Mal.
"Suka filmnya?"
Aku yang sedang melangkah di sisi Dipta mengangguk pelan usai mendapat pertanyaan darinya. Cowok itu, yang jika aku berjalan di sisinya tinggiku hanya sebatas dagunya, tersenyum puas menerima jawabanku. Penampilan Dipta tak jauh beda dengan pertama kali aku melihatnya di cafe. Gaya pakaiannya mirip dengan Danar, casual. Para cowok cenderung suka memakai kaus dan celana jeans, juga jaket sebagai pelengkap penampilan. Danar dan Dipta juga sama.
Dipta melangkah dengan lambat menyesuaikan gerak kakiku. Jarak kami begitu dekat, hanya terpisahkan satu jengkal kaki saja. Aku tak berani terlalu dekat dengannya. Berbeda saat jalan dengan Danar, biasanya adik sepupuku itu akan menggandeng tanganku seolah aku ini bocah kecil yang bisa tersesat kapan saja saat ia lengah mengawasiku. Padahal aku sering memperingatkannya untuk tidak memperlakukanku seperti itu. Karena aku bukan anak kecil dan aku tidak suka dengan sikapnya. Kira-kira apa yang sedang dilakukan Danar di rumah? Dia tidak sedang menguntitku kan?
"Kita mau makan apa?" tawar Dipta beberapa saat kemudian. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari stan makanan yang berbaris di luar bioskop.
"Aku masih kenyang," sahutku seraya meliriknya sekilas. Tadi saat nonton film kami makan popcorn dan cemilan. Juga segelas jus jeruk. Apa ia belum kenyang?
Dipta balas menatapku dan terkekeh pelan.
"Kupikir kamu masih lapar," cetusnya. "aku takut Danar marah karena nggak memperlakukanmu dengan baik. Masa anak orang dibiarkan kelaparan," selorohnya. Kali ini dibarengi dengan deraian tawa renyah.
Aku ikut tergelak mendengar pengakuannya.
"Memangnya Danar bilang apa?" Aku jadi penasaran apa yang Danar katakan pada Dipta sebelum kami berkencan hari ini.
"Umm... " Cowok itu menggumam sedikit lebih panjang. Tampaknya ia sedang mencari sesuatu untuk diingat. "Danar bilang untuk menjagamu dengan baik," ujarnya setelah sesaat kemudian.
Aku tersenyum pendek. Bahkan Danar masih mengkhawatirkanku meski aku sedang bersama temannya. Bukankah Dipta adalah temannya yang paling dekat? Kenapa masih mencemaskanku?
"Kamu mau es krim?"
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Dipta dan menghentikan langkah. Sebuah kedai es krim terpampang di hadapanku. Aku bahkan belum sempat memberikan persetujuan saat Dipta memutuskan menarik tanganku untuk masuk ke dalam sana. Seorang pegawai kedai tampak berdiri di depan pintu dan tersenyum ramah seraya menyilakan kami masuk.
Dipta mengambil tempat di salah satu sudut kedai yang kosong. Tampaknya kedai itu lumayan terkenal karena tempat itu nyaris penuh oleh pengunjung.
"Mau pesan apa?" tegur seorang gadis pelayan yang langsung menghampiri tempat kami. Ia menyodorkan selembar kertas yang berisi daftar menu beserta harga. Ia seumuranku.
"Kamu mau pesan apa, Ren?" Dipta malah menyodorkan kertas menu itu padaku. Memberi kesempatan padaku untuk menentukan pilihan terlebih dahulu.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka harus menentukan pilihan seperti ini. Karena aku cenderung akan merasa bingung jika dihadapkan pada banyak pilihan seperti ini. Ada begitu banyak tampilan es krim dalam berbagai varian rasa dan semuanya tampak menarik.
"Sudah menentukan pilihan?" tegur Dipta mengusik kediamanku. Lagi pula gadis pelayan itu juga menungguku.
Akhirnya aku menunjuk es krim vanilla sebagai pilihanku. Dipta juga menjatuhkan pilihan yang sama. Mungkin ia tidak mau terlalu banyak berpikir. Lagipula itu hanya sebuah es krim.
"Betah tinggal di Jakarta?"
Gadis pelayan itu pergi setelah menerima pesanan kami.
Aku mengangguk meski dengan berat. Setidaknya masih ada Danar yang membuatku 'sedikit' merasa nyaman berada di kota ini. Tapi, sebagian diriku yang lain selalu mendesak ingin pergi.
"Aku lahir dan pernah menghabiskan masa kecil disini," gumamku kemudian.
"Danar pernah bilang tentang itu," sambungnya. "oh ya, kamu nggak tertarik untuk masuk universitas?"
Aku melenguh. Danar juga mengatakan itu padanya?
"Belum," sahutku kemudian. "tahun depan. Mungkin. Jika aku benar-benar tertarik untuk melanjutkan pendidikan," ucapku.
"Kenapa?"
Aku mengedikkan bahu.
"Aku bukan orang yang pandai," ucapku sembari tersenyum. Sesungguhnya aku malu mengakui ini pada Dipta. Tapi, aku memang bukan orang yang memiliki otak cerdas, padahal orang sepertiku harusnya banyak belajar. Tapi, otakku sepertinya terlalu bebal untuk menerima pelajaran apapun. Apa mungkin kecelakaan itu yang membuatku seperti itu?
"Aku juga bukan orang yang pandai, kok." Dipta ikut tersenyum.
Gadis pelayan itu datang dengan membawa pesanan kami. Sebuah gelas yang bermulut agak lebar berisi es krim yang bertekstur lembut ia letakkan di depan kami. Remahan biskuit sengaja ditaburkan di atasnya lalu pada bagian puncaknya terdapat sebuah cerry berwarna merah segar. Penampilan yang sangat menggiurkan.
"Sepertinya enak," ucap Dipta sesaat setelah pelayan itu pergi. Ditilik dari senyumnya, sepertinya cowok itu bahagia melihat es krim tersaji di depannya.
Aku tersenyum dan mulai mencicipi es krim seperti yang Dipta lakukan. Rasa dingin dan lembut langsung memenuhi mulutku. Rasa vanillanya juga kental di lidah berpadu dengan rasa gurih dari remahan biskuit yang bertabur di atasnya.
"Setelah ini kamu mau pulang atau mampir dulu? Barangkali kamu ingin membeli sesuatu?" tawar Dipta di sela-sela menikmati es krimnya.
Aku menggeleng. Kurasa lebih baik pulang. Lagi pula hari sudah cukup sore.
"Tapi kita mampir dulu beli martabak telur ya," ucap Dipta setengah meminta. "aku sudah janji pada Danar," imbuhnya.
Dasar Danar, desisku dalam hati. Bukan untuk Danar, melainkan untukku. Danar tidak pernah menyukai martabak telur sejak dulu. Meski ia membelikanku martabak telur dalam porsi jumbo sekalipun, ia tidak akan pernah menyentuhnya secuilpun. Aku sangat tahu siapa Danar.
Perutku terasa penuh saat kami beranjak dari tempat masing-masing dan melangkah keluar dari kedai es krim. Sepertinya hari ini terlalu banyak kudapan yang masuk ke dalam perutku. Mungkin sampai di rumah nanti aku tidak akan menyentuh makan malam.
Oh.
Bahuku tersentak cukup keras ketika seorang petugas keamanan mal lewat di sebelahku. Mungkin ia terlalu terburu-buru sampai-sampai menubruk bahuku tanpa sengaja.
"Kamu nggak pa pa, Ren?" tegur Dipta membuyarkan keterkejutanku. Ia ikut-ikutan berhenti dan melihat kondisiku.
"Ya." Aku hanya mengiyakan sembari mengulas senyum tipis. Bahuku sakit. Tapi, aku tidak terbiasa mengeluh pada orang lain kecuali Danar.
Di satu titik yang berjarak beberapa meter dari tempatku dan Dipta berhenti, tampak sebuah kerumunan manusia yang membentuk keributan kecil. Ada sesuatu yang terjadi di sana dan petugas keamanan itu tergesa menuju ke lokasi kejadian. Ada apa?
"Ada anak yang jatuh dari eskalator!"
Entah suara siapa dan dari mana datangnya, tapi, teriakan itu begitu jelas terdengar oleh telingaku.
Lututku lemas seketika. Kakiku nyaris goyah dan tidak bisa menopang berat tubuhku lagi. Kepalaku juga berdenyut seperti ada sesuatu yang baru saja menghantamnya. Tapi, untung saja aku tidak ambruk di lantai mal itu karena tangan Dipta langsung mencekal lenganku.
"Kita pulang sekarang?" kejutnya. Menyadarkanku dari rasa mencekam yang mulai menggerogoti pikiranku. Aku meyakinkan diri untuk bisa mengatasi ketakutan ini sebelum berkembang lebih jauh.
Aku mengangguk dan tersenyum. Menyembunyikan ketakutan tak semudah yang kubayangkan. Dipta tidak boleh tahu tentang apa yang menimpaku sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY ME? #complete
General FictionKarena perceraian kedua orang tuaku, akhirnya aku kembali ke Jakarta, tempat di mana aku dilahirkan dan menghabiskan sebagian masa kecilku di sana. Di kota itu juga aku pernah meninggalkan sekelumit cerita kelam untuk beberapa orang, juga diriku, ba...