini. Ia seperti jatuh begitu saja dari langit tepat di belakangku.
"Maaf," ucapku tanpa sadar sembari menahan pundakku yang sakit akibat benturan kecil tadi.
Seorang cowok berperawakan tinggi dan sedikit lebih kurus dari Danar, berdiri terpaku di hadapanku. Sebuah kaus putih polos dan sedikit ketat, membungkus tubuhnya yang lumayan bagus. Berpadu dengan celana jeans yang robek pada kedua lututnya. Kulitnya yang kuning tampak tersiksa terkena paparan sinar matahari siang. Ia sama sekali tak mengeluh akibat ulah cerobohku tadi.
Cowok? batinku gamang. Kenapa aku harus mengalami kejadian memalukan seperti ini? Semua orang yang kukenal di Semarang sangat tahu jika aku 'kuper' terutama soal cowok. Ya, aku tidak punya teman cowok di dunia ini kecuali Danar! Jika saja Danar bukan adik sepupuku, aku juga tidak akan pernah mengenal Danar.
"Kamu... " Cowok itu menatapku dengan sangat serius. Bahkan ia tak berkedip saat melakukannya. Sepertinya ia sedang mencermati setiap inchi wajahku dan berusaha keras mengingat-ingat sesuatu. Entah apa yang harus diingat cowok itu saat menatapku. Aku hanya bisa menduga jika ia sedang berpura-pura mencoba mengenaliku lalu mengaku jika aku mirip saudari, teman, atau mantan pacarnya. Modus!
"Maaf, aku permisi dulu."
Terlambat! Tangan cowok itu telah lebih dulu menahanku sebelum aku berhasil kabur dari hadapannya.
"Apa aku mengenalmu? Rasanya wajahmu familiar," ucapnya cepat seolah ingin memaksa mengenalku padahal aku baru beberapa hari tiba di Jakarta dan tidak mungkin ada seseorang yang mengenalku di sini. Aku juga baru bertemu dengan cowok itu pertama kali ini. Jangan-jangan dia penculik! batinku ngeri.
"Maaf, aku nggak kenal kamu." Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya, namun, gagal. Ia terlalu kuat untuk cewek sepertiku. Ah, ia pasti suka berolah raga sampai memiliki tangan sekuat itu.
"Apa namamu Mauren? Apa aku salah mengenali orang?" cecar cowok itu pada detik-detik berikutnya. Ia masih menatapku tanpa berkedip. Tangannya pun masih mencekal lenganku yang berbalut jaket hijau army milik papa yang sempat kucuri sebelum aku pergi ke Jakarta. Agar aku merasa lebih dekat dengan papa saat aku meridukannya. Nada suara cowok itu terdengar tidak yakin dan setengah menebak.
Aku membeku dan semua pikiran negatifku tentangnya kabur ke langit seketika. Digantikan beberapa pemikiran baru yang tiba-tiba menyeruak di dalam kepalaku. Dia bukan penculik seperti dugaanku. Tapi, tunggu dulu. Aku tidak boleh menyimpulkan secepat itu sebelum tahu siapa dia sebenarnya.
Aku menderaikan senyum pahit dan mencoba menenangkan diri. Toh, ini siang hari, terang benderang, di tempat ramai, dan aku sudah dewasa. Tidak mungkin ia akan berbuat macam-macam apa lagi menculikku, rasanya mustahil. Ia harus berpikir ratusan kali jika akan menculikku kan?
"Kamu siapa?" tanyaku kemudian. Setelah aku berhasil menguasai diri. Rasa penasaran langsung menyergap hatiku. "apa kamu bisa melepaskan tanganku?"
"Oh." Ia melepaskan cekalan tangannya seolah tanpa sadar saat melakukannya. "kamu nggak ingat aku? Aku Farrel, teman kamu saat masih SD," ungkapnya sembari tersenyum. Telunjuknya mengarah ke dada, menunjuk pada diri sendiri.
Aku kaget bukan kepalang. Kejutan! batinku. Apa Tuhan sudah mempersiapkan semua ini untukku? Saat aku datang mengunjungi sekolah lamaku, Tuhan mempertemukanku dengan teman semasa sekolah persis di depan pintu gerbangnya. Tapi, naasnya aku tidak ingat sama sekali tentangnya! Siapa dia sebenarnya? Dia bukan penipu kan? Bukan seseorang yang sekadar mengaku sebagai teman sekolahku kan?
"Benarkah?" gumamku setengah tersenyum setelah cukup lama berpikir. Agak tidak percaya karena aku masih belum hisa menghilangkan keterkejutan dari dalam hatiku. "kamu temanku? Teman yang mana? Apa kita sekelas dulu?" desakku kemudian mencecarnya dengan tiga pertanyaan sekaligus. Tiba-tiba ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepalaku dan mendesak untuk segera diluncurkan. Mungkin ia adalah jalan yang diberikan Tuhan untuk menggali ingatan masa laluku yang hilang.
Cowok yang mengaku bernama Farrel itu tertawa renyah. Mungkin ia sedang menertawakan sikapku dan mengabaikan pertanyaanku. Entahlah, aku tidak peduli. Yang paling penting adalah aku sangat membutuhkan informasi darinya. Sekarang juga!
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...