why me #29

136 7 0
                                    

Wow!

Aku berdecak begitu keluar dari vila dan melihat 'kejutan' yang sudah dipersiapkan Danar untukku.

Tumpukan kayu yang sudah ditata sedemikian rupa, tampak teronggok di tengah halaman yang kosong. Siap dinyalakan kapanpun. Tenda kemping juga sudah berdiri di sebelahnya melengkapi acara 'kejutan' Danar.

Aku tersenyum tipis sembari melangkah ke arah Danar yang sedang berdiri di depan tenda. Ia berkacak pinggang dengan pongahnya. Yup! Kejutannya kali ini benar-benar membuatku senang. Ini persis sebuah acara kemping!

"Bisa  kunyalakan sekarang?" tanya Danar begitu aku tiba di depannya.

Aku mengangguk dengan antusias. Bukan itu saja kejutan dari Danar. Adik sepupuku itu juga menyiapkan beberapa buah jagung manis dan ketela pohon yang entah kapan datang. Pasti Pak Jamil yang kelabakan karena direpotkan Danar. Ia harus membayar Pak Jamil lebih atas kerja kerasnya hari ini.

Api unggun telah dinyalakan. Aku dan Danar mulai sibuk membakar jagung manis yang sebelumnya telah diolesi dengan mentega. Tak butuh waktu lama untuk membakar jagung. Hanya beberapa menit saja.

"Bagaimana rasanya?" tanya Danar yang masih sibuk membakar jagung.

Aku sudah beralih ke mulut tenda setelah berhasil menyelesaikan dua buah jagung bakar. Aku tak sabar ingin segera mencicipi jagung bakar buatan tanganku sendiri.

"Enak," sahutku sembari mengunyah biji-biji jagung.

Masih tersisa dua buah jagung yang harus dibakar oleh Danar. Setelah selesai dengan jagungnya, ia memasukkan ketela pohon ke dalam bara api yang menyala.

Danar beringsut ke sebelahku setelah selesai melakukan pekerjaannya.

Kami duduk berdampingan di mulut tenda sembari menikmati jagung bakar. Terus terang aku sangat menyukai suasana kemping seperti ini. Duduk di bawah langit terbuka pada malam hari, menikmati hangat api unggun sambil makan jagung bakar, dan melihat bintang-bintang. Sempurna!

Rupanya Pak Jamil juga tak lupa menyiapkan teh panas di dalam termos. Rasanya sedikit pahit karena ia tak terlalu banyak menambahkan gula ke dalamnya. Tapi, sejauh ini rasanya lumayan.

Untuk saat ini, suasana malam di puncak membuatku melupakan semuanya. Mimpi-mimpi buruk, masa lalu yang kelam, kecelakaan kecil yang pernah terjadi... semuanya hilang dari pikiranku selama sejenak.

"Mau lagi?" tawar Danar mengulurkan jagung bakar terakhir yang tersisa.

"Aku kenyang."

Danar melenguh. Ia meletakkan jagung bakar terakhir itu ke atas piring lalu mengambil batang kayu yang ujungnya masih menyala. Ia mengeluarkan ketela pohon yang ia bakar beberapa menit lalu. Tampaknya mereka sudah matang. Danar mengambil sebuah wadah dan memungut satu per satu ketela pohon itu lalu memasukkan mereka ke dalamnya. Danar hanya meletakkan wadah itu di tak jauh dari api unggun. Mungkin Danar sama kenyangnya denganku. Mungkin juga ia menunggu ketela pohon bakar itu menjadi dingin.

Hening. Hanya suara gemeretak batang-batang kayu yang terbakar mengisi suasana malam. Tak ada bunyi jangkrik seperti yang biasa disebut dalam deskripsi novel atau cerita.

Aku menekuk kedua kaki dan duduk sembari memeluk lutut. Menikmati rasa hangat yang berasal dari api unggun di hadapan kami. Sedang Danar duduk bersila sembari tangan kanannya sibuk mengatur nyala api unggun agar tak sampai padam.

"Om Danu nggak pulang?"

Entah kenapa tiba-tiba aku melontarkan pertanyaan itu pada Danar. Om Danu adalah papa Danar yang berprofesi sebagai pelaut. Setahuku ia jarang sekali pulang menemui keluarganya. Dan selama ini tidak ada seorangpun yang menyinggung tentang pria itu, termasuk Danar sendiri.

Danar menggeleng. Ia bahkan tak menoleh dan sibuk dengan api unggun di depan kami. Tampaknya ia terlalu malas membahas tentang papanya. Mungkin selentingan kabar yang kudengar tentang papanya benar. Pria itu memiliki wanita lain di suatu tempat.

Aku diam. Enggan melanjutkan perbincangan. Danar akan semakin terluka jika aku terlalu banyak bertanya tentang papanya.

"Mau?"

Aku menoleh dan mendapati tangan Danar telah terulur. Ia telah mengupas ketela pohon bakar dan memberikannya padaku.

Aku tersenyum dan menerima pemberian Danar. Aroma harum gurih menguar ke sekitar hidungku.

"Kamu menyukai Dipta?" tanya Danar mengalihkan topik. Mulutnya sibuk mengunyah ketela pohon bakar. Ia bahkan belum menoleh padaku.

Aku terdiam sesaat. Aku belum bisa mengartikan perasaanku sendiri meski jauh di lubuk hatiku mengagumi Dipta.

"Aku nggak tahu." Hanya jawaban itu yang bisa kukatakan pada Danar. Masih terlalu dini untuk mengatakan aku menyukainya.

Danar tergelak tiba-tiba.

"Kalau suka bilang aja," selorohnya sembari melirik ke arahku. Ia sengaja ingin menggodaku.

"Apa aku harus menyukainya?" Aku balik tanya. Sekadar mengimbangi olok-oloknya.

Danar hanya mengedikkan bahu. Berlagak acuh dan masih menikmati makanannya. Membuatku jengah untuk meneruskan pembahasan ini. Aku lebih memilih diam menatap nyala api unggun yang tampak meliuk-liuk seperti pinggul penari.

"Dia menyukaimu."

Aku terpaksa menoleh ke samping begitu Danar menandaskan kalimatnya. Aku bisa melihat wajahnya samar-samar karena nyala api unggun yang sedang ia jaga baik-baik agar tak sampai padam.

Aku tidak terkejut mendengar kalimat Danar. Naluriku bisa merasakan jika Dipta menyukaiku meski awalnya aku tak begitu yakin.

Aku menghela napas dan kembali menatap nyala api unggun di hadapanku.

"Sebenarnya aku takut." Aku menggumam pelan. Aku segera melanjutkan kalimatku sebelum Danar berhasil menyela. "aku nggak sempurna seperti yang lain."

"Hei." Danar menyela juga. "karena masa lalumu?" Ia menatapku tajam saat aku menoleh padanya.

Aku balas menatap sepasang manik mata hitam milik Danar yang tak bergerak mengawasiku. Adik sepupuku itu pasti bisa membaca apapun yang sedang terlukis di wajahku saat ini.

"Semua orang punya masa lalu, kamu tahu?" Danar menyambung kembali ucapannya. "sebagian orang di dunia ini mempunyai sisi kelam dalam hidupnya. Sebagian dari mereka menyerah dan memilih mengakhiri hidup karena mereka nggak pernah berhenti menyesali masa lalu mereka. Mereka memandang hidup dari sisi negatif, padahal masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk menebus kesalahan yang pernah mereka lakukan."

Lanjutnya lagi,

"Sebagian orang lagi berpikiran positif dan bertekad memperbaiki hidup. Mereka melakukan kegiatan sosial, membantu sesama, bekerja keras demi meraih kesuksesan. Dan mereka bisa bangkit dari keterpurukan. Nyatanya mereka bisa melakukan hal-hal baik dalam hidup dan nggak terus-menerus meratapi penyesalan. Kamu juga bisa seperti mereka, Ren."

Pemaparan panjang Danar membuatku tercengang. Setidaknya selama beberapa detik aku seperti mendengar seseorang yang lain sedang menasihatiku. Bukan Danar yang biasa kukenal. Ternyata adik sepupuku itu bisa menjadi dewasa saat dibutuhkan. Dan ia benar. Aku tidak menyangkal hal itu. Tapi, aku tidak begitu yakin bisa mengatasi hal ini sendirian.

Aku tak memberi komentar apapun kali ini. Aku masih perlu waktu untuk mencerna kembali kalimat-kalimat Danar.

Aku menyandarkan kepala di atas pundak Danar. Ya, aku butuh sandaran sekarang ini. Untuk menopang kegelisahanku sementara ini. Sembari merapatkan jaket milik papa aku bergumam pelan.

"Aku rindu Papa."

WHY ME? #completeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang