why me #23

160 12 0
                                    

Mimpi-mimpi buruk itu datang lagi. Bahkan setiap malam aku harus terbangun dengan kondisi yang sama. Keringat dingin, napas tak beraturan, dan ketakutan yang berlebihan akan menjalari seluruh tubuhku. Bagaimana aku akan melanjutkan hidup jika harus mengalami hal ini setiap malam?

Aku berdosa. Aku sangat tahu hal itu. Ya, dan aku sangat menyesali perbuatanku di masa lalu walaupun aku masih anak-anak kala itu. Bahkan jika aku bisa memperbaiki masa lalu, aku akan melakukan apa saja untuk bisa kembali ke waktu itu. Tapi, itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain meratapi penyesalan!

"Mauren."

Aku mendengar panggilan mama setelah suara derit pintu mendahuluinya. Lalu derap langkah kaki yang terdengar pelan menghampiri tempat tidurku.

Aku mengerjapkan kedua mataku yang basah. Bantalku juga lembab akibat hujan yang turun dengan deras dari sepasang mataku. Aku beruntung terselamatkan oleh selimut Mickey Mouse milik Danar yang sekarang membentang menutupi seluruh tubuh hingga wajahku. Menyembunyikan apa saja yang terlukis di wajahku saat ini. Sehingga mama tidak akan melihat air mata yang kini merebak di wajahku.

"Kamu nggak bangun, Sayang?" tegur mama sembari menyentuh punggungku pelan. "sudah pagi, lho," beritahunya.

Aku menghela napas dan buru-buru mengemasi air mata yang masih menggenang di pipiku. Sampai kering tak bersisa.

"Iya, Ma." Aku menyahut dengan suara serak. Tak begitu jelas.

"Kamu nggak enak badan?" Suara mama terdengar menegur kembali.

Aku membuka selimut milik Danar yang menutupi wajahku setelah merasa siap untuk memperlihatkannya pada mama.
"Mauren baik-baik aja, Ma," ucapku berusaha meyakinkan mama. Sebisa mungkin aku mengurai senyum tipis padanya. Semoga mataku tidak merah, batinku berharap.

"Benar?" tanya mama tak yakin. Ia meraba keningku sejurus kemudian. Mengukur suhu tubuhku dengan bantuan telapak tangannya sendiri. Orang-orang sudah biasa melakukannya. Mama juga.

"Iya."

Mama menyingkirkan tangannya dari keningku setelah puas melakukan keinginannya. Tampaknya suhu tubuhku masih normal.

"Kamu nggak sarapan? Mama sudah membuatkanmu omelet, lho," beritahunya seraya tersenyum.

"Danar?"

"Dia sudah berangkat pagi-pagi ke kampus," jelas mama. "katanya ada kegiatan. Begitu," imbuhnya.

Aku mendengus kecewa. Kemarin juga Danar berangkat ke kampus pagi-pagi. Tanpa pamit pula. Saat ia pulang, aku sedang tidur siang. Dan sorenya saat aku bangun ia sudah berangkat futsal. Sepertinya akhir-akhir ini ia sangat sibuk dan aku jadi kesulitan bertemu atau ngobrol dengannya.

"Mama bisa menemanimu sarapan," tawar mama memecah lamunan galauku. Ia bisa membaca kegelisahan yang melanda pikiranku sekarang.

Aku menggeleng pelan. Tanpa menjawab dengan lisan.

"Apa kepalamu masih sakit?" Mama meneliti raut wajahku dengan cermat. "wajahmu tampak pucat dan kusut, Mauren. Apa mama perlu memanggil Dokter Stefanus agar datang kemari?" tawarnya kemudian.

Lagi-lagi kepalaku menggeleng. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

"Nggak, Ma. Mauren baik-baik aja," ucapku sembari mengulas senyum pahit. Aku tak pantas membuat mama khawatir di usiaku yang sudah menginjak 20 tahun. "Mama nggak usah khawatir. Mauren akan sarapan sebentar lagi."

"Baiklah. Mama tunggu di meja makan kalau begitu." Mama mengecup keningku dengan lembut. Tak lama kemudian wanita itu berlalu meninggalkan kamarku setelah melempar senyum dan menutup pintu kamar.

Ah, benarkah aku baik-baik saja setelah melewati malam-malam yang buruk? batinku. Lalu berapa banyak malam yang harus kulewati dengan mimpi buruk yang sama? Apakah aku bisa tidur dengan lelap tanpa bermimpi meski hanya sekali saja?

Aku berusaha bangkit dari tempat tidur dan melakukan kewajibanku setiap pagi. Pergi ke kamar mandi seperti yang biasa aku lakukan sepanjang hidupku. Dan aku memang mendapati seraut wajah pucat dan kusut saat aku bercermin di kamar mandi. Sosok yang kulihat saat bercermin seperti tak berjiwa meski ia bernyawa. Seolah tak ada cahaya kehidupan terpancar dari matanya. Dari mataku. Aku!

Seburuk inikah diriku sekarang?

Mama meletakkan segelas susu putih hangat sesaat setelah aku meletakkan pantat di atas kursi. Aku telah selesai mencuci muka dan menggosok gigi. Sebuah piring dengan omelet di atasnya telah terhidang di atas meja makan sebelum aku datang. Sebenarnya aku tak begitu menyukai susu putih yang selalu mama sajikan setiap pagi. Tapi, untuk hal ini aku tidak pernah mengeluh dan mencoba untuk mengerti. Mama melakukan semua ini demi kebaikanku. Demi kesehatan putrinya yang harus selalu ia jaga, karena putrinya tak bisa menjaga kesehatannya sendiri!

"Mama akan pergi siang ini, Ren," tandas mama. Wanita itu duduk tak jauh dari tempat dudukku. Ia juga menghadap sebuah piring berisi omelet di atasnya. Sejauh ini aku belum melihat Tante Shelin. "Mama ada sedikit pekerjaan. Tante Shelin pergi tadi pagi untuk mengurusnya, tapi, Mama juga harus ke sana. Kamu nggak pa pa kan di rumah sendirian? Mama sudah minta Danar agar cepat pulang," tuturnya dengan menatapku lamat-lamat.

Aku menggigit sendokku. Ya, aku bisa memahami kesibukan mama. Wanita itu harus berjuang memulai bisnis propertinya untuk menyambung hidup kami. Agar kami bisa memiliki rumah sendiri dan tidak menumpang di rumah orang lain. Aku juga merasa sedikit bersalah. Selama ini aku merasa hanya menjadi beban untuknya. Harusnya aku melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan.

"Habiskan omeletnya, Sayang," sentak mama membuatku tersadar dari lamunan kecil.

"Iya."

Mama melahap omeletnya sampai tak bersisa. Aku juga mencoba menikmati omelet buatan mama meski pikiranku melayang-layang entah ke mana.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang