"Putri Anda mengalami koma, Nyonya."
Sebuah suara terdengar begitu pelan. Suara seorang laki-laki, tapi, dia bukan Dokter Stefanus. Aku hafal betul suara dokter yang pernah merawatku itu. Suara laki-laki yang sedang berbicara dengan mama itu lebih berat dan tampaknya ia sedikit lebih tua ketimbang Dokter Stefanus. Ia berada tak jauh dari tempatku.
Samar-samar aku mendengar isak tangis pecah. Mama! Aku merasakan kepala mama menelungkup ke sisi tubuhku sejurus kemudian. Wanita itu menumpahkan air matanya di sana. Mungkin bahunya terguncang dengan keras saat ini.
"Tenanglah, Nyonya... "
"Apa masih ada harapan dia akan sadar, Dok?" Kali ini oma yang ganti mengajukan pertanyaan. Karena mama sibuk dengan tangisnya sendiri. Suara oma agak serak dan bergetar. Ia cemas.
Beberapa saat tak ada jawaban. Apa mereka sudah pergi?
"Hanya keajaiban yang bisa membuatnya sadar kembali. Jadi, berdoalah pada Tuhan. Doa ibu selalu didengar dan dikabulkan." Sepertinya laki-laki itu pergi meninggalkan kamarku tanpa penjelasan apapun.
Kenapa dokter itu tidak mengatakan hasil pemeriksaan medis pada keluargaku? Apa benar hanya keajaiban yang bisa membangunkanku?
Tak ada suara menyahut setelah itu. Hanya isak tangis mama yang masih bisa kutangkap dengan indera pendengaranku. Selebihnya hanya deru napas penuh kecemasan.
Aku koma???
Jadi, seperti inikah yang disebut koma? Hidup tapi seperti tak bernyawa. Seperti terjebak di tengah-tengah takdir hidup dan mati. Tak bisa bergerak ke salah satu pilihan.
Aku bisa menangkap jenis suara apapun di sekitar ragaku. Tapi, aku tak bisa membuka kedua mata dan untuk menggerakkan jari-jemariku pun aku tak mampu. Tubuhku kaku. Seperti tertindih beban super berat.
Kecelakaan itulah penyebabnya. Rupanya kepalaku terbentur cukup keras saat itu dan mungkin saja ada kerusakan pada otak atau syaraf di kepalaku. Saat itu aku pulang dari toko roti membeli kue ulang tahun untuk Danar. Anak kecil yang bermain bola di tepi jalan itu, semoga ia baik-baik saja. Dan aku sama sekali tidak menyesali semua yang telah aku lakukan untuk menyelamatkan jiwanya meski harus mengorbankan diri sendiri. Ini takdir yang sudah digariskan Tuhan untukku. Tapi, mama? Danar? Oma dan Tante Shelin? Juga papa, apa ia tahu kondisiku sekarang? Apa mereka bisa tegar menerima takdir yang menimpaku saat ini?
"Bagaimana keadaan Mauren, Tan?!"
Aku mendengar suara Danar setelah derit pintu terbuka lalu tertutup kembali. Rupanya ia sudah datang dan langsung menanyakan kondisiku. Aku bisa mendengar deru napasnya yang terburu-buru. Sepertinya ia baru saja berlari menuju ke kamarku. Aku di sini dan tak perlu dikejar, Danar. Tapi, aku senang bisa mendengar suara adik sepupuku itu.
Tak ada jawaban yang bisa langsung kutangkap dengan telingaku. Semua diam. Juga dokter itu, apa ia sudah pergi? Kenapa ia seolah bersikap menyerah pada keadaan? Bukankah mereka harus menenangkan hati mama dan semua orang agar mereka tak putus harapan?
Lalu terdengar suara detak sepatu yang tak asing di telingaku. Sepatu Danar. Suara itu bergerak mendekat ke tempatku berada.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Danar pelan. Suaranya tak biasa. Ada kepedihan dan keputusasaan yang hebat sedang bersembunyi di balik pertanyaannya.
"Sebaiknya kita keluar... "
"Nggak, Oma."
Danar menegaskan sebuah penolakan pada Oma. Selama ini ia selalu menurut kata Oma, apapun itu. Tapi, kali ini ia jelas-jelas melontarkan sebuah penolakan. Aku paham jika Danar butuh penjelasan secepatnya. Di sini.
Aku hanya bisa memperkirakan ada sebuah perdebatan kecil di samping tempat tidurku. Antara Danar dan Oma.
"Dia mengalami kecelakaan saat pulang dari membeli kue ulang tahun."
Akhirnya mama mengungkap apa yang sebenarnya terjadi padaku. Wanita itu pasti sedang berusaha sekuat tenaga menguatkan hati dan mentalnya. Tak ada satupun ibu di dunia ini yang tega melihat putri kesayangannya terbaring koma sepertiku bukan?
Ah, iya. Hari ini adalah ulang tahun Danar. Apa kue itu dikirim ke rumah? Apa ia rusak? Apa Danar sudah melihatnya? Aku bahkan belum sempat membeli kado untuknya. Mengucapkan selamat ulang tahunpun, aku belum sempat. Maaf.
"Mama yang salah."
Aku mendengar suara mama lagi. Tapi, aku benci mendengar kalimatnya. Kenapa mama menyalahkan diri sendiri? Tidak ada satupun yang salah dalam hal ini. Sebuah kecelakaan, kadang memang harus terjadi untuk memenuhi takdir.
"Harusnya aku yang membeli kue itu sendiri," lanjut mama lebih pelan dari sebelumnya. "Mauren lupa kalau hari ini adalah ulang tahunmu dan aku yang mengingatkannya seminggu yang lalu. Harusnya aku nggak membiarkannya pergi sendirian. Harusnya aku nggak pernah meninggalkan dia sendirian di rumah... "
Ma! Aku tak bisa menjerit. Membuka mulutpun aku tak sanggup. Andai bisa, aku akan berteriak sekeras mungkin dan bilang pada mama, jangan menangis! Ini bukan salah siapa-siapa. Takdir tak pernah salah.
"Apa pelakunya sudah tertangkap?" tanya Danar beberapa lama kemudian. Pasti ia sedang mengepalkan tangannya sekarang. Bersiap menghajar pemilik mobil yang menabrakku.
"Polisi sedang mengurusnya." Oma membalas. Dan aku baru tahu hal itu. Jika peristiwa itu merupakan sebuah tabrak lari, tak terbayangkan betapa marahnya Danar. Tapi, pengemudi mobil itu tidak bersalah! Akulah yang turun ke jalan saat itu...
"Sudahlah, Kak."
Aku baru mendengar suara Tante Shelin setelah beberapa menit lamanya. Kupikir ia belum datang menjengukku. Wanita berparas cantik itu selalu mengingatkanku pada mama. Terus terang aku sangat mengagumi wanita itu. Mulai dari gaya bicara, cara berpakaian, berdandan, bahkan cara ia menjepit rambut asal-asalan pun aku suka. Suatu hari nanti aku ingin sekali seperti dirinya. Mungkinkah?
"Mauren masih hidup," ujar Tante Shelin melanjutkan ucapannya. Setidaknya ada Tante Shelin yang bisa menguatkan hati mama. Ia bisa menjadi penenang di saat-saat seperti ini. Aku menaruh kepercayaan tinggi padanya. "semua ini hanya soal waktu. Mauren gadis yang kuat. Dia pasti akan berjuang sebisa mungkin. Dia akan bangun suatu hari nanti. Percayalah."
Aku bisa menemukan semangat dan harapan di balik kalimat Tante Shelin. Harapan untuk mama dan untukku juga. Aku pasti akan berjuang sekuat tenaga, Tante.
Hening. Tak ada suara yang menyambung percakapan Tante Shelin. Hanya suara alat pendeteksi denyut jantung yang berbunyi secara teratur. Mereka semua diam larut dalam pikiran masing-masing. Danar juga. Ke mana sifat bawelnya? Biasanya dia yang paling bersemangat menggangguku. Apa ia tidak ingin aku bangun lagi? Apa ia takut aku menjitak kepalanya setelah tersadar nanti?
"Aku akan menemui dokter."
Danar pamit. Tanpa jawaban dari mama, Tante Shelin atau oma. Aku hanya bisa mendengar suara derap sepatunya bergerak menjauh lalu derit pintu dibuka dan ditutup. Setelah itu hening kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
Fiksi UmumKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...