"Bagaimana kencannya? Seru nggak?" cecar Danar menyambut kedatanganku. Ia bergegas bangkit dari kursi dan buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam saku celana cargonya. Adik sepupuku itu tampaknya sengaja duduk di teras untuk memungguku. Mungkin sudah lumayan lama.
Aku menarik napas menatap ekspresi riang yang terlukis di wajah Danar. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi di mal tadi. Dan kepalaku masih berdenyut sampai sekarang karena insiden itu terus memenuhi pikiranku.
"Kepalaku sakit." Aku menggumam pelan dan memberikan bungkusan martabak telur yang kugenggam padanya. "aku mau istirahat."
Danar tertegun selama beberapa detik di tempatnya berdiri. Dan setelah tersadar ia menyusul langkahku yang bergerak menuju ke kamar. Rumah masih sepi seperti terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini. Mama dan Tante Shelin sepertinya belum pulang. Akhir-akhir ini mereka selalu pulang setelah matahari tenggelam.
Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur begitu sampai di kamar. Tubuhku lelah. Tapi, tentu saja tidak selelah pikiran dan hatiku.
"Ada apa?"
Danar baru saja tiba di kamarku. Bungkusan martabak di tangannya sudah menghilang. Ia pasti menyimpan benda itu sebelum menyusulku ke kamar. Cowok itu mengambil tempat duduk di tepian ranjang dan menatapku dengan dahi berkerut.
Aku terpaksa bangun dan duduk menghadap Danar.
"Kamu tahu apa yang terjadi di mal?" tanyaku persis seperti orang bodoh. Tentu saja Danar tidak akan tahu. Tapi, aku menatapnya dengan lekat-lekat karena terlalu antusias dengan apa yang hendak kuceritakan padanya.
Danar hanya mengedikkan bahu. Jawaban logis.
"Ada seorang anak yang jatuh dari eskalator, kamu tahu?" beritahuku terus terang. Dan aku bersyukur Dipta tidak mengajakku menaiki tangga berjalan itu tadi. Ia langsung mengajakku mencari lift.
Danar mengerjapkan matanya. "Lalu kenapa?" Ia malah bertanya. "bukankah hal-hal seperti itu biasa terjadi di mal? Kecelakaan karena kelalaian orang tua-lah yang menjadi penyebabnya. Apa yang aneh?" Raut wajah Danar yang menurutku aneh. Apa ia tidak bisa melihat keanehan dari kejadian itu?
"Bodoh," desisku kesal. "apa kamu nggak berpikir, di antara sekian banyak kecelakaan di mal, kenapa mesti jatuh dari eskalator? Kenapa nggak kecelakaan yang lain? Apa kamu nggak merasa aneh?"
Danar terdiam. Ia pasti sedang merenungkan ucapanku sekarang. Aku juga yakin ia tahu maksudku.
"Ren," ucapnya kemudian. "mungkin kejadian itu hanya kebetulan. Kamu nggak usah terlalu memikirkan hal itu, mengerti?"
Aku bergerak dengan cepat menepis tangan Danar yang hendak singgah di bahuku. Ia mencoba meredam kekhawatiran yang kurasakan. Tapi, bukan itu yang kubutuhkan sekarang.
"Aku takut, Danar." Aku memelankan suaraku. "aku juga pernah mengalami hal itu dan aku takut jika dia menerorku. Bisa aja dia yang mendorong anak kecil itu kan?" Aku menatap tajam ke dalam mata Danar dan menekankan perkataaanku. Agar dia bisa menanggapiku seserius aku mengatakan hal itu padanya.
"Dia siapa maksudmu?"
"Laras."
Danar tersenyum pahit mendengar jawabanku. Aku tidak mengada-ada, Danar, batinku.
"Jangan berspekulasi, Ren," ucapnya kemudian. Sepertinya ia menanggapi ucapanku setengah-setengah. "itu kan hanya pikiranmu aja. Lagipula kita nggak pernah tahu keberadaan Laras. Dia masih hidup atau meninggal, nggak ada yang tahu. Jadi, berhentilah berpikir negatif. Ok?"
Aku seperti membeku saat Danar menyentuh ujung kepalaku dan membiarkan tangannya berada di sana sedikit lebih lama. Aku paham ia hanya ingin membuatku merasa tenang, tapi, apa ia tahu bagaimana perasaanku sekarang? Rasanya percuma berbicara panjang lebar dengannya. Dia tidak akan pernah mengerti!
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Ficção GeralKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...