Aku bermimpi kembali malam ini.
Aku berdiri di depan gedung sekolah dasar itu sendirian. Seperti orang tersesat dan kebingungan, aku mengedarkan tatapan ke sekeliling. Senyap. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada satupun siswa sekolah dasar itu yang tampak di sana. Juga Danar. Cowok itu tidak tampak batang hidungnya. Biasanya ia akan menungguku di depan pintu gerbang sekolah jika ia telah tiba di sana terlebih dulu. Tapi, ia tak ada di sana.
Ketika aku mendongakkan wajah, gumpalan awan hitam tampak menggantung di atas langit sekolah. Pekat. Seolah hujan badai akan datang dalam hitungan detik saja.
Aku mencoba melangkahkan kaki sesaat kemudian. Gedung sekolah itu seolah memiliki sebuah kekuatan magis dan ia sedang memanggilku sekarang. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya padaku. Tentang sebuah rahasia yang terpendam di sana beberapa tahun yang lalu. Misteri yang selama ini ingin kuketahui.
Ah. Kakiku berhenti tepat di depan pintu gerbang seketika. Tanganku juga nyaris menyentuh pagar besi itu saat telingaku mendengar suara jerit kesakitan dari dalam sana. Tak berlangsung lama. Dan setelah itu senyap kembali.
Aku mundur dua langkah perlahan. Tubuhku gemetar. Suara jeritan itu begitu menyayat. Siapa kiranya yang berteriak itu? Apa yang terjadi dengannya? Apa ia terluka?
Aku mengedarkan tatapan ke samping kanan dan kiri. Masih tak ada siapa-siapa di sekitarku. Aku sendirian.
Dan untungnya aku terbangun setelah itu. Entah bagaimana caranya tiba-tiba aku membuka mataku kembali. Sepertinya otakku terlalu cepat bereaksi dan segera mengirimkan perintah pada syaraf yang terhubung ke mataku agar segera terbuka. Mengakhiri mimpi tidak jelas itu.
Aku bersyukur bisa terbangun kembali dan bisa menatap punggung mama yang sedang sibuk di dapur. Tapi, mimpi itu sedikit mengganggu pikiranku meski kemarin aku juga mengalami mimpi yang sama. Tetapi, mimpi kali ini lebih detail dari sebelumnya. Kemarin aku hanya melihat penampakan gedung sekolah itu sekilas dari depan. Tapi, kini mimpi itu terasa lebih nyata karena aku terlibat di dalamnya sebagai diriku sendiri. Seolah aku benar-benar sedang berada di sana dan mengalami kejadian itu.
Dan suara jeritan itu? Milik siapa? Kenapa begitu menyayat? Seolah ia sedang kesakitan. Apa ia seseorang yang sedang butuh pertolongan? Siapa dia?
Aku mengosongkan pikiran dan mencoba mengingat kembali detail mimpi semalam. Sepertinya, jika aku tidak salah, jeritan itu milik seorang anak kecil. Perempuan. Hantukah ia?
Mimpi itu berhasil membuatku merinding bahkan hingga pagi tiba dan sampai sekarangpun aku belum bisa mengusir ketakutanku sendiri. Aku yakin mimpi itu bukanlah sekadar mimpi biasa. Ada sesuatu di baliknya, mungkin berkaitan erat denganku atau ada sesuatu yang hendak disampaikan padaku. Entah oleh siapa.
"Kenapa dari tadi kamu hanya mengaduk-aduk makananmu, Sayang?"
Aku tergagap mendapat teguran oma yang mendadak muncul dan memegang kedua pundakku. Ia sukses membuatku kaget.
Oma beralih ke sebuah bangku tak jauh dari tempat dudukku. Meski aku belum menjawab pertanyaannya.
"Kamu nggak suka bubur ayamnya?" tanya oma lagi. Kali ini ia menatapku dengan pandangan curiga. Ya, wanita tua itu membelikanku bubur ayam yang kebetulan lewat di depan rumah pagi tadi setelah aku bangun.
Aku hanya menyunggingkan senyum tipis padanya. Aku tidak sadar jika sejak tadi senduk di tanganku terus-menerus mengaduk isi piring di hadapanku. Alhasil, bubur ayam di depanku menjadi mirip adonan kue. Pikiranku sedang kacau dan berimbas pada sarapan pagiku.
"Mauren memang nggak pernah suka bubur ayam, Ma." Mama datang dari dapur dan menengahi percakapan kami. Tepatnya kata-kata oma karena aku bahkan belum mengeluarkan sepatah katapun.
Oma mengerutkan kening dan bibirnya. Ia sedikit kecewa karena tak mengenal kebiasaanku.
"Oh." Oma menggumam kecil. "kalau begitu kamu ingin makan apa, biar Oma belikan," tawarnya tak kekurangan ide.
"Nggak usah, Oma," sahutku kemudian. "biar Mauren makan ini aja," tandasku. Tanganku mulai menyuapkan ujung senduk ke dalam mulutku. Meski lidahku tak bisa merasakan rasa makanan itu, aku berusaha tetap menelannya. Dengan tatapan aneh yang datang dari kedua pasang mata oma dan mama. Mama tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat menatapku mengunyah bubur ayam yang kini mirip adonan itu. Ia pasti tidak akan percaya aku sanggup memakan makanan itu. Ya, sejak dulu aku tidak pernah menyukai bubur ayam.
Mama menggeleng samar lalu bergerak kembali ke dapur. Sementara oma meraih sebuah surat kabar pagi dan mulai sibuk dengan lembaran-lembarannya. Dan aku sendiri terus melahap bubur ayam di depanku tanpa penghayatan sama sekali.
"Oma nggak pergi ke laundry?" tegur mama. Ia kembali ke meja makan dan meletakkan segelas susu ke dekatku. Untuk oma ia menyuguhkan segelas green tea hangat.
"Sebentar lagi. Kenapa?" sahut oma tanpa mengalihkan pandangannya dari surat kabar yang sedang digenggamnya.
"Aku mau pergi bersama Shelin."
"Ke mana?" Oma masih belum beralih dari bacaan paginya.
"Aku ingin berbisnis properti sepertinya." Mama berdiri kaku di samping tempat duduk oma menunggu reaksi wanita tua itu.
Oma menghela napas panjang dan akhirnya meletakkan surat kabar di tangannya. Ia menatap mama sejurus kemudian.
"Lalu Mauren? Apa kamu akan meninggalkannya sendirian di rumah? Danar masuk kuliah hari ini," tandas Oma spontan membuatku tercekat dan langsung meletakkan senduk di tanganku.
"Dia sudah dewasa, Ma. Dia akan baik-baik aja di rumah," ucap Mama sebelum aku menyela perbincangan mereka berdua. Ucapan mama mewakili apa yang hendak kukatakan pada oma. Setidaknya mama memperlakukanku lebih wajar.
Oma tak langsung menanggapi ucapan mama. Sepertinya ia perlu waktu untuk berpikir dan menimbang. Raut wajahnya tampak menunjukkan rasa enggan.
Aku bergeming. Apa sikap oma tidak terlalu berlebihan? Bukan oma saja, tapi, semuanya. Hanya saja kali ini oma yang bersikap berlebihan padaku. Memangnya apa yang ia takutkan jika aku sendirian di rumah? Aku bukan anak kecil yang akan bermain kompor atau benda-benda lain yang bisa membahayakan keselamatanku.
"Baiklah." Akhirnya oma menyatakan persetujuannya. Ia menghela napas panjang dan kembali meraih surat kabar miliknya. Mengabaikan green tea yang disuguhkan mama karena minuman itu masih mengeluarkan asap tipis. Ia berkutat kembali dengan bacaannya.
Mama menoleh ke arahku dan mengembangkan senyum tipis. Sepertinya ia sedang memberi kode padaku kalau semua baik-baik saja. Aku hanya balas melempar senyum padanya sebagai rasa terima kasihku.
Mama berbalik kembali ke dapur sesudahnya. Sepertinya ia selalu sibuk di dapur pada pagi hari seperti ini semenjak kami tinggal di rumah oma. Wanita itu sama sekali tak menunjukkan jika ia sedang patah hati atau sedih pasca perceraiannya. Entah apa yang dirasakan mama sekarang ini. Kuharap ia baik-baik saja dan selalu berbahagia.
Aku menyesap isi gelas di hadapanku perlahan dan rasa hangat menjalar di dalam leherku. Bermuara di perutku. Aku sudah lebih baik dari sebelumnya meski belum sepenuhnya baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Tiểu Thuyết ChungKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...