why me #6

256 14 0
                                    

"Kamu tahu aku mimpi apa semalam?"

Danar mengedikkan bahunya. Tanpa jawaban. Tentu saja. Ia tidak akan tahu tentang mimpiku semalam jika tidak kuberitahu. Cowok itu duduk bersila di atas karpet tebal dan menyandarkan punggungnya pada tempat tidur. Badannya menebarkan aroma wangi sabun dan rambutnya juga tak mau kalah. Aroma shampo menguar ke sekeliling, bergelut dengan wangi sabun. Untuk semua itu aku harus menunggunya selama setengah jam.

Aku menatapnya dengan nanar dan merubah posisi duduk di atas sofa sampai senyaman mungkin. Cowok itu persis di hadapanku dan tampak ogah-ogahan menanggapi pertanyaanku. Mungkin ia masih ngantuk atau bisa jadi kelaparan menilik dari raut wajahnya yang tanpa semangat.

"Aku bermimpi tentang gedung sekolah SD itu," tandasku setelah mengambil napas dalam-dalam. Aku diam tak melanjutkan kalimat untuk melihat reaksi pertamanya.

Danar tertawa tanpa suara. Jelas sekali jika ia sedang menertawakan perkataanku. Mungkin baginya, mimpi itu tampak biasa saja. Tapi, tidak bagiku. Ada sesuatu yang tersimpan di balik mimpi itu dan aku meyakini hal itu.

"Aku serius." Aku memelototinya dan ingin menjitak kepalanya agar ia percaya dengan ucapanku.

"Hei," ucapnya sembari melambaikan tangan kanannya di depan wajahku. "mimpi seperti itu sudah biasa, Ren. Kemarin kamu melihat gedung sekolah itu lalu malamnya kamu memimpikannya. Sama aja dengan kamu bertemu seseorang lalu malam harinya memimpikan orang itu. Nggak ada yang aneh. Orang lain banyak yang mengalami hal semacam itu." Danar mengulas senyum kecil setelah berhasil mengutarakan penjelasan singkatnya.

Aku menghela napas. Setengah membenarkan ucapannya.

"Mungkin bagi orang lain hal seperti itu biasa," kilahku. Aku benar-benar ingin membahas masalah ini dengan serius. "tapi, buatku ini berbeda, Danar. Aku merasa ada sesuatu yang aku sendiri nggak tahu, pokoknya aku merasa aku berhubungan erat dengan gedung sekolah itu," kataku dengan intonasi tinggi. Aku tak bisa menggambarkan apa yang sedang kurasakan sekarang dan kuharap Danar bisa menangkap maksud ucapanku.

Danar diam. Mengatur napas dan menetralkan ekspresi wajahnya.

"Ok." Ia mengambil jeda sejenak. "kamu pernah bersekolah di sana dan wajar kalau kamu merasa memiliki keterkaitan dengan gedung sekolah itu. Secara logika bisa dijelaskan seperti itu. Paham?" Danar melebarkan matanya dan memaksaku untuk memaklumi ucapannya.

"Ya." Aku mengiyakan dengan cepat. "aku tahu aku pernah bersekolah di sana sampai kelas lima SD dan pindah ke Semarang setelah mengalami kecelakaan... kamu tahu sendiri kejadian itu. Tapi, permasalahannya adalah aku nggak ingat apapun saat aku bersekolah di sana. Bahkan aku nggak ingat satupun nama teman-temanku. Apa kamu nggak merasa aneh?" Mungkin aku melafalkan kalimatku terlalu cepat. Karena aku terlalu bersemangat mengeluarkan semua unek-unek yang terpendam dalam hatiku.

Danar tak terkejut mendengar penjelasanku. Bukan seperti yang kuharapkan, ia tampak biasa-biasa saja saat aku bicara panjang lebar. Padahal aku sempat mengira jika Danar tertarik dengan pengakuanku.

"Kecelakaan itulah penyebabnya, Ren," ucap Danar kemudian. Saat aku nyaris jenuh menunggu reaksinya. "kepalamu terbentur cukup keras saat itu dan menyebabkan kamu kehilangan ingatan sebelum kecelakaan itu. Mungkin sebagian, mungkin seluruhnya. Kamu yang paling tahu hal itu. Am-ne-si-a," tandas Danar mengeja ucapannya.

Aku mendesah keras. Aku tahu. Aku sudah sering mendengar istilah itu dari mama, papa, dan dokter yang pernah merawatku.

"Sebagian." Aku menyahut. "aku kehilangan sebagian ingatanku. Lebih tepatnya semua kejadian saat aku bersekolah di SD itu lenyap sama sekali," paparku menjelaskan.

"Ya, ya." Danar mengiyakan ucapanku. Tapi, ia tidak serius sama sekali. Padahal aku mengharapkan sebaliknya. "lalu apa yang ingin kamu bahas sekarang? SD itu atau tentang amnesia yang kamu derita?"

"Aku ingin mencari ingatan yang hilang itu," jawabku mantap.

"Apa?!" Danar setengah berteriak. Reaksinya sangat berlebihan padahal aku mengira dia tidak akan merespon ucapanku. "kamu ingin mencari ingatan yang hilang itu?" ulangnya dengan mata yang terbuka lebar.

"Ya."

"Untuk apa?" tanya Danar secepat kilat. "memangnya apa yang mau kamu cari? Aku tahu semua yang terjadi saat kamu kecil, kita sama-sama tumbuh besar, kita berteman sangat akrab bahkan seperti saudara kembar... "

"Dan kamu selalu bilang ingin menjadi superhero untukku," timpalku cepat. Spontan membuat Danar membelalakkan mata.

"Kamu ingat hal itu?" tanya Danar masih memasang ekspresi tidak percaya. "apa lagi yang kamu ingat selain itu?" desaknya. Kali ini ia malah tidak sabar ingin mengorek keterangan dari mulutku.

Aku menggeleng.

"Nggak ada." Bahkan aku mengingat hal itu samar-samar. "aku hanya tahu kita sangat dekat saat masih kecil, tapi, aku nggak ingat detailnya. Jadi, aku berniat ingin mencari ingatan itu kembali. Meski hanya sebagian. Mungkin bagian yang terpenting," lanjutku.

Danar tersenyum pahit. Aku tidak akan tersinggung kali ini. Terserah jika ia ingin menertawakanku, aku tidak peduli.

"Bagian terpenting apa? Ingatan apa? Lalu untuk apa?" oceh Danar. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menggeliat. Seolah ingin mengatakan kalau ia berniat pergi dan mengakhiri pembahasan ini begitu saja. "nggak ada gunanya juga, Ren. Nggak ada sesuatu yang istimewa saat kita kecil. Kita hanya anak-anak yang suka bermain dan sesekali bertengkar. Itu aja." Danar melangkah ke arah jendela dan menyibakkan tirai yang menutupnya sehingga sinar matahari menyeruak masuk.

Benarkah? batinku bergeming. Tapi, kenapa hatiku mengatakan sebaliknya.

"Apa dokter nggak bilang kalau kamu nggak akan mengingat apapun sebelum kecelakaan itu, selamanya?" Danar telah berdiri di depanku setelah berhasil membuat kedua mataku silau akibat sinar matahari. Karena ia menyingkap tirai jendela.

"Ya," jawabku.

"Sudah jelas, kan? Jadi, untuk apa kamu repot-repot ke sana kemari hanya untuk mencari ingatan yang nggak penting itu?"

"Karena kalian memperlakukanku seperti anak kecil," balasku. Kupikir itu adalah alasan terbesarku untuk mencari ingatan yang hilang itu. "aku merasa kalian terlalu overprotective padaku. Seolah-olah aku ini boneka yang harus selalu dijaga setiap saat. Sepertinya kalian takut aku terluka. Aku sudah terlalu besar untuk dikhawatirkan, kamu tahu?" Aku memberi penekanan pada kalimatku.

"Kami semua mencintaimu, Ren. Jadi, wajar kalau kami memperlakukanmu seperti itu."

"Tapi, kalian terlalu berlebihan... "

Danar tersenyum kecil.

"Kami sudah terbiasa memperlakukanmu seperti itu. Dan sepertinya itu menjadi kebiasaan," kekehnya.

"Dan buku-buku psikologi itu... " Ujung telunjukku mengarah ke atas meja di mana buku-buku psikologi itu bertebaran.

"Oh... Aku membelinya karena iseng dan kebetulan harganya murah. Kamu tahu, aku gampang bosan kalau disuruh membaca buku tentang hukum." Danar terkekeh kembali.

Aku mendelik memperhatikan setiap gerak tubuhnya. Alasan yang baru saja ia lontarkan tampak dibuat-buat. Sepengetahuanku buku-buku psikologi tidak ada yang murah. Apa ia sedang membohongiku?

"Aku lapar nih," ucap Danar memecah lamunanku. "ayo kita cari sarapan."

"Aku sudah sarapan."

"Kalau begitu temani aku sarapan." Danar merangkul pundakku sejurus kemudian. Cowok itu menyeretku dengan paksa keluar dari kamarnya hanya untuk menemaninya sarapan. Sementara isi kepalaku penuh dengan pemikiran-pemikiran.

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang