why me #19

147 11 0
                                    

"Mauren! Tunggu!"

Teriakan itu begitu nyaring dan sanggup menahan langkahku yang hendak menapaki anak tangga terakhir. Aku menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan seumuran dan berseragam sama denganku, setengah berlari menaiki tangga, mengejarku.

Aku mendengus melihat siapa yang datang. Laras!

"Hei, tunggu!" Ia berteriak sekali lagi saat aku hendak meneruskan langkah, bermaksud menghindarinya. Laras menarik tas ranselku dengan paksa.

"Hei!" Aku membalikkan tubuh. Aku paling tidak suka ada seseorang yang menarik tasku dengan paksa. Tas itu masih baru, hadiah ulang tahun dari papa. Aku tidak suka ada yang menyentuh benda milikku! "lepaskan!" teriakku.

"Kenapa? Nggak suka?" tanya Laras. Ia menyeringai sinis.

Aku menarik napas. Masih terlalu pagi untuk bertengkar. Sekolah masih sepi. Belum ada seorangpun siswa atau siswi yang tampak.

"Ya." Aku menjawab cepat dan tegas.

Tapi, Laras belum mau melepaskan tasku. Ia sengaja ingin membuat perkara denganku.

"Kenapa kamu nggak mengadu pada pacarmu?" tanya Laras.

Pacar? Bahkan kami berdua masih kelas lima. Yang benar saja. Siapa yang sedang ia olok-olok?

"Siapa?" tanyaku setengah mengeja. Aku terlalu bingung untuk mengetahui siapa yang ia maksud.

"Danar." Ia menjawab dengan sangat yakin. "bukankah kalian selalu pulang bareng, gandengan tangan lagi," imbuhnya dengan nada sinis. Tak suka.

"Dia sepupuku, bukan pacarku," timpalku membela diri. Kurasa siapapun tahu jika aku dan Danar adalah saudara sepupu, tapi, kenapa Laras mengolok-olok kami sebagai pacar?

"Iya, kalian pacaran. Kalau nggak pacaran kenapa mesti gandengan tangan?" Laras ngotot pada olokan kekanak-kanakannya.

"Nggak!" Aku mulai naik pitam.

"Iya!" Laras pun sama. Tak mau mengalah.

Aku geram. Entah dapat ide dari mana, dengan gerakan cepat tanganku mengayun ke tubuh Laras. Aku mendorong tubuh teman sekelasku itu dengan sekuat tenaga. Tanpa pikir panjang. Emosi masa kanak-kanak sedikit mengerikan.

Tubuhku terpaku di tempat. Hanya sepasang mataku menatap ke arah tubuh Laras yang meluncur bebas ke bawah tangga seperti bola yang menggelinding tanpa tujuan. Tubuh mungil itu bersinggungan dengan anak tangga dan mendarat begitu sampai di lantai bawah. Gadis kecil itu sempat menjerit kesakitan sebelum akhirnya tak bergerak, terkapar di bawah sana dengan kepala yang mengucurkan darah segar.

Tanganku gemetar. Kaki dan seluruh tubuhku juga sama. Kepalaku seperti berdenyut. Jantungku berdegup semakin kencang dan tak berirama.

Laras tak bergerak sama sekali! Ia meninggal! Oh, Tuhan! Bagaimana ini? Aku telah membunuhnya! Aku seorang pembunuh!

Tidak!!!

Aku berlari sekuat yang kakiku bisa. Aku ingin lari sejauh-jauhnya dari tempat itu. Dari pemandangan mengerikan itu. Aku ingin lari dari kenyataan yang terpampang jelas di hadapanku. Aku ingin mengingkari bahwa aku adalah pelaku kejahatan yang baru saja terjadi.

Bruk!

Tubuh kecilku menubruk seseorang di depan kelas. Bocah laki-laki itu menatapku dengan sorot mata tajam. Entah apa yang dipikirkannya saat menatapku. Ah, apa ia melihatku saat mendorong Laras? 

Farrel?

***

Penggalan adegan itu berhenti begitu saja dan aku seolah tersadar dari tidur panjang. Semua itu bukan mimpi. Kejadian itu adalah bagian yang hilang dari ingatanku. Ingatan yang beberapa waktu belakangan ingin kutemukan. Dan tiba-tiba saja ingatan itu muncul dan mengetuk kepalaku usai insiden kecil di rumah oma.

Aku ingat, dua hari pasca kejadian itu aku mengalami kecelakaan di rumah. Aku terjatuh dari tangga, persis seperti yang kualami kemarin. Aku seperti didorong oleh seseorang. Pelakunya juga sama, sepasang tangan gaib yang tak terlihat, entah milik siapa. Apakah Laras pelakunya? Rohnya sengaja mendatangiku untuk membalas dendam?

"Sayang, kamu sudah sadar?" teguran mama menggoyahkan barisan lamunan di kepalaku yang masih berdenyut sampai sekarang. Sehelai perban melingkar menutupi jahitan di kepalaku. Aku sudah membuka mata sejak semenit yang lalu, tapi, mama baru menyadarinya.

Wajah mama masih pucat, secemas terakhir kali aku melihatnya. Matanya tampak cekung dan sebuah lingkaran hitam menghias keduanya. Ia pasti kelelahan dan kurang tidur karena menjagaku. Aku bisa membayangkan betapa cemas ati mama mengetahui kecelakaan itu menimpaku kembali.

"Kepalamu masih sakit?" tegur mama kembali sembari menyentuh pipiku perlahan. Ia mencoba mengurai senyum tipis di bibirnya yang kering tanpa polesan lipstik.

Tanpa sadar air mata merembes keluar dan jatuh membasahi pelipisku. Aku hanya menatap lurus pada wajah mama tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirku.

Jadi, itukah yang selama ini mama dan orang-orang di sekitarku simpan rapat-rapat? Masa laluku yang begitu mengerikan dan tidak termaafkan. Aku seorang pembunuh di usiaku sepuluh tahun!

Aku tak bisa menahan isak tangis meski sudah kucoba sekuat tenaga untuk menahannya. Jangan tanyakan perasaanku sekarang. Sungguh hatiku hancur sehancur saat peristiwa itu terjadi! Bahkan aku sendiri tak bisa mengatakan apa-apa yang kurasakan saat ini. Semua campur aduk jadi satu. Sedih, gelisah, menyesal, sakit... Semua memukul-mukul dadaku.

"Kamu kenapa, Sayang? Ada apa? Apa yang sakit?" desak mama panik melihat tangis yang merebak di wajahku. Wanita itu tampak bingung dan berusaha meminta bantuan pada seorang suster.

Kenapa ini terjadi padaku? Ya, Tuhan! Kenapa Engkau tidak mencegahku melakukan hal keji itu? Kenapa???

"Mauren, tenang, Sayang." Mama mencekal lenganku yang mulai bergerak tak keruan. Aku ingin melepaskan jarum infus di tanganku dan lari sejauh mungkin meninggalkan ranjang tempatku berbaring. Sejauh yang kakiku bisa. Seperti saat itu. Aku ingin melarikan diri dari kenyataan. Aku ingin kehilangan ingatan itu kembali. Agar dadaku tidak bergemuruh dan menyakiti napasku sendiri.

Seorang dokter datang dan tiba-tiba menyuntikkan cairan ke tubuhku. Apa itu obat bius? Kenapa menyuntikkan cairan itu padaku? Padahal aku ingin lari. Pergi sejauh mungkin...

Lari. Dan tak kembali...

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang