Cilok!
"Apa yang membuatmu datang ke sini?" tegur Farrel sembari menatapku. Cowok itu mengajakku duduk di tepi jalan bersebelahan dengan pintu gerbang sekolah. Ia membelikanku sebungkus cilok yang penjualnya mangkal tak jauh dari tempat duduk kami. Sembari menikmati pemandangan jalanan yang lalu lintasnya tak pernah putus, kami makan jajanan itu sembari ngobrol. Aku merasa kembali menjadi anak kecil saat melakukannya.
"Ada sesuatu yang kucari di sini," tandasku pelan. Bahkan suara deru sepeda motor yang melintas lebih keras dari ucapanku. "kamu sendiri?"
"Menjemput keponakan."
Oh.
"Kamu ke sini untuk mencari sesuatu kan? Apa memangnya?" Kening Farrel seketika berkerut dan pipinya menggembung. Cilok yang masuk ke dalam mulutnya belum sempat dikunyah.
Aku memberi jeda pada diriku sendiri untuk berpikir. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Farrel? Sedang aku belum tahu teman seperti apa dia.
"Kamu sudah tahu kan kalau aku pindah ke Semarang saat kelas lima?" Aku meneliti setiap perubahan air mukanya.
"Ya." Ia menyahut pendek dengan mulut yang sibuk mengunyah butiran cilok. "lalu?" pancingnya kemudian.
"Aku hanya ingin mengenang saat aku bersekolah di sini," jawabku masih belum berani berterus terang.
Farrel tak langsung bereaksi mendengar ucapanku.
"Kamu sekelas denganku kan?" tegurku kembali sebelum ia siap dengan komentarnya.
Farrel mengangguk. Cowok itu membuang bungkus plastik bekas cilok yang telah kosong ke tempat sampah yang kebetulan berada tak jauh dari pintu gerbang sekolah.
"Apa kamu tahu seperti apa aku sewaktu kecil dulu? Maksudku aku teman yang bagaimana? Apa kita dekat?" desakku tak sabar. Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan yang berkutat di dalam kepalaku, tapi, aku masih ragu untuk mengungkapkannya. Aku baru saja bertemu dengan Farrel dan bukan saat yang tepat untuk bertanya macam-macam padanya.
Farrel menggeleng pelan. Bukan reaksi yang positif tampaknya.
"Kita sama sekali nggak dekat," ungkapnya. "kamu tahu kan, anak cowok selalu bergaul dengan anak cowok?"
Aku tahu, batinku seraya mengangguk.
"Oh." Akhirnya hanya gumaman itu yang bisa kulontarkan. Aku bingung harus menyambung percakapan ini atau mengakhirinya begitu saja.
"Kapan datang ke Jakarta?" Rupanya Farrel yang berinisiatif menyambung perbincangan kami.
"Empat hari yang lalu."
"Liburan?" desaknya kembali.
Aku menggeleng pelan.
"Orang tuaku bercerai dan aku ikut mama pindah ke sini," ungkapku berterus terang.
Giliran Farrel yang menggumam 'oh'.
"Sebenarnya apa yang membuatmu pindah sekolah waktu itu?" Tampaknya Farrel yang tertarik untuk membahas masa-masa sekolah dulu. Padahal aku juga ingin membahasnya hanya saja masih belum berani untuk banyak mengajukan pertanyaan.
"Saat itu aku mengalami kecelakaan di rumah," ulasku. "kepalaku terbentur dan membuatku kehilangan sebagian memori di kepalaku. Aku hanya ingat beberapa hal aja ketika aku sadar dari koma. Dan setelah kondisiku membaik, kedua orang tuaku membawaku pindah ke Semarang. Sebenarnya aku juga nggak terlalu tahu apa alasan mereka mengajakku tinggal di sana pasca kecelakaan itu. Aku juga nggak sempat datang ke sekolah sekadar berpamitan dengan teman-teman," paparku agak panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Ficção GeralKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...