Lepaskan!
Teriakanku sia-sia belaka. Hanya tersendat di tenggorokan. Sepasang tangan misterius dan tak terlihat sedang berusaha mencekik leherku. Mereka tampak sebagai bayangan hitam pekat dan menyergap tubuhku tiba-tiba. Entah dari mana datangnya.
Aku mencoba berontak dan melepaskan diri darinya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menggerakkan tangan dan kakiku untuk melawan kekuatan misterius itu. Tapi, sial. Tubuhku tak berdaya. Aku seperti kehilangan seluruh energi dan sama sekali tak bisa menggerakkan anggota tubuhku.
Aku tak bisa bernapas! Leherku tercekik perlahan-lahan oleh bayangan hitam itu. Oh Tuhan, apakah ini adalah saat-saat terakhirku???
"Mauren!"
Tubuhku terguncang keras seiring teriakan Danar menyebut namaku dengan volume tinggi. Ia seperti meneriakkan namaku di dekat gendang telinga. Seperti jerit penuh kepanikan.
Tangan-tangan misterius itu seketika menghilang saat tubuhku terguncang. Meloloskan leherku dari ancaman maut yang sempat mengincarku beberapa detik yang lalu. Bayangan hitam itu lenyap tanpa bekas. Menghilang entah ke mana.
Aku membuka mata dengan paksa setelah tangan-tangan misterius itu lenyap. Energi tubuhku kembali dalam sekejap sesaat setelah bayangan hitam itu sirna.
Mimpi!
Aku tersadar dan segera mengatur napas sebaik mungkin. Menyadarkan diri sendiri jika apa yang baru saja kualami tadi hanyalah mimpi buruk dan sudah berlalu.
Aku tertegun dengan tubuh masih gemetar. Punggungku basah. Membuat sweater rajut yang membungkus tubuhku terasa lembab.
"Kamu baik-baik aja?" tegur Danar mencoba menyadarkanku. Tangan kanannya menepuk-nepuk pipiku pelan.
"Hm." Aku menggumam pendek. Lalu mengangguk tanpa irama.
"Kamu mengigau, Ren," beritahunya kemudian. Setelah menurunkan tangannya. "apa kamu mimpi buruk?" Cowok itu meneliti kedua mataku dengan curiga.
Aku berusaha bangun dan duduk senyaman mungkin di hadapan Danar. Cowok itu menumpuk dua buah bantal di belakang kepalaku. Sementara aku masih memeluk selimut Mickey Mouse kesayangannya dengan erat.
"Aku mimpi buruk." Aku menggumam pelan setelah beberapa saat kemudian. Aku melancarkan tatapan ke arah mata Danar seperti meminta pendapatnya.
Danar melipat kulit dahinya sehingga tampak berkerut. Aku bisa menebak jika ia tak percaya pada ucapanku.
"Mimpi buruk?" ulangnya. Ia memperbaiki posisi duduknya. Aku baru sadar jika ia sedang memegang sebuah buku tebal. Saat mama sedang pergi, Danar selalu menjagaku sepulang kuliah. Tapi, aku tidak tahu jika ia menjagaku sembari membaca buku, entah apa judulnya. "apa?"
Aku mempermainkan ujung-ujung kukuku yang mulai memanjang. Seraya menimbang akan mengatakan apa padanya.
"Semacam ketindihan," jawabku akhirnya. Orang-orang bilang itu adalah sleep paralysis. Tapi, aku lebih mempercayai jika itu adalah seburuk-buruknya mimpi buruk. "leherku seperti tercekik dan aku nggak bisa bernapas," imbuhku memperjelas maksud kalimatku sebelumnya.
Danar hanya tersenyum tipis. Ia mengusap pipiku perlahan.
"Semua udah baik-baik aja sekarang. Nggak usah terlalu dipikirkan," ucapnya dengan nada kalem. Di saat-saat seperti ini ia sangat perhatian padaku. Bahkan sikapnya melebihi mama. Ia bersikap selayaknya seorang kakak meski faktanya ia adalah adik sepupuku. "oh ya, tadi Dipta mampir. Tapi, cuma sebentar karena kamu sedang tidur," beritahunya kemudian.
Dipta? Aku menelan ludah saat Danar menyebut sebuah nama itu. Jujur, Pradipta adalah orang pertama yang datang dalam hidupku dan mencoba menyeruak masuk ke dalam hatiku. Atas prakarsa Danar. Aku belum tahu harus bagaimana menyikapi cowok itu. Aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri.
"Oh," gumamku pendek. "jam berapa dia datang?" tanyaku seraya melirik jam yang terpasang di dinding kamar Danar. Ada sebuah stiker Mickey Mouse menempel di permukaan jam yang mungkin usianya sudah belasan tahun. Jarum pendek hampir menyentuh angka tiga.
"Sekitar jam dua belas. Mungkin," balasnya dengan nada tak yakin. "Dipta membawakanmu brownies tadi. Aku tadi sudah mencicipinya. Enak banget lho. Kamu mau?" tawar Danar seraya nyengir.
Aku menggeleng pelan. Aku sama sekali tidak tertarik pada makanan apapun saat ini. Meski itu makanan terenak di dunia sekalipun.
"Aku sudah menemukannya." Aku berujar pelan dan hati-hati.
Danar bergeming. Lalu menatapku dengan nanar.
"Menemukan apa?" tanyanya setengah terbata. Sepertinya ia mulai takut dengan apa yang akan kuberitahukan padanya.
"Ingatan yang hilang itu."
Danar terperangah. Ia pasti terguncang mendengar pengakuanku.
"Maksudmu?" Cowok itu masih bertanya. Apa ia terlalu bodoh untuk mengartikan ucapanku?
Aku mendehem kecil. Bahkan aku tidak memberitahukan ini pada mama.
"Bukankah setelah kejadian itu, aku menceritakan semuanya padamu?" Aku mendesaknya sekarang. "aku sudah menyuruhmu untuk merahasiakan kejadian itu dari mama, tapi, gara-gara kamu, semuanya tahu jika aku... "
"Hei!" Danar memotong ucapanku secepat yang ia bisa. Sebelum bibirku terlalu jauh mengungkap fakta tentang masa laluku. "aku nggak mungkin menceritakan kejadian itu pada orang lain, Ren. Lagipula setelah kejadian itu kamu demam tinggi dan selalu mengigau. Aku nggak bisa diam aja saat Tante Sherin bertanya." Danar mau mengaku juga sekarang. Bahwa ia menceritakan ulang kejadian itu pada seluruh keluarga kami.
"Farrel tahu kejadian itu." Aku mengungkap sebuah fakta lagi. "aku juga sudah mengatakan itu padamu kan?" Aku mengingatkannya kembali soal Farrel. Nyatanya ia juga menyeretku pergi saat bertemu Farrel di taman.
Danar mendesah. Gelisah. Tapi, akulah yang paling gelisah saat ini.
"Kejadian itu sudah lama sekali, Ren," ujar Danar setelah ia menarik napas dalam-dalam. "semua orang sudah melupakannya. Lagipula nggak ada yang bilang kalau kecelakaan itu disengaja. Setelah kecelakaan itu Laras nggak pernah masuk sekolah lagi. Kabar yang kudengar dia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nggak ada satupun yang tahu nasibnya. Keluarganya juga pindah entah ke mana. Pihak sekolah juga sepertinya menutupi kejadian ini dari publik," tutur Danar. Si bodoh itu harusnya memberitahuku sejak awal tentang ini.
"Jika dia masih hidup, dia pasti akan kembali ke sekolah kan?" Aku mencoba mengajukan pendapat.
Danar mengedikkan bahu. Sepertinya ia tidak sependapat denganku.
"Aku nggak yakin kalau dia sudah meninggal," tandasnya.
Aku bungkam. Bagaimana mungkin Danar bisa menyimpulkan seperti itu? Jika Laras masih hidup, dia tidak akan menghantuiku. Aku tidak akan didera mimpi buruk. Dan tangan-tangan misterius itu tidak akan pernah mencekikku. Aku juga tidak akan terdorong jatuh dari tangga kan?
"Jangan terlalu dipikirkan, Ren," ujar Danar mengusik kebisuanku. Ia tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang. Tapi, dia tidak tahu bagaimana berkecamuknya perasaanku sekarang. Bagaimana aku akan menjalani hidup dengan didera rasa bersalah seperti ini?
"Kurasa aku nggak akan pernah bisa hidup dengan tenang." Aku bergumam lirih. Tak peduli Danar akan mendengarnya atau tidak.
"Lalu apa yang bisa kamu lakukan sekarang, hah?!"
Aku terperanjat mendengar kalimat Danar yang terucap dengan nada tinggi. Aku menatapnya dengan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi. Bagaimana bisa Danar berkata seperti itu padaku?
"Nggak ada yang bisa kamu lakukan, Ren," sambungnya. "semua sudah terjadi. Menyesalpun nggak akan pernah bisa mengembalikan semuanya kan? Yang harus kamu lakukan sekarang hanyalah hidup dengan baik dan berbuat baik. Itu aja," tandasnya tegas.
Huh. Bicara memang gampang. Tapi, bagaimana seorang pembunuh menjalani hidupnya dengan baik? Apakah dengan berbuat baik saja bisa menghapuskan dosa?
Pikiranku buntu. Kalut. Andai saja bisa, aku ingin kehilangan ingatan kembali meski sebelum ini aku pernah susah payah mencari ingatan masa kecilku yang sempat hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...